Nay's POV
Semua orang sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing sedang aku hanya bersantai dengan pengawasan Tuan Besar Bramantiyo langsung walau pengawasku itu hanya sibuk dengan IPadnya. Di usianya yang tidak muda lagi dan rambut yang mulai kelabu, beliau masih terlihat gagah. Papa, ya, ayahku yang selalu tenang dan tak banyak bicara tapi selalu ada ketika aku membutuhkannya. Satu sayap yang siap mengepak untukku.
"Ada apa? Mual lagi?" Tanyanya karena memergokiku memandanginya. Aku menggeleng dan mengambil satu lagi biskuit asin yang membuatku merasa lebih baik walau tidak juga membuatku merasa kenyang. Aku sedang menunggu mama yang sedang membuatkanku sesuatu yang sangat kuinginkan sejak semalam.
"Ma, mana makanannya? Cepatlah sedikit!" Teriak papa yang sempat membuat orang-orang yang sedang bekerja melihatnya sesaat tapi kemudian kembali fokus pada tugas mereka masing-masing.
Suara seseorang menggelegar meneruskan perintah papa. Seseorang itu, sama tidak sabarannya dengan si Tuan Besar. Tapi aku membiarkan mereka berbuat seenaknya, termasuk over protective padaku. Terakhir kali aku protes, aku berakhir di kamar inap rumah sakit, ditambah bed rest kamar selama seminggu sebelum akhirnya aku boleh berjalan-jalan lagi di rumah megah yang indah ini.
"Maaf sayang, Bi Asih lupa menggoreng kerupuknya tadi. Heran mama, kalau nggak mama pelototin sendiri mesti ada yang nggak beres." Ucap Nyonya Besar Bramantiyo, satu lagi sayap yang siap mengepak untukku.
Aku tersenyum dan menatap makananku dengan penuh nafsu. Aku hampir saja menangis karena menginginkannya. Akhirnya, aku mendapatkan apa yang kumau. Well, memang kapan aku tidak mendapatkan apa yang kumau?
Papa dan mama sepertinya senang melihatku makan dengan lahap, tapi aku mengabaikan tatapan mereka. Demi apapun ini nikmat sekali, sensasi gurih, renyah, lembut, asam manis pedas menari-nari di lidahku. Sepertinya tidak sia-sia aku hampir menangis karena makanan lezat ini.
"Pelan-pelan sayang, nanti kamu tersedak."
Aku tidak menghiraukan perkataan mama. Demi apapun, aku kelaparan dan ini nikmat sekali.
Seseorang menghampiriku, mengecup kepalaku dan mengusap perutku yang semakin buncit. Aku pun tidak menghiraukannya dan hanya fokus pada makananku. Tidak ada yang boleh menggangguku saat ini.
"Kasihan. Anak papa kelaparan ya?" Ucapnya sambil mengusap-usap lagi perutku dan sekali lagi, mengecup kepalaku. Aku melirik ke piringku yang tahu-tahu hampir kosong. Entah kenapa aku merasa sedih.
"Bi, satu piring lagi." Teriak mama yang mungkin menyadari perubahan raut wajahku.
"Sabar ya, Nak." Ucapnya terus mengusap-usap perutku. "Suuuttt, iya iya sayang, sebentar lagi ya."
"Menendang?" Tanya mama yang penasaran dengan dialog seseorang yang tak henti-hentinya mengusap perutku. Aku masih tidak menghiraukan mereka dan hanya menguyup sisa kuah asinan lezatku.
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH SEORANG PEMERKOSA
عاطفية"Setiap kesalahan bisa dimaafkan, tapi tidak semua kesalahan bebas dari tanggung jawab" -Fachir Bramantiyo-