Delapan belas

1.3K 128 2
                                    

Keesokkan harinya

Nay baru saja terjaga dari tidurnya yang tak nyenyak ketika ia mendapati suaminya tengah bersandar di meja rias dan menatapnya. Entah sejak kapan.

Wanita 22 tahun itu bangun dan menjepit rambutnya yang panjang dengan jepitan yang memang ia letakkan di meja lampu di sisi tempat tidurnya.

"Boleh kutahu kenapa kau bisa bertemu dengan Wira kemarin? Membiarkan orang lain memfotomu yang jelas-jelas sudah bersuami, berpelukan dengan mantan tunangannya?"

Nay menatap Bian yang jelas sedang menuduhnya akan sesuatu yang ia lihat tapi tidak ia ketahui kebenarannya.

"Aku tidak sengaja bertemu dengannya di rumah sakit." Jawab Nay dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur.

"Apa kau ke rumah sakit karena kau tahu ibu Wira dirawat?"

Nay melebarkan matanya ketika interogasi itu datang kepadanya. Jelas sekali. Ada seseorang yang sudah memprovokasi suaminya sebagai mana Nay diprovokasi lewat surat kaleng tanpa pengirim kemarin. Ya. Nay yakin itu hanyalah provokasi. Bukan sekali dua kali Bian dijebak karena statusnya sebagai pewaris tunggal keluarga Bramantiyo. Nay tidak akan terprovokasi. Ada keluarga yang ingin ia pertahankan sebagaimana Bian mengatakan ingin mempertahankannya.

"Aku menemani Mbak Aini ke optik. Adibah harus mengganti kaca matanya."

'Maaf Nak. Bunda belum siap mengatakan kehadiranmu. Tidak di saat ayahmu dalam keadaan emosi seperti ini.'

*

Bian baru akan pulang kemarin ketika dia menerima foto-foto Nay bersama mantan tunangannya. Seketika itu juga, smarthphone yang ia pegang hancur tak berbentuk karena bantingan Bian yang marah dan cemburu.

Wira. Nama itu tidak lagi berkesan bagi Bian. Tidak lagi menjadi sahabat baik sehidup sematinya dulu. Bagi Bian, Wira sekarang adalah ganjalan dalam rumah tangganya. Penghalang Bian untuk membuka pintu hati Nay yang tertutup rapat untuknya.

"Aku tidak akan menghakimimu ataupun menyalahkanmu karena aku tahu, bukan aku yang ada di hatimu. Aku masih bisa tahan jika istriku mencintai pria lain karena akulah yang menikahinya meski aku tahu dia mencintai orang lain. Tapi jangan menusukku dari belakang ketika kau tahu, aku jatuh bangun mengharapkanmu."

Bian meninggalkan Nay tanpa menunggu balasan atas ucapannya itu karena Bian takut, jika Nay akan mengakui jika hal itu benar adanya. Bukan Bian pemilik hatinya. Bukan Bian orang yang istrinya cintai.

***

Hari-hari menjadi dingin setelahnya. Bian lebih sering pulang larut dan pergi pagi-pagi sekali. Mereka juga jarang berkomunikasi selain Nay yang menemaninya sarapan pagi.

"Nyonya, ada surat lagi buat Nyonya."

Nay yang sedang melamun ketika menyiram tanaman tersadar dari lamunannya. Itu pastilah surat yang ke sekian yang isinya sama persis seperti surat-surat kaleng sebelumnya.

Tanpa kata Nay menerima amplop itu dan melihat isinya. Tanpa kata, Nay masuk ke kamarnya dan menyembunyikan amplop itu bersama amplop-amplop yang datang sebelumnya.

'Maafin Bunda sayang. Bunda belum siap memberi tahu ayah tentang kamu. Bunda belum siap.'

Air mata Nay jatuh beriringan lagi. Dia bimbang, bingung dan ragu. Bian masih menjaga jarak dengannya, sedang Nay tidak bisa menutup mata dengan semua yang ia lihat. Di luar sana. Bian bersama orang lain. Nay tidak mampu bertanya karena dia tidak pernah menghadapi konflik apapun. Dia hanya tahu caranya melarikan diri. Tapi, dia tidak ingin melarikan diri saat ini. Ada anak yang bukan hanya menjadi titipannya. Ada anak yang membutuhkan keluarganya.

