Dua puluh tiga

1.4K 128 5
                                    

Nay seperti orang linglung. Dia terjaga tapi serasa tak berjiwa. Dan Aini merasa sedih melihat adik angkatnya itu.

"Kalau kamu sudah tahu foto-foto itu jebakan, lantas kenapa kamu tetap ingin bercerai, Nak?" Tanya Nyonya Bramantiyo ketika datang ke rumah Aini dimana Nay tinggal setelah meninggalkan kediaman Bramantiyo. Dia harus menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan berharap Nay mengurungkan niatnya untuk bercerai karena Tuan Bramantiyo dan putranya tidak juga mengubah keputusan mereka.

"Karena bukan mereka yang menyakiti Nay,  Ma, tapi keraguan Mas Bian pada Nay. Bagaimana Nay menjalani rumah tangga yang tidak dilandasi kepercayaan."

Nyonya Bramantiyo menggenggam erat tangan lembut menantu kesayangannya itu. Apa benar rumah tangga Bian dan Nay sudah tidak dapat lagi diselamatkan?

"Maafkan Mama yang tidak becus mendidik Bian, maafkan mama." Isak Nyonya Bramantiyo menangisi nasib rumah tangga anaknya.

"Tidak, Ma. Mama adalah ibu yang terbaik yang pernah Nay kenal. Sampai kapanpun Mama akan selalu jadi Ibu Nay. Ibu yang terbaik."

"Kalau begitu tinggallah sama Mama di Singapur setelah ini, Mama janji akan berusaha membahagiakan kamu."

Nay menarik tangannya dari genggaman Nyonya Bramantiyo. Bagaimana Nay bisa menerima tawaran itu jika dia bukan lagi menantu keluarga Bramantiyo?

"Maaf, Ma. Nay tidak bisa."

*

"Kau masih punya kesempatan untuk merubah keputusanmu Nay. Pikirkanlah baik-baik. Bukan ini yang kau inginkan." Ujar Aini sambil mengelus punggung Nay. Mencoba menguatkan adik angkatnya itu.

Nay yang tersadar langsung melanjutkan kegiatannya. Tak sadar jika ia hanya menyabuni piring yang sama sedari tadi. Nay berusaha tak berkomentar apapun. Tenggorokannya tercekat, seakan-akan, satu kata saja akan membanjirkan air matanya.

"Sudah dua hari ini, tiap malam Mbak lihat suamimu parkir di depan rumah. Dia hanya melihat ke arah kamarmu. Mbak yakin, asal kamu memintanya, dia pasti akan menghentikan perceraian kalian. Perceraian adalah sesuatu yang dibenci Allah, Nay. Pikirkanlah kembali."

Tes.

Sebulir kristal bening jatuh dan bercampur dengan cucian piring yang mulai penuh dengan sabun. Dan setetes itu segera menganak sungai. Nay masih tidak ingin berkomentar apapun. Dia masih berpikir keputusannya ini sudah benar. Ya, ini sudah benar.

Aini menghela nafas karena apapun yang ia katakan sepertinya akan sia-sia. Aini hanya mencuci tangan Nay yang penuh dengan sabun dan membawa adik kesayangannya itu ke pelukannya. Membiarkannya mengeluarkan semua kesedihan akan nasib rumah tangganya dan karena kekeras hatiannya.

***

Keesokkan harinya.

Nay hampir saja mengulas senyum ketika melihat buket bunga di depan pintu. Seseorang menekan bell dan seseorang itu kini tengah menyembunyikan wajahnya di balik buket besar mawar pink yang sangat cantik. Apakah.....

"Bunga cantik untuk mawar tercantik. Selamat pagi, Bidadari."

Tapi senyum itu tak jadi terulas ketika si pemilik wajah menampakkan dirinya. Apakah salah jika Nay mengharapkan wajah lain di balik buket cantik itu?

"Baiklah. Sepertinya tak berhasil. Aku memang tak pandai merayu. Apa boleh aku menumpang sarapan pagi di sini?"

"Wira." Sapa Aini yang mengenali tamu pagi mereka. Wira yang tak pernah menyerah untuk meluluhkan hati Nay.

"Selamat pagi, Mbak. Maaf saya menganggu pagi-pagi."

"Tidak apa. Masuklah, Mbak sudah menyiapkan sarapan."

"Dengan senang hati." Jawab Wira yang kemudian masuk tanpa basa-basi dengan membawa buket bunganya sendiri.

"Selamat pagi, Nyonya."

"Nay?" Panggil Aini yang menyadari Nay tengah melamun.

"Aku lapar, Nyonya. Bisakah kau memberi suamimu ini makan?"

"Nay!"

Batu besar menimpa jantung Nay ketika ia tersadar. Apa itu? Kenapa dia terus saja memikirkan suami yang sudah terus menerus menyakitinya?

"Kau baik-baik saja?" Tanya Aini yang khawatir.

Nay menolehkan kepalanya ketika mendengar suara mobil yang melaju. Dia tak mengenal mobil yang baru saja melintas, tapi entah kenapa dia merasa melihat wajah yang ia rindukan. Perasaan apa ini? Nay merasa ada yang mengganjal di hatinya. Apakah......

*

"Aku akan kembali ke Prancis 3 minggu lagi. Ketika aku datang, aku harap kau sudah berubah pikiran. 6 bulan dari sekarang, kau harus menerima tawaran kebahagiaan dariku. Mengerti?"

"Mas, aku sudah bilang."

"Nay!"

Nay terkejut ketika Wira berbicara keras kepadanya. Dia bahkan belum menyelesaikan kata-katanya.

"Please. Jangan keras kepala lagi! Kau tahu mana jalan yang bisa membahagiakanmu. Lihatlah! Tuhan mengujimu sampai sebatas ini, dan sebentar lagi kau akan terbebas dari ujian itu. Kau berhak bahagia setelah semua kesedihan yang kau alami, Nay. Bukalah matamu lebar-lebar dan lihatlah siapa yang ada di hadapanmu saat ini. Bukan pria yang sudah mengambil kebahagiaanmu, tapi pria yang selalu ingin membahagiakanmu."

"Aku...."

"Orang jahat itu akan segera jadi masa lalumu dan akulah yang akan menjadi masa depanmu nanti. Jadi terimalah kenyataan ini. Pria itu hanyalah luka dalam hidupmu, jadi biarkan aku mengobati luka itu." Tambah Wira lagi-lagi tak membiarkan Nay menyelesaikan kata-katanya.

Dan ketika Nay tidak tahu harus berkata apa lagi, seorang wanita berambut bob muncul bersama Aini. Sepasang mata terlihat terkejut dengan kemunculan wanita bertubuh mungil itu tapi ia berusaha untuk tetap tenang.

"Aku pergi dulu. Mbak, thanks breakfastnya ya." Ucap Wira cepat yang lalu meninggalkan para wanita di rumah itu. Memberikan privasi pada mereka.

Wanita berambut Bob itu terpaku sesaat sebelum merasakan getaran di telepon genggamnya. Dia segera mengeluarkan telepon genggamnya dan terlihat jelas meremas erat telepon genggamnya itu.

"Apa Anda baik-baik saja?" Tanya Aini yang menyadari keanehan pada tamu Nay yang sepertinya Nay kenali.

JODOH SEORANG PEMERKOSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang