"Maaf. Aku pasti tidur seperti orang mati. Aku pikir ini masih pagi." Ucap Bian yang baru keluar dari kamar mandi setelah mandir air hangat. Rasanya segar dan nyaman. Perutnya juga sudah kenyang setelah makan 2 porsi nasi dan sop daging yang sudah dihangatkan Nay di tengah keheningan malam. Ini sudah larut. Mereka tidak ingin membangunkan orang tua mereka.
Bian melirik ke arah Nay yang sedang merapikan isi kopernya. Isinya tak banyak hanya pakaian kotor dan bersih serta peralatan mandi yang sudah Bian ambil lebih dulu tadi.
Nay tidak merespon perkataannya. Dia hanya terus memilah pakaian yang akan ia cuci besok dan yang akan ia masukkan ke......
Nay terlihat terdiam sambil berpikir dimana ia akan meletakkan baju-baju bersih suaminya itu. Dan Bian sepertinya bisa merasakan hal itu.
"Letakkan di mana saja. Lagi pula aku tak lama. Aku harus sudah ada di kantor senin pagi."
Nay masih dalam mute mode. Dia akhirnya meletakkan pakaian bersih Bian di atas nakas kamarnya. Dilihatnya Bian sedang bersandar di tempat tidur sambil mengecek smartphonenya yang baru menyala.
Nay sibuk mondar-mandir karena dia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Terakhir, Nay tidur di kamar ibunya saat hari pernikahan agar Bian bisa istirahat dengan nyaman di kamar Nay. Keesokkan harinya, Bian beserta keluarganya sudah kembali ke kota. Dan sejak saat itu, Nay hanya sibuk mengacuhkan panggilan dan pesan singkat Bian. Dia tahu, Bian akan mengunjunginya, tapi tetap saja, Nay masih tidak tahu apa yang harus dilakukannya pada pria yang berstatus suaminya itu.
"Hei Nyonya Bramantiyo. Sudah cukup mondar-mandirnya. Tidurlah. Ini sudah larut."
Nay menatap tajam Bian yang memasang senyum mengesalkan. Apa pria itu bercanda? Memang gara-gara siapa Nay tidak bisa tidur seperti ini?
"Ini rumahmu Tuan Putri. Ada ayah dan Kang Ali yang siap menghajarku jika aku sampai menyakitimu. Jadi jangan cemas. Aku sedang jinak. I promise."
Nay berdecak dan menyerah. Ia menuju meja rias dan membuka penutup kepalanya. Menyisir sebentar dan naik ke ranjang.
***
Bohong jika Bian tak tergoda. Apalagi ketika Nay membuka penutup kepalanya. Tapi kepercayaan dan kenyamanan Nay adalah yang hal yang terpenting saat ini. Hanya itulah cara agar Nay mungkin mau ikut dengannya dan mulai tinggal bersama seperti pasangan suami istri biasanya. Jadi Bian menahan segenap hasratnya dan mengalihkan perhatiannya pada smartphone dan iPadnya yang baru menyala kembali setelah seharian kemarin ia tinggal tidur seperti orang mati.
Dilihatnya Nay yang memunggunginya dan berusaha untuk tidur.
"Wira ke Prancis. Dia menerima tawaran kerja di sana." Ucap Bian mengejutkan hati Nay.
Nay masih saja merasa sakit saat mendengar nama itu. Tapi pemilik nama itu sudah melanjutkan hidupnya, jadi untuk apa Nay meratapinya lagi.
"Dia belum tahu kalau kau sudah menikah, jadi dia pasti akan menemuimu saat ia kembali nanti."
Bian bisa melihat punggung Nay bergetar. Tanda jika Nay masih terjaga dan tengah menangis. Bian tak peduli. Dia tak punya banyak kesempatan bicara dengan Nay karena istrinya itu terus menghindarinya. Jadi Bian akan mengatakan segalanya saat ini. Tentang hatinya dan tentang apa yang mungkin harus ia hadapi nanti jika Wira kembali.
"Mungkin kau berpikir aku jahat dan egois, tapi maafkan aku Nay. Aku tidak bermaksud menyerahkan istriku kepada orang lain, meski itu sahabat baikku sendiri. Aku suamimu dan aku akan mempertahankan rumah tanggaku."
Bulan benderang di peraduan. Menemani malam Bian yang temaram. Dia beranjak dari tempatnya dan duduk di sisi ranjang istrinya menghadap, menumpukan kedua tangannya di sisi ranjang itu dan menghabiskan waktunya dalam diam. Bahkan hanya dengan menatap bidadarinya saja rasanya ia sudah sangat bahagia. Sayangnya, Nay tak merasakan hal yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH SEORANG PEMERKOSA
Romance"Setiap kesalahan bisa dimaafkan, tapi tidak semua kesalahan bebas dari tanggung jawab" -Fachir Bramantiyo-