Lantunan yasin terdengar seperti gema yang bersahut-sahutan di rumah sederhana Muhammad Salahudin. Pelayat datang dan pergi bergantian. Satu persatu kaum hawa mendekati Nay seraya berbisik lirih di telinganya.
"Yang sabar ya Neng."
"Yang kuat ya Neng."
"Yang ikhlas."
Sabar ?
Kuat ?
Ikhlas?
Bisakah Nay melakukannya? Kedua orang yang paling ia cintai pergi meninggalkannya, untuk selama-selamanya. Bagaimana bisa Nay mengikhlaskan hal itu semudah kata-kata yang mereka ucapkan?
Mereka hanya berpamitan untuk mengantar tetangga mereka yang pergi membesan.
Mereka hanya berpamitan seperti biasa jika mereka berpamitan ke kebun untuk mengawasi para buruh atau sekedar mengecek perkebunan.
Mereka tidak berpamitan untuk meninggalkan Nay selama-lamanya.
Tidak seperti itu kan?
Tapi....
Kenapa ada 2 jasad terbujur kaku di hadapannya?
Kenapa mereka tidak mengucap salam jika mereka sudah kembali seperti biasanya?
Kenapa bau kapur barus dan kembang membuatnya mual?
Kenapa semua orang menangis dan menghiburnya?
*
"Bus rombongan yang ditumpangi Uwa masuk jurang. Hanya sedikit yang selamat dan uwa.... uwa..."
Nay menatap kakak sepupunya dengan jantung yang bertabuh hebat. Tidak. Jangan katakan hal itu. Itu tidak mungkin.
"Uwa Udin dan uwa minah tidak selamat. Mereka meninggal Nay. Mereka telah pergi meninggalkan kita." Isak Ali tak tertahankan.
Nay terjatuh di lantai dingin koridor rumah sakit. Dia bisa mendengar keluarga lain sedang histeris menangisi keluarga mereka yang juga menjadi korban kecelakan naas tersebut.
'Apa?'
'Ayah?'
'Ibu?'
"Dimana mereka?" Tanya Nay yang masih tidak ingin percaya. Orang tuanya baik-baik saja. Mereka pasti salah mengidentifikasi korban. Ya, pasti. Pasti ada kesalahan di sini. Baru tadi pagi Nay melihat ayah dan ibunya berpamitan dengannya. Ini baru beberapa jam saja. Mana mungkin...mana mungkin...
Tapi tidak ada kesalahan. Muhammad Salahudin dan istrinya, Aminah, tewas dalam kecelakaan tunggal dalam perjalanan menuju rumah pengantin wanita anak tetangganya yang entah bagaimana keadaannya sekarang.
Nay seperti kehilangan akalnya. Dia tenggelam dalam kesedihannya sampai menangispun ia tak bisa. Yang dia tahu 2 dari korban kecelakaan itu adalah orang tuanya dan akan segera diantarkan ke rumah duka. Rumah Muhammad Salahudin. Ayahnya yang kini telah tiada.
***
Bian baru saja tiba di apartemennya ketika ia menyalakan kembali smartphonenya. Suara notifikasi langsung terdengar bergantian. Bian tak mengacuhkannya. Dia masih sangat lelah setelah melakukan penerbangan dari Bali dalam rangka menghadiri konferensi bisnis 3 hari di sana. Dia hanya ingin istirahat sampai suara panggilan mengganggunya.
"Ya, Ma?"
"......"
"Innalillah...Bian segera ke sana."
*
Bian datang dalam keadaan kacau. Ia masih memakai baju kotornya, dan tubuhnya terasa lengket. Tapi dia tidak peduli. Dia hanya ingin segera menemui Nay, istrinya yang tengah berduka.
"Maaf Ma, Bian baru sampai." Ucap Bian ketika mendapati ibunya sudah lebih dahulu tiba di rumah almarhum besannya.
"Wes, mama dan papa akan urus semua keperluan. Pemakaman akan dilakukan sore ini juga. Masuk dan temui istrimu. Dia sepertinya sangat terpukul. Dia bahkan tidak bicara ataupun menangis."
Hati Bian teriris mendengar apa yang dikatakan Ibunya. Nay pasti hancur. Lagi. Dia kehilangan orang-orang yang ia cintai. Bian bahkan tidak bisa membayangkan apakah ia bisa sekuat Nay jika hal yang sama menimpa dirinya.
Dan di sanalah ia melihat bidadarinya yang malang. Kesedihan nampak jelas di wajahnya, walau tak sebulirpun air mata menghiasi wajahnya.
*
Nay yang sibuk dengan pikirannya sendiri masih tak berbicara sepatah katapun. Bahkan untuk menangis pun ia tak bisa. Seburuk apapun kemalangan yang menimpanya, Nay masih bisa tegar karena ada orang tua yang menjadi sandaran baginya. Tapi kini, siapa yang akan menjadi sandaran Nay? Siapa?
Saat itulah, netra Nay menangkap Bian. Pria itu terus mendekati Nay membuat pertahanan Nay runtuh. Matanya mulai berkabut air mata dan begitu Bian merengkuhnya erat, Nay menumpahkan semua air matanya.
"Ibu....ibu......"
"Sssstt... tidak apa sayang. Ada aku..hmm?" Ucap Bian sambil mengusap-usap punggung Nay yang bergetar hebat.
"Ayah.... ayah...."
"Aku tahu. Tapi kau harus kuat. Hmmm? Biarkan mereka beristirahat dengan tenang. Hmm?"
Nay tak menjawab apapun selain terus menangis meraung-raung. Membuat Tuan dan Nyonya Bramantiyo ikut larut dalam kesedihan putri mandor perkebunan itu. Siapapun tidak akan tega melihat kesedihan sang bidadari yang akhirnya pingsan tak sadarkan diri.
***
"Ayo Nay. Hari sudah hampir malam." Bujuk Bian yang melihat Nay masih saja tidak beranjak dari Nisan bertuliskan Muhammad Salahudin, ayahnya. Di sebelahnya nisan baru juga terlihat. Atas nama Aminah, ibundanya.
"Pergi saja. Aku mau di sini. Tidak usah mempedulikanku." Ketusnya sembari terus mengusap bunga di atas tanah makam yang lembab.
Bian tahu Nay tidak akan mendengarkan kata-katanya. Jadi Bian hanya mengangkat Nay dan membawanya pergi dari pemakaman umum itu.
"Lepaskan! Lepaskan aku! Aku mau di sini. Lepaskan aku bajingan."
Bian tak menghiraukan pukulan dan caci maki Nay. Dia hanya terus membawa Nay seperti karung beras dan memasukkannya paksa ke dalam mobil.
"Tidak. Biarkan aku keluar. Aku mau ayah dan ibuku. Apa kau tuli?"
"Jalan pak." Perintah Bian yang membuat Nay bertambah histeris. Bian tahu ini berat bagi Nay, tapi walau bagaimanapun, Nay harus mengikhlaskan kepergian ayah dan ibunya. Mereka telah tiada.
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH SEORANG PEMERKOSA
Romance"Setiap kesalahan bisa dimaafkan, tapi tidak semua kesalahan bebas dari tanggung jawab" -Fachir Bramantiyo-