'Bunda harus apa, Nak? Bunda harus apa?'

*

"Suruh masuk, Bi. Mungkin Mbak Aini. Kami mau memasak bersama hari ini."

Setelah mendapatkan perintah untuk mengijinkan tamu yang datang, Nay merapikan kerudungnya yang agak kendor.

"Ka-mu?"

PLAK.

Nay merasakan panas di pipinya ketika wanita yang pernah ditemuinya di restoran bersama Bian tiba-tiba ada di depan pintu utamanya. Salah. Itu bukan Aini, tapi Ular Berbisa dan Nay telah memasukkan ular itu ke rumahnya.

"Dasar jalang! Kau sudah tahu tak diinginkan masih saja bertahan di sini. Dasar tidak tahu malu." Ucap si Ular Berbisa yang berpakaian serba ketat itu.

"Jadi kau yang mengirim foto-foto itu?" Tanya Nay yang entah bagaimana yakin jika wanita inilah yang memprovokasinya.

"Aku hanya ingin menunjukkan padamu kalau Fabian tidak menginginkan pernikahan kalian. Dia menikahimu hanya untuk melindungi nama baik Bramantiyo. Jadi enyahlah kau dari kehidupan Fabian karena Fabian memiliki wanita yang dicintainya, dan itu bukan KAU!"

Nay sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak jatuh. Dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan ular berbisa ini. Nay adalah istri Fabian Chandra Bramantiyo sedangkan wanita ular itu bukan siapa-siapa.

"Aku tidak akan pergi sebelum aku mendengar sendiri dari mulut suamiku jika dia tidak menginginkanku lagi. Kau boleh pergi sekarang."

Nay berbalik, meninggalkan si Ular berbisa dan hendak masuk ketika tiba-tiba saja kerudungnya ditarik hingga membuat Nay terjengkang. Nay yang sudah di tepi anak tangga teras terpeleset dan membuatnya terguling hingga terjatuh tertelungkup. Nay berteriak kesakitan. Dia bisa merasakan perutnya membentur pelataran rumahnya.

"Aaaggh..." pekik Nay tak tertahankan. Rasanya bagaikan sesuatu menusuk perutnya hingga ia merasa isi perutnya melilit tak keruan.

"Kau pantas mendapatkannya, Jalang!" Ketus si Ular yang lalu memakai kaca mata hitamnya dan pergi dengan mobil hitam mewahnya.

"NAY!!!!!"

Saat itulah Aini tiba ketika mobil si Ular melewatinya dan langsung menghampiri Nay yang mengaduh kesakitan.

"Perutku mbak. Perutku sakit sekali ishh.." Ringis Nay sambil terus memeluk perutnya.

"Ya ampun, Nay. Darah! Kau berdarah! SATPAAAAAAMMMMM!!!!!!"

.

.

.

Aku tak pernah bermimpi memiliki istana. Cukuplah tempat berteduh yang kau siapkan untukku. Asal bersamamu.

Aku tak pernah bermimpi jadi seorang ratu. Cukuplah pendamping hidupmu di mana kau berlabuh. Asal bersamamu.

Aku tak pernah bermimpi akan selalu hidup bahagia. Cukuplah senang dan sedih kita arungi bersama. Dalam suka dan duka.

Tapi.....

Kau tak ada....

Kau tak ada di istana yang kau siapkan untukku.

Kau tak ada di sini tuk ku dampingi.

Kau....

Tak ada di sini di saat senang dan sedihku.

Kau tak ada.

Lalu untuk apa aku di sini?

Untuk apa aku menanti?

Untuk apa cincin di jemari ini?

Untuk apa.....

Terik matahari menembus kulitku.

Menyadarkan betapa malangnya hidupku.

Tanpamu...

Dan ikatan yang semu.










JODOH SEORANG PEMERKOSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang