#13 Why I Call Her?

192 17 18
                                    

"Serius amat." Aksa duduk di samping Rini yang saat ini tengah fokus pada laptop yang ia pinjam dari Bela. Tak lupa Aksa juga meletakan sekaleng minuman bersoda di sampingnya.

"Tau gak? Aku abis dimarahin sama siapa ya? Lupa aku namanya. Dia so bener banget sampe bilang kemampuan aku itu dibawah rata-rata. Ngeselin banget 'kan?" Rini membuka kaleng soda itu kemudian meminumnya. "Terus tuh ya, dia ngomong seakan dia itu paling professional padahal dia masuknya bareng sama aku."

Setelah beberapa hari Rini sibuk dengan pekerjaannya, hari ini ia bisa menikmati masa liburnya sebab ia belum terlalu dibutuhkan untuk saat ini. Mungkin sekitar 2 atau 3 hari lagi tangannya akan kembali dibuat pegal.

"Terus kenapa kamu malah nonton video mukbang dibanding video make-up yang lagi kamu butuhin sekarang?"

"Aku lagi penyegaran otak. Pokoknya pas masuk nanti aku bakalan buktiin kalo dia itu salah."

Aksa terkekeh mendengar gerutuan Rini soal teman kerjanya yang bahkan tak ia ingat namanya. "Terus udah itu?"

"Ya, aku marahin balik dia lah. Enak aja main marah-marahin cuman karena aku sering jadi tempat penitipan barang Taeyong atau Haechan. Terus malah bilang kalo aku masuk agensi itu karena keberuntungan doang. Pengen ku potong tuh lidah."

Aksa memang sudah sangat terbiasa mendengar Rini terus mengoceh. Saat sekolah dulu pun, Rini seperti dikejar waktu jika menceritakan kekesalan yang ia rasakan. "Jadi kamu deket sama Taeyong nih?"

"Cuman tempat penitipan barang. Ish, ngeselin banget tuh orang."

"Kesel-kesel entar malah suka coba. Nih ya aku kasih tau. Biasanya cowok gak akan gengsi minta bantuan ke cewek kalo dia lagi suka sama cewek itu."

Rini merasa jika pipinya mulai memanas. Bahkan ia juga merasa jika perutnya dipenuhi kupu-kupu sekarang. Ia yakin pipinya sudah seperti kepiting rebus sekarang.

"Tapi mungkin aja Taeyong percaya sama kamu. Itulah kenapa dia milih nitipin barang-barangnya ke kamu."

Rini akui perasaannya cukup dipermainkan selama beberapa hari ini. Obrolan mereka seolah memberikan sebuah harapan pada Rini jika Taeyong bukan sekedar menganggapnya sebagai staf. Tapi ia juga tak ingin berharap terlalu jauh sebab Taeyong dan dirinya berasal dari kalangan yang berbeda. Ia merasa tak pantas jika Taeyong menyukainya.

"Yeee malah bengong. Sekarang mending nonton tutor make-up sana daripada mukbang."

"Berisik banget sih. Mau masuk list orang nyebelin di kamus Rini?" kesal Rini yang kembali menonton acara makan besar itu. Ia hanya ingin memperbaiki suasana hatinya saja. Lagipula ia sudah belajar dengan baik selama beberapa hari ini. Ia juga tak segan untuk bertanya pada MUA senior yang bekerja bersamanya.

"Daripada nonton mukbang, gimana kalo mukbang beneran? Biasanya suka ada lomba makan ayam," tawar Aksa, membuat Rini melirik. "Hadiahnya juga lumayan."

"Ah gak mau, makannya harus cepet."

"Ya gak usah cepet-cepet juga. Yang penting bisa makan banyak kayak di mukbang."

*
*
*

Menyusuri stand street food seperti ini sepertinya membuat suasana hati Rini benar-benar membaik. Ia bahkan ingin mencicipi semua makanan yang ada di sana. Tapi lagi-lagi, ia memikirkan soal uang. Ia tak mungkin menghabiskan uangnya hanya untuk street food. Apalagi ia belum tahu kapan ia akan mendapat gajinya.

"Pesen aja, aku yang bayarin," ujar Aksa saat ia melihat Rini terus memperhatikan satu makanan.

"Beneran nih?"

"Beneran. Tapi jangan banyak-banyak, kan mau makan ayam," ujar Aksa yang membuat Rini dengan segera mengangguk.

Tteobboki. Makanan khas Korea Selatan yang belum sempat Rini cicipi selama ia berada di negeri gingseng tersebut. Ia terlalu sibuk dan ia baru mencicipi mandu, ramyeon, dan japcae buatan Aksa.

Aksa dan Rini menembus kerumunan itu setelah Rini berhasil mendapat satu porsi tteobboki yang ia inginkan. Dengan cepat Aksa mengangkat tangannya saat pembawa acara akan menutup pendaftaran.

"Mau ikut gak?" tanya Aksa, membuat Rini menggeleng. Ia ragu untuk ikut sebab ia yakin jika ia tak akan bisa memenangkannya. "Yaudah aku aja yang ikut. Kamu tunggu di sini."

Meski senja sudah hampir berpamitan, acara tersebut tetap saja meriah. Dengan diikuti beberapa orang, tentu saja membuat beberapa orang yang menonton sangat heboh.

Rini berdiri paling depan, menonton bagaimana Aksa akan mengikuti lomba itu demi 15.000 Won. Konyol memang. Tapi Rini berharap jika Aksa bisa memenangkannya.

Rini dengan segera meraih ponselnya yang bergetar. Ia kemudian menggeser ikon berwarna hijau dan meletakannya di telinga.

"Dengan siapa?"

"Apa ini nomor Rin?" Karena suara gaduh di sana, Rini benar-benar tak mendengar apa yang dikatakan lawan bicaranya.

"Aku tidak bisa mendengarmu. Aku akan menghubungimu lagi nanti."

Rini kembali meletakan ponselnya setelah memutus sambungan teleponnya. Ia sebenarnya bingung dengan nomor telepon Korea yang menghubunginya. Padahal seingatnya, hanya Sol-Ah, Wooseok, dan Aksa saja yang tahu nomor ponselnya.












"Ah yaampun, kenapa aku malah menghubunginya?" Nada penyesalan terdengar jelas dari pria bermarga Lee itu. Padahal ia hanya berniat menyimpan nomor Rini di ponselnya. Tapi entah kenapa ibu jarinya justru menekan tombol telepon.

"Hyung, kenapa kau panik?" Jungwoo nampaknya cukup heran pada Taeyong. Ia yang kini sedang menyeka keringat di lehernya, duduk di samping Taeyong. "Kau menerima telepon sasaeng?"

"Aniyo, aku hanya salah tekan tadi. Tapi tidak apa-apa."

"Kau pasti melihat sesuatu yang aneh, ya?"

Taeyong yang tahu arah pertanyaan Johnny langsung melempar handuk kecil miliknya. "Sembarangan sekali."

"Lagipula wajahmu sudah menjelaskan jika kau melihat hal aneh."

"Berhenti mengganggu Hyung," ujar Haechan yang kemudian duduk di dekat Johnny. "Hyung pasti punya pacar, ya?"

Johnny memutar jengah kedua bola matanya. "Itu sama saja. Mau ku pukul?"

"Aku bertanya, bukan mengganggu."

"Ah iya, soal Doy--"

"Jangan membicarakanku. Lagipula itu hanya duet. Kenapa terus saja diungkit?" kesal Doyoung, membuat Yuta menaikan kedua bahunya.

"Tapi itu masih belum basi untuk dibahas," timpal Mark.

"Berhenti menggodaku atau ku sumpal mulutmu dengan handuk."

"Sudahlah jangan bertengkar," ujar Taeyong yang sepertinya sedang malas melihat pertengkaran member di depan matanya. Ia sudah terlalu lelah untuk mendamaikan member nantinya.

"Dengarkan Hyung," ujar Haechan yang membuat Johnny memukul pelan dahinya.

"Kau juga harusnya diam."

Mendamaikan member bukanlah perkara yang sulit memang. Tapi jika sedang seperti ini, Taeyong sungguh tak bisa jika seandainya ia harus mendamaikan member daripada tidur lebih awal.

Ah iya sungguh butuh istirahat panjang dari rutinitasnya sebagai seorang idol. Bahkan ia bukan hanya berada dalam satu grup saja yang memaksa ia harus memastikan jika ia tak akan kelelahan.

TBC🖤

17 Oct 2020

Best partTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang