[TAMAT]
"Kita memang bangsawan miskin yang hampir hancur. Tapi jangan membuat harga diri kita terinjak dengan menjodohkanku dengan keluarga mereka, Ibu."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Aku tak tahu kalau kucing liar sepertimu bisa tersesat di labirin taman."
Yoongi mengernyit tajam, tak senang dengan kalimat sarkas Namjoon barusan. "Memangnya aku kucing?" tanyanya dengan mata yang kian menyipit—tak sadar itu malah membuatnya semakin mirip seperti kucing galak berbulu putih di rumah salah satu bangsawan yang pernah Namjoon kunjungi dulu.
Namjoon mengangkat bahu tak peduli, lebih memilih mengangkat gagang cangkir kopi yang baru saja diantarkan oleh Banryu. Kedua kakinya menyilang, sebelah tangan ia rentangkan di sandaran sofa, lalu memejamkan mata dan menghirup aroma kopi kesukaannya sebelum kemudian menyeruput dalam diam.
Seokjin.
Bahkan saat ini pun, hanya nama itu yang terngiang-ngiang di kepalanya. Seokjin yang kecewa. Seokjin yang marah. Seokjin yang menangis. Seokjin yang sedih. Seokjin yang mengurung diri. Seokjin tak menelan makanan. Seokjin yang...
Namjoon membuka kelopak matanya, untuk sesaat termenung kemudian menghela napas pendek. Kalau Yoongi sudah pulang nanti, Namjoon akan pikirkan seribu satu cara untuk bisa menarik kembali Seokjin dalam pelukannya. Demi tuhan, ia amat sangat merindukan Seokjin. Mengetahui laki-laki itu bahkan menolak untuk menatapnya tentu saja membuat hati Namjoon pedih tak terkira.
"Jadi, informasi apa yang ingin kau sampaikan hingga datang tanpa diundang?"
Yoongi tersenyum tipis. Manik matanya sedari tadi mengitari sudut ruang tunggu—yang bisa menyaingi kamar penginapan paling mahal di alun-alun kota—kini berhenti di kaca lemari di belakang punggung Namjoon, lalu membuang muka.
"Tadi malam Marquess Min berlutut di kakiku."
Namjoon menyeringai di balik cangkir, menunggu kelanjutan kalimat Yoongi yang tertahan geraman di antara gerahamnya. Laki-laki itu sudah pasti menunggu saat-saat ini, di mana orang yang menelantarkan dirinya berlutut untuk minta diselamatkan. Yoongi satu-satunya orang yang bisa, darah daging Marquess Min yang sejak lama tak ia akui.
"Dia bilang, aku harus menggantikannya untuk meneruskan gelar Marquess, atau keluarganya akan mati kelaparan di pinggir kota."
Wajah Yoongi mengeras, dan Namjoon bisa melihat laki-laki itu mengepalkan tangannya terlalu kuat saat menunduk menatap ujung sepatu yang ia kenakan. "Keluarganya, ia bilang. Bahkan dalam posisi berlutut seperti itu, yang ada di dalam kepalanya hanyalah istri dan anak sahnya. Dia," Yoongi lagi-lagi menahan napas, "Sama sekali tidak peduli tentang aku dan ibuku."
Detik-detik yang menegangkan itu berlalu. Namjoon membiarkan Yoongi tenggelam dalam kemarahan yang berkobar di dalam dada. Namjoon tahu, kebencian dan kemurkaan Yoongi akan berguna untuknya, maka ia membiarkan. Setelah yakin laki-laki itu sudah sedikit menurunkan aura kebenciannya, Namjoon bertanya pelan, "Dan apa keputusanmu?"
Yoongi mengangkat kepalanya. Saat mereka bertatapan itulah Namjoon menangkap sudut mata Yoongi berkaca-kaca—campuran antara marah dan frustrasi, mimik paling kuat yang pernah Namjoon lihat dari Yoongi yang selalu terlihat tanpa ekspresi.