"Bunda jangan sedih. Nak bahagia kok di sini."
Nay menatap bocah laki-laki berwajah tampan yang sedang menghiburnya. Mata dan senyumnya mengingatkan Nay pada seseorang. Tampan dan rupawan.
"Maafkan Bunda, Nak. Bunda nggak bisa jaga kamu dengan baik. Bunda nggak bisa jadi ibu yang baik buat Nak. Maafkan Bunda."
"Bunda... Allah itu Maha Penyayang. Allah Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-hambanya. Asal Bunda ikhlas, Allah pasti akan memberi yang lebih baik sebagai gantinya nanti."
"Jangan pergi, Nak. Bunda sayang kamu. Bunda nggak mau kehilangan kamu. Tetap sama Bunda, ya ?? Hmm?? "
Nay melihat bocah laki-laki di hadapannya tersenyum bak malaikat. "Nak akan tunggu Bunda di surga. Bunda yang sehat ya, bahagia terus, jangan sedih, nanti Nak juga sedih."
"Tidak Nak. Ajak Bunda sama kamu. Bunda mau tinggal sama kamu. Bunda nggak punya siapa-siapa lagi sekarang. Cuma kamu yang Bunda punya. Bunda mohon, jangan tinggalin Bunda. Bunda mohon."
Lagi-lagi, bocah laki-laki tampan itu hanya tersenyum bak malaikat. Semakin lama, dia semakin menjauh. Mengikuti sosok bercahaya yang seakan-akan menuntunnya.
"Tidak, Nak. Kembali. Bunda mohon. Naaaakkk......"
*
Nay terjaga ketika ia mendengar suara kardiogram mengganggu telinganya. Bau kimia menusuk penciumannya. Putih adalah warna yang ia tangkap ketika matanya sudah benar-benar terjaga. Nay di rumah sakit dan ia tahu kenapa dia bisa berada di sini.
"Nay, kau sudah bangun?" Tanya Aini cemas ketika melihat Nay yang mulai membuka matanya.
Bukannya menjawab Nay malah terisak. Dia tahu apa yang mungkin sudah terjadi padanya. Apa yang mungkin telah pergi darinya. Dan kesedihan itu sangat tak tertahankan.
"Dia pergi kan, Mbak? Anakku sudah pergi."
Aini langsung membawa Nay ke dalam pelukannya. Memeluk wanita yang sudah ia anggap seperti adik kandungnya itu dengan erat. Malangnya Nay. Dia terus menerus mendapat ujian berat dalam hidupnya. Aini bahkan merasa ujian dalam hidupnya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang Nay alami.
"Yang sabar Nay. Ini semua sudah kehendakNya."
Dan Nay hanya membanjiri lagi wajahnya dengan air mata. Anak yang bahkan belum sempat ia lahirkan kini telah tiada. Pergi untuk selama-lamanya.
***
"Jangan katakan apapun, Mbak. Aku nggak mau Mas Bian tahu. Toh tahu pun tak ada gunanya." Ucap Nay datar di ranjang rumah sakit yang tidak nyaman baginya.
"Nay, dia suamimu. Dia berhak untuk tahu. Aku akan memberi tahunya begitu ia bisa dihubungi. Demi apapun, kenapa handphone suamimu masih tidak aktif. Sebenarnya, dimana dia sekarang?"
Tok tok tok.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumus salam." Jawab Aini riang.
Aini yang senang karena mengira itu Bian langsung kecewa ketika yang ada di muka pintu justru orang lain.
"Boleh aku masuk, Mbak?" Tanya Wira berbasa-basi.
Aini yang memang sudah mengenal Wira sejak lama mengijinkan pria berkemeja hitam itu masuk. Apakah dia sengaja memakai hitam karena tahu Nay keguguran?
"Bagaimana keadaan ibumu? Lebih baik?" Tanya Aini yang mengetahui perihal ibu Wira yang dirawat di rumah sakit karena serangan jantung.
"Alhamdulillah, Mbak. Baru saja tidur, makanya aku kemari untuk melihat keadaan Nay." Jawabnya lalu mendekati Nay yang terlihat tidak baik.
"Bisakah kau menjaga Nay sebentar. Aku harus memanggil dokter untuk mengecek keadaan Nay."
"Tentu. Aku akan menjaganya dengan baik. Mbak tidak usah khawatir."
*
"Kau tidak perlu hidup seperti ini, Nay. Kau berhak untuk bahagia."
Nay hanya melihat ke arah Wira sebentar lalu menoleh kembali. Melihat ke luar jendela di mana tak ada yang menarik untuk dilihat, tapi cukup mengalihkan perhatiannya dari pahitnya kehidupan.
"Bulan depan aku akan kembali ke Prancis. Kembalilah padaku, dan ikutlah denganku ke Prancis. Aku berjanji akan membahagiakanmu."
Nay melirik ke arah Wira lagi. Dilihatnya senyum yang dulu sangat ia rindukan. Tapi entah kenapa, senyum itu terasa sangat biasa sekarang.
"Tangan Mas kenapa?" Tanya Nay ketika melihat tangan kanan Wira yang dibebat kain kasa.
"Ah, ini. Aku bertemu preman dan berkelahi dengannya. Aku membuatnya babak belur."
Nay tak berkata-kata lagi dan Wira cukup mengerti untuk membiarkan Nay sibuk dengan pikirannya. Mungkin dia akan membujuk Nay lagi nanti. Nay hanya butuh waktu.
***
Seminggu kemudian.
Bian melihat wajahnya di kaca dan memastikan semuanya terlihat baik. Setelah itu ia keluar dari mobil mewahnya. Sudah lama rasanya Bian tidak menginjakkan kakinya di rumahnya sendiri.
Bian tahu dia sangat dingin pada Nay belakangan ini. Bian terbakar emosi dan cemburu gila. Dia tidak tahan mengetahui istri yang teramat dicintainya bertemu dengan pria lain. Apalagi pria itu masih ada di hatinya. Tapi Bian tak mau kehilangan Nay. Dia akan mencoba memperbaiki hubungannya dengan bidadari hidupnya itu. Walau bagaimanapun, Wira hanyalah masa lalu bagi Nay. Ya. Wira hanyalah masa lalu.
*
Nay kembali terjaga dan mendapati Bian duduk di lantai. Menumpu tangannya di tepi ranjang seraya menatap Nay. Entah sejak kapan. Tapi seperti biasa, pria 31 tahun itu tersenyum ramah. Membuat Nay sadar, suaminya telah 'kembali'.
"Maaf karena aku terlalu cemburu. Aku pikir kalau aku di sini aku mungkin akan menyakitimu. Jadi, aku menghindarimu."
Nay hanya mengedip-ngedipkan matanya. Suaminya yang tak tahu apa-apa. Dia bahkan tak tahu, berapa banyak belati yang ia tancapkan pada hati dan pikiran istrinya itu.
"Aku rindu masakanmu, Nyonya. Bisakah kau memberiku makan?" Celotehnya mencoba mencairkan suasana.
"Mandilah dulu. Aku akan siapkan makanan."
"Siap Nyonya Boss!"
Dan Nay hanya bisa tersenyum getir. Nay tidak tahu, jalan seperti apa yang disiapkan Tuhan untuknya. Tapi Nay akan mencoba bertahan dan menjalaninya. Mana tahu dia menemukan sesuatu yang indah pada akhirnya. Bukankah sesuatu akan indah pada waktunya? Kalaupun tidak, Nay tidak akan menyesal. Setidaknya, ia telah mencoba.
Bagaimana ini tanggung, tapi sepertinya besok sibok. Kalau gak ada up besok berarti weekend ya 😝😝😝😝😝
Next :
"Apa kau sengaja menggugurkan kandunganmu agar kau bisa pergi dengan mantan tunanganmu itu? HAH??"
"Apa kau membunuh anakku karena itu? Jawab Nay! Jawab!!!"
PLAK!!!
Nay tak tahan lagi. Nay tak bisa menahan sakit ini lagi. Dia ingin pergi. Dia ingin pergi dari makhluk kejam ini.
"Cukup Tuan Bramantiyo. Sudah cukup kau merendahkanku seperti ini. Ceraikan aku! Aku tidak tahan lagi hidup di neraka bersamamu."
"Kau pikir aku mau hidup dengan manusia yang telah sengaja menghilangkan nyawa anakku? Jangan khawatir Nyonya. Kau boleh yakin, kita akan bercerai. Secepatnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH SEORANG PEMERKOSA
Romansa"Setiap kesalahan bisa dimaafkan, tapi tidak semua kesalahan bebas dari tanggung jawab" -Fachir Bramantiyo-