Bian baru saja memasuki area ruang keluarga yang elegan ketika ia mendengar ocehan Nyonya besar yang tak asing lagi di telinganya. Dia sudah hidup dengan ocehan itu sepanjang usianya dan mungkin sampai akhir hayatnya. Itu adalah ocehan Nyonya besar Bramantiyo. Ibundanya.
Mata teduh nan tegas menangkap manik legam Bian ketika dia semakin dekat dengan sumber ocehan yang masih belum berhenti. Pemilik mata itu pastilah orang yang amat sabar hingga tak pernah mengeluh dengan ocehan si Nyonya besar.
"Sudah datang?" Tanya si Mata teduh menghentikan sesaat si Nyonya pengoceh yang terlihat memberengut kentara itu.
Bian hanya mengangguk. "Ada apa sih, Ma?" Tanyanya sembari duduk di sisi kanan ayahnya, si pemilik mata teduh.
"Ada apa? Ada apa? Ini coba lihat!" Sungut si Nyonya besar pada anak semata wayangnya.
Mata Bian mengikuti arah jari bercincin berlian ibunya. Diambilnya undangan bernuansa putih dengan motif bunga yang tergeletak tak diinginkan di meja. Ada 2 aksara terukir indah di atasnya. W dan N.
"Oh, Wira akan menikah?"
Bian terkejut akan hal ini. Pasalnya, Wira adalah sahabat baiknya, tapi dia bahkan tidak tahu apa-apa, atau mungkin belum. Di undangan itu tertulis hari H nya masih satu bulan lagi. Lantas kenapa ibunya sudah mendapatkannya? Apa pengiriman undangan ini tidak terlalu cepat dari tanggal?
"See? Kamu yang sahabat baik Wira saja belum tahu apa-apa. Mama tahu Bu Dibyo sengaja pamer ke mama karena putranya yang tukang masak itu menikah lebih dulu dari pada kamu. Moso, tanggal pernikahan masih 1 bulan lagi, undangan sudah dikasih sekarang. Cuma mama lagi yang sudah dapat, ibu-ibu dari Kasih Bunda belum ada yang dapat. Apa maksudnya coba?"
"Wira bukan tukang masak biasa, Ma. Dia koki resto bintang 5 dengan banyak penghargaan. Dia memang bilang sudah bertunangan, tapi kami belum tahu kalau tanggal pernikahannya sudah disiapkan."
"Mama kesal sekali. Dia bahkan pamer foto calon menantunya. Ealah pa, cantik sekali toh. Sudah ayu, berkerudung pula. Tanduk mama rasanya mau keluar melihat kelakuan Bu Dibyo. Mama juga mau punya menantu seperti itu."
Bian mengulum senyum. Drama Queen ala Nyonya Bramantiyo memang paling the best.
"Jangan senyam-senyum kamu. Kapan kamu kasih mama mantu?"
Bian terdiam dan berdeham seketika. Pertanyaan yang selalu membuat Bian malas bertemu ibundanya itu. Sayangnya, dia tidak pernah menghindari sang ibunda dan pertanyaan yang terus menerus didengarnya.
"Makanya mama jangan pilih-pilih. Sudah berapa kali Bian kenalin pacar Bian ke mama? Selalu saja nggak lulus standar menantu idaman Mama. Bian harus bagaimana lagi dong, Ma?"
"Lah kamu punya pacar nggak ada yang keruan. Ya artis lah, ya model lah. Mama mana mau punya mantu yang selalu pakai baju kekurangan bahan macam gitu."
"Kalau dari kalangan bisnis, papa yang gak setuju. Apa Bian harus perkosa calonnya Wira yang mama sangat sukai itu biar mama dan papa bisa lamar dia buat Bian?"
"Hush kamu ini. Ngawur. Mama nggak neko-neko. Mama cuma mau wanita sederhana yang bisa mengurus anak kesayangan mama ini. Mama dan papa sudah tidak muda lagi. Bian juga sudah kepala tiga. Sudah sangat pantas berumah tangga. Mama cuma mau lihat anak Mama bahagia. Itu saja. Kamu memang nggak pengertian sama mama hiks."
Bian dan pemilik mata teduh yang lebih perhatian pada news di ipadnya dari pada mendengarkan istrinya kompak menghela nafas. Kalau sudah melankolis begini, tak ada lagi yang bisa mereka lakukan selain membiarkan ratu keluarga mereka itu berhenti dengan sendirinya. Dan syukurlah, ketika pengurus rumah memanggil sang Nyonya untuk mengatur menu yang akan disajikan, sang Nyonya menegakkan kepalanya dan berkata, "Hari ini kita akan buat soup Jomblo" Haha. Jangan tanya apa itu soup Jomblo. Itu hanya karangan semata untuk menyindir putranya secara terang-terangan. Tapi jangan khawatir, Bian tidak merasa tersindir sedikitpun.
***
Pukul 20.45
Bian yang akhirnya bisa pergi dari kediaman orang tuanya setelah makan malam tidak lantas pulang ke apartemennya. Dia melipir ke sebuah pub resto di mana ketiga sahabatnya sudah tiba lebih dulu darinya. Mereka memang biasa hang out di akhir pekan bersama, hanya untuk melepas penat dari rutinitas kerja mereka.
"What's up Bro? Kok lesu gitu?" Tanya Alex, sohib yang paling brandal di antara empat sekawan mapan tersebut. Brandal karena hobinya racing street & boxing. Bukan sekali dua kali Alex harus berurusan dengan kepolisian karena hobinya itu.
"Nih, gara-gara Wira." Tunjuk Bian dengan mata dan dagunya.
Wira yang sedang merasai mocktailnya hampir tersedak.
"Me?" Tanya Wira tak mengerti.
"Your mom." Tambah Bian yang tak menjelaskan apapun pada Wira yang kebingungan.
"My mom?"
Alex bersama Toni yang baru datang hanya bisa menahan tawa melihat reaksi ajaib Wira yang seperti biasanya. Wira adalah seorang chef ternama yang banyak dikagumi para wanita, tapi dia adalah sosok yang paling polos dan lurus di antara 4 sekawan yang sudah berteman sejak bangku SMA itu.
"Yeah. Ibumu mamerin undangan pernikahan antara Wira Sudibyo dan Nay... Nay..." Bian tak bisa mengingat nama yang sekilas ia baca itu tapi belum sempat ia menggali memorinya, Alex dan Toni sudah menginterupsi topik pembicaraan. Memberondong Wira dengan pertanyaan ini itu tentang pernikahannya yang terkesan disembunyikan dan Bian tak peduli. Sudah cukup dia mendengar ocehan ibunya tentang pernikahan. Dia- tidak-ingin membicarakan pernikahan siapapun dan dengan siapapun lagi untuk saat ini.
Segelas mocktail berwarna hijau cukup menarik perhatiannya. Di tambah hiasan cherry yang membuatnya tersenyum.
Cherry.
Entah kenapa dia tersenyum hanya karena melihat cherry yang amat biasa itu.
***
"Tapi bu, saya tidak masalah seperti apapun mas mengatur apartemennya, apalagi kata ibu hanya sementara sampai rumahnya selesai dibangun. Saya ikut saja."
Gadis manis berkulit cerah itu terus saja berusaha meyakinkan calon ibu mertuanya agar tidak memaksanya untuk mengatur apartemen yang akan ia tempati bersama suaminya bulan depan. Tapi seperti usahanya sia-sia karena calon ibu mertuanya tetap saja bersikukuh untuk memastikan calon menantu idamamnya mendapatkan segala kenyamanan sesuai keinginannya.
"Mana bisa, nak? Walau bagaimanapun Ibu mau kamu merasa nyaman walaupun hanya tinggal di apartemen. Sek sek. Mbok Nah, ambilkan key pass di laci Mas Wira."
"Ya, Nyonya? Key pas?" Tanya si Mbok tak mengerti.
"Pergi ke kamar Mas. Dilaci meja kerjanya ada kartu yang ada nomornya. Tolong ambil dan bawa kesini."
"Baik Nyonya."
Tak lama kemudian si Mbok berbadan subur berjalan agak cepat dan menghampiri majikannya.
"Ini Nyonya. Ada 2." Ucap Mbok Nah sembari menyerahkan key pass ke tangan wanita berkepala lima itu.
"Mungkin serepnya. Nanti yang 1 Mbok Nah minta pak Giman antarkan ke rumah Felicia ya."
"Punten Nya. Jam sabaraha?"
"Sekarang saja deh Mbok Nah. Sek saya telpon orangnya."
Gadis manis berkerudung merah muda itu terlihat tak bersemangat. Berbanding terbalik dengan calon ibu mertuanya yang begitu bersemangat menelepon keponakan perempuannya. Seorang interior designer yang akan menemani si Gadis manis menata apartemen yang akan di tempatinya.
'Perasaan apa ini? Kenapa aku merasa hal buruk akan terjadi padaku?'
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH SEORANG PEMERKOSA
Romance"Setiap kesalahan bisa dimaafkan, tapi tidak semua kesalahan bebas dari tanggung jawab" -Fachir Bramantiyo-