#4 Aksa Get Angry

260 24 37
                                        

Huh, hari ini sungguh melelahkan. Aku sungguh tak mengerti kenapa seleksi staf itu sudah sama sulitnya dengan audisi pemilihan idol. Haruskah aku menyerah? ah, tentu saja tidak sama sekali. Aku sudah mengorbankan segalanya demi datang kemari dan aku tak mungkin harus menyerah begitu saja.

Aku beruntung karena berada pada bagian yang sama dengan Sol-Ah. Itu artinya aku akan punya teman meskipun biasanya, aku memang mudah untuk mencari teman.

"Aku sedikit sedih karena Wooseok berada di bagian keamanan," gumam Sol-Ah sambil menyeruput bubble tea yang baru saja dipesannya. "Haruskah aku protes?"

"Kau akan melakukannya?"

"Tentu saja tidak, aku tak ingin cari masalah," ujarnya diiringi dengan kekehannya. Memang kami tak bisa memilih pada bagian mana kami akan bekerja. Mereka melihatnya dari kualifikasi surat lamaran yang telah kami kirim.

"Ah aku lupa!" Aku memukul pelan dahiku, merutuki diriku yang sungguh bodoh karena melupakan soal Aksa dan malah duduk di sini. "Aku harus segera pergi, maaf."

"Tidak apa-apa, sampai jumpa nanti."

Dengan terburu-buru aku melangkah. Berharap Aksa tak pergi begitu saja meninggalkanku. Ah, kenapa aku sampai lupa jika Aksa sejak tadi menungguku di luar?

"Sa, maaf," sesalku yang hanya membuat pria itu memberikan helm padaku. Apa dia marah padaku?

"Cepetan, aku buru-buru," dinginnya, membuatku semakin merasa bersalah saja. Haruskah aku kembali meminta maaf padanya? tapi biasanya dia akan terus diam seperti ini jika memang benar-benar kesal. Baiklah, aku akan menunggu hingga dia meredakan kemarahannya lagi.

Aku merasa bingung saat dia mengendarai motornya melewati jalan yang biasanya. Dia akan pergi ke mana? membuangku? ah rasanya benar-benar mustahil.

Aku mengeryit kala motornya melaju semakin kencang, membuatku mengeratkan peganganku pada jaket kulit yang dia gunakan. Sebenarnya ada apa dengannya?

Motornya berhenti di salah satu rumah yang terlihat tak terlalu besar. Dia memintaku turun, membuatku menurut sambil terus menatap rumah yang ada di hadapanku.

Dia melangkah masuk, meninggalkanku begitu saja. Sepertinya dia benar-benar merasa kesal padaku. Wajar saja, aku membuatnya menunggu hampir satu hari penuh di sana. Itulah kenapa aku berniat untuk meminta maaf saja sekarang.

Langkahku terhenti mendapati Aera yang kali ini berdiri di dalam rumah itu, tersenyum sambil menyambut kedatangan kami berdua.

"Maaf, Syifa gak pamit dulu dan langsung ke sini aja," ujarnya dengan nada menyesal, membuatku tersenyum kemudian menggeleng.

"Mau pulang sekarang?" tanya Aksa. Membuat Aera menggeleng.

"Enggak, mungkin lusa. Belum beli tiket," jawabnya. Dia lalu berbalik dan berkata, "Kenalin, ini temennya Syifa."

Aku dan Aksa tersenyum lalu menganggukan kepala sebagai sapaan.

"Tapi tunggu, kenapa Syifa?" tanyaku bingung sebab yang ku tahu, namanya adalah Aera.

"Itu namanya sebelum dia...hmmmpft." Seseorang yang berada di samping langsung saja membekap mulutnya. Entah apa yang akan dia katakan hingga orang yang di sampingnya dengan segera menutup mulutnya.

"Itu emang nama Syifa. Cuman ada sedikit masalah sampe Syifa dapet nama Aera," jelasnya, membuatku hanya mengangguk saja sebagai pertanda jika aku paham. Dia lantas meraih sesuatu yang ada di atas meja, kembali menghampiri kami berdua dan tersenyum. "Jadi sekarang bisa Syifa pamitan dengan baik?"

*
*
*

Aksa membawaku ke sungai Han. Aku bersandar pada motornya sedangkan dia sedang sibuk memperhatikan tenangnya aliran sungai dengan hembusan angin yang membuat rambutnya menari. Apa dia merasa sedih?

Aku berjalan menghampirinya, mengusap bahunya hingga membuat pria itu menghela napasnya. Dia berbalik, membuatku memberikan tatapan 'Sa, kamu baik-baik aja 'kan?'

"Entah kenapa rasanya kayak ada yang hilang," ujarnya membuatku semakin heran.

"Maksudnya?"

Aksa mendesah kesal. "Masa gak ngerti sih?"

Sebenarnya aku paham betul apa yang coba dia katakan. Sepertinya dia cukup merasa kehilangan karena Syifa akan kembali ke Indonesia. Itu artinya Syifa tak akan ada lagi di kontrakan miliknya.

Aku menatap foto kami berempat di lockscreen ponselku lalu tersenyum. Memang aku belum lama mengenalnya, tapi rasanya aku juga merasa kehilangan. Sama seperti saat aku, Aksa, dan juga Bela harus terpisah karena Aksa memilih pindah ke Korea.

"Makan yuk, aku yang traktir," ajakku, membuatnya langsung saja tersenyum. Raut wajahnya berubah begitu saja saat aku mengatakan 'makan'

"Ayo," ajaknya bersemangat, membuatku berdecih sebelum akhirnya mengambil helm yang Aksa berikan. Berikutnya aku tersenyum sebab raut wajah sedih Aksa seketika hilang. Huh, dia memang masih belum berubah soal menjadi penyuka makanan.

Motor yang dia kendarai kini melewati jembatan panjang itu, menyebrang ke daerah lain. Aku yakin dia tahu tempat makan yang enak di sana.

Motornya berhenti di salah satu kedai di pinggir jalan. Dari harumnya, aku sudah bisa menebak jika makanan itu pasti terasa enak.

"Makan apa?"

"Mandu," jawab Aksa dengan cepat. Aku bisa melihat tatapan lapar darinya. Huh, aku harap dia tak makan banyak sebab aku masih belum tahu gajiku sebanyak apa. Mana mungkin aku menghabiskan uangku saat ini lalu puasa sampai aku mendapat gaji. It's really a stupid idea.

Aksa duduk sambil tersenyum senang setelah memesan makanan yang dia maksud. Dia sungguh terlihat menyebalkan saat memasang wajah senangnya itu. Aku yakin dia akan membuatku membayar banyak dengan apa yang dia beli.

Aku harap dia tak sungguh-sungguh berniat menghabiskan uangku.

"Cuman satu?" tanyaku saat yang datang hanya satu wadah styrofoam saja. Ck, apa dia sungguh-sungguh tak memikirkanku sama sekali?

Aksa membuka sumpit yang masih terbungkus plastik lalu memberikannya padaku. "Jangan mikir yang macem-macem. Beli satu juga udah cukup. Kamu masih harus bayar uang makan dan lain-lain."

"Oh, jadi satu berdua, nih?"

"Gak mau juga gapapa, aku gak maksa." Aksa menggeser wadah berisi mandu itu lebih dekat ke arahnya, membuatku hanya mendelik lalu menariknya kembali. Dia sungguh menyebalkan.

"Makanya, jangan pura-pura gak mau."

Pilihan makanan Aksa ternyata sangat tepat. Apalagi karena saat ini terasa sangat dingin.

"Sebenernya sih makanan yang enak kalo lagi gini itu ramyeon, cuman mending makan yang ini," ujarnya sambil mengunyah mandu yang sudah ia gigit.

"Udah jangan ngomong pas mulut penuh."

Mataku terkunci pada sosok pria dengan jaket hitamnya, berdiri tepat di depan mobil yang menjajakan Mandu tadi. Aku menyipitkan mataku saat penampilan pria itu hampir sama dengan pria yang membantuku di bandara. Hanya saja tatapannya benar-benar berbeda. Ah aku lupa jika bukan hanya pria itu saja yang ada di sini.

"Dia pasti idol atau enggak actor," ujar Aksa, membuatku menoleh ke arahnya. "Beneran, Rin, biasanya yang pake baju serba tertutup kayak gitu tuh artis," jelasnya dengan nada yang rendah.

Aku kembali menatap pria itu, membuatku sungguh penasaran akan setampan apa pria yang kini tengah menunggu pesanannya itu. Aku yakin ketampanannya sama seperti pria yang ku lihat di lift? atau mungkin lebih?


TBC🖤

12 Sep 2020

Best partTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang