#18 First Snow

163 20 6
                                    

Rini hanya mengangguk sambil mendengar apa yang dikatakan oleh orang yang sedang menghubunginya. Sudah beberapa hari ia tinggal di dorm dan tentu saja hal ini membuat Aksa sedikit khawatir.

"Tenang aja kali, ada Sol-Ah di sini," ujar Rini, membuat Aksa menghela napasnya.

"Beneran nih?"

"Iyalah, tumben-tumbenan gini. Biasanya bodo amat," ujar Rini yang kali ini membuat Aksa terkekeh.

"Gak boleh emang? Udah ya, aku sibuk nih."

Sambungan telepon itu terputus, membuat Sol-Ah yang sedari tadi berdiri di belakangnya hanya bisa memasang senyum penuh ledekan. Ia memang tak mengerti soal bahasa yang Rini gunakan. Tapi ia cukup yakin jika Aksa-lah yang menelepon sahabatnya itu.

"Hidupmu seperti sinetron. Jika aku jadi kau, lebih baik aku bersama Taeyong," ujar Sol-Ah, membuat Rini hampir menjatuhkan ponselnya karena terkejut. Ia tak tahu sejak kapan Sol-Ah mengupingnya. Ia hanya bersyukur karena Sol-Ah pasti tak mengerti apa yang ia katakan.

"Lalu?"

"Tidak ada. Rin, aku bisa lihat dari mata Taeyong jika dia tertarik padamu. Oh Tuhan, kau hidup sebagai Y/N di real life."

Rini hanya tertawa mendengar pernyataan dari Sol-Ah. Masalahnya, itu terdengar terlalu mustahil untuknya. Apalagi Taeyong adalah orang yang benar-benar terkenal. Sedangkan ia hanyalah seorang make-up artist.

"Bicaramu melantur."

"Aku serius. Maksudku, Taeyong seperti memang selalu mencari kesempatan untuk berada di sekitarmu atau meminta bantuanmu. Setahuku, pria itu punya ego yang tinggi. Mereka pasti gengsi meminta bantuan seseorang. Tapi dia justru menitipka--"

Rini menghentikan ocehan Sol-Ah dengan menyuapinya dengan sepotong roti. "Berhenti membicarakan hal yang mustahil. Aku harus tidur sekarang."

Rini berbaring, menyelimuti tubuhnya sebatas bahu kemudian mematikan lampu. Meski sempat mengatakan jika bualan Sol-Ah hanyalah hal yang mustahil, pada kenyataannya saat ini Rini justru terus tersenyum. Apalagi saat potongan momen-momen itu mulai masuk ke pikirannya. Jika dipikir-pikir memang seperti itu. Tapi Rini memilih untuk tak terlalu berharap. Apalagi ia hanyalah orang biasa.








Taeyong masih belum tidur. Ia baru saja menyelesaikan latihannya. Dengan keringat yang masih membasahi tubuhnya, Taeyong memilih untuk duduk di depan kipas angin, membuat Doyoung menggelengkan kepala.

"Hyung, itu tidak baik."

"Aku kegerahan."

"Bagaimana jika kau masuk angin?" Doyoung mematikan kipas angin itu lalu memberikan kipas portable sebagai gantinya. "Lebih baik gunakan ini."

"Doyoung, boleh ku tanyakan sesuatu?"

"Tanyakan saja."

Taeyong berniat bertanya soal sesuatu mengenai asmara. Tapi ia memutuskan untuk mengurungkannya saja. Ia yakin ia akan jadi bahan ledekan nanti. "Tidak jadi."

"Apa soal berita-berita itu? Hyung, aku sudah bilang untuk tidak memikirkannya 'kan? Itu hanya akan membuatmu sangat stres. Apa aku perlu menyita ponselmu?"

Taeyong akui akhir-akhir ini pikirannya seolah bertumpuk. Apalagi karena semakin banyak yang memberikan komentar negatif pada apapun yang ia lakukan. Tapi semenjak perubahan staf, Taeyong merasa lebih tenang. Ia juga tak tahu apa alasan utamanya. Tapi ia yakin salah satu dari staf itu telah mengubah sedikit hidupnya.

*
*
*

Pagi ini masih sama saja. Rini sebenarnya merasa jika bulan ini berjalan dengan sangat lambat. Ia pikir promosi hanya akan berlangsung sebentar. Tapi pada kenyataannya justru terasa sangat lama.

"Tanganmu sakit?" tanya Sol-Ah sambil memoles make-up di wajahnya.

"Hanya sedikit. Tapi aku rasa akan baik-baik saja," ujar Rini sambil memasang koyo di tangannya.

"Apa lebih baik kau istirahat saja? Tidak baik memaksakan diri. Bagaimana jika sakitnya bertambah?" tanya Sol-Ah, membuat Rini menggeleng.

"Itu terlalu berlebihan, Sol-Ah. Ayo, kita akan terlambat."

Sol-Ah menyipitkan mata. "Eyy, semangat kerjamu terlalu tinggi."

Rini tahu seharusnya ia beristirahat. Tapi menurutnya, itu hanyalah pegal biasa dan ia yakin semuanya akan baik-baik saja.

Saat ini udara semakin terasa dingin, membuat Rini terus membiarkan kedua tangannya berada di dalam saku. Ia bahkan merasa jika syal yang ia gunakan benar-benar tak berefek apapun.

Butiran putih itu mendarat tepat di atas mantel merah yang Sol-Ah gunakan. Ia tersenyum kemudian menatap langit yang saat ini masih gelap. "Rin, salju pertama turun."

"Lalu?"

Sol-Ah berdecak lalu memutar malas kedua bola matanya. "Buat permintaan. Ada kepercayaan mengatakan jika kau membuat permintaan saat melihat salju pertama, itu akan terkabul."

"Itu hanya mitos."

"Coba saja sendiri," ujar Sol-Ah yang kemudian mempercepat langkah.

Oke, kita coba. Semoga Taeyong beneran suka. Eh? Kenapa permintaannya malah gitu sih? Rini tersenyum kemudian menggeleng. Setelahnya, ia berlari untuk menyusul Sol-Ah.

*
*
*

"Terima kasih," ujar Rini saat Sol-Ah memberikan segelas kopi padanya. "Ah iya, ke mana yang lainnya?"

Sol-Ah mengedikan bahu sambil menyesap kopi miliknya. "Mungkin di ruang tunggu? Aku tak yakin."

Suara langkah mereka menggema di lobi agensi. Mereka berharap jika kali ini mereka tak terlambat. mereka yakin jika terlambat, Seoyeon dan juga Jiyoung akan sangat mempermasalahkannya. mereka mengerti kenapa dua orang itu selalu saja mencari masalah kepada mereka berdua.

"Aku pikir kalian tidak akan datang. Cepat, seharusnya kalian sudah berangkat bersama yang lainnya." Junki mengatakannya dengan sangat terburu-buru. Sepertinya manager NCT itu sedang sangat sibuk. "Apa yang kalian lihat? Cepat."

Sol-Ah nampaknya sangat kesal sebab pagi ini Junki sudah memarahi mereka berdua. Padahal sudah jelas di grup dikatakan jika mereka harus datang jam 6 pagi.

"Bukankah kita tidak salah?" tanya Sol-Ah dengan sangat kesal. Tentunya hal ini membuat Rini tertawa. Apalagi saat Sol-Ah menunjukkan ekspresi kesalnya.

"Sudahlah lebih baik kita mempercepat langkah."

Mereka bukan hanya mempercepat langkah. Melainkan mereka berlari agar tidak terlalu terlambat.

Dugaan mereka ternyata benar. Seoyeon sudah memberikan tatapan tak sukanya. Orang itu memang ingin sekali mendapatkan balasan dari Sol-Ah. Bahkan Sol-Ah tidak bisa mengendalikan dirinya dan ingin sekali menghajar gadis menyebalkan itu.

"Kenapa kalian terlambat?" tanya kepala make up artist dari tim mereka. "Kalian tahu ini jam berapa?"

Mereka berdua mengangguk. "Maaf."

"Sudah, lebih baik kita berangkat saja sekarang."

Rini menahan tawa saat Sol-Ah dengan sengaja menabrak Seoyeon saat dirinya akan naik ke mobil. Bahkan Seoyeon sampai berdecak sambil menghentakan kakinya sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil.

Masih nunggu Sol-Ah beneran labrak Seoyeon. Rini tahu tak seharusnya ia berharap ada adegan tak terpuji itu. Tapi ia sudah terlalu gemas dengan kebencian Sol-Ah pada Seoyeon yang terlalu menggebu-gebu.

"Rin, dia benar-benar membuatku kesal. Dia pikir dia pemilik SM? Sampai dengan sangat so menatap kita tadi."



TBC🖤

7 Nov 2020

Best partTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang