Spesial untuk yang ulang tahun!
Pendek nihh, jangan berharap banyak :)
___
Senyum Jimin terkembang kala matanya menangkap sebuah rumah sederhana yang dikelilingi tanaman bunga—hasil pekerjaan tangan ibu dan adik-adik perempuannya. Ternyata bunga-bunga itu bertambah banyak saat Jimin bekerja di luar kota—Jimin tebak, adik perempuannya yang paling tua-lah yang merawat tanaman itu dengan perasaan bahagia, karena itu tanaman-tanaman ini tumbuh dengan sangat baik.
Senyum Jimin tak luntur walau kakinya sakit berjalan jauh, walau punggungnya sakit mengangkut barang dan perutnya pedih menahan lapar. Kerinduan memupuk begitu tebal, membayangkan ia akan segera bertemu dengan ibu dan adik-adiknya membuat rasa sakit tadi perlahan memudar. Ia angkat kantung kain yang ia bawa, menyampirkannya di bahu seraya bergegas melangkahkan kaki.
Ia semakin dekat, dan dapat dilihatnya pintu rumah perlahan terbuka. Adik perempuannya yang pertama muncul dari ambang pintu, membawa baki kain cucian di tangan. Saat ia mendongak dan bertatapan dengan Jimin, kedua matanya melebar—ada beberapa detik keheningan, mungkin ia berusaha meyakinkan diri bahwa yang berdiri di depan sana adalah kakak laki-laki yang ia tunggu kepulangannya. Baki tadi jatuh menghantam tanah, pun kakinya yang langsung berlarian ke arah Jimin dan berteriak kencang, "Kakak!"
Jimin merentangkan tangan, menyambut pelukan sang adik. Saat lehernya dipeluk erat, Jimin meraih pinggang sang adik, membawanya pada satu putaran rindu yang menyusup di dalam dada.
Setelah kedua kaki adiknya menapak di tanah, barulah dua orang adik perempuannya yang lain muncul, berteriak nyaring dan langsung menubruk pinggang Jimin, memeluk sang kakak kuat. Jimin tersenyum sedih saat menyadari pakaian adiknya terlihat sangat lusuh, dan sudah memendek yang artinya mereka butuh pakaian baru yang lebih layak.
Tak mau kalah, dua adik kembar yang masih berusia tujuh tahun itu merengek minta digendong, dan tertawa riang saat Jimin akhirnya mengangkat keduanya di gendongan tangan kanan dan kiri.
"Kak Cimiii, aku rindu kakak!"
"Aku juga, aku juga!"
"Aku membuat boneka lucu untuk kakak, mau lihat?"
"Aku juga menggambar wajah kakak, mau lihat?"
Jimin tertawa, begitu juga dengan ketiga adik perempuannya yang sahut-sahutan tak mau kalah—beradu siapa yang paling merindukan sang kakak.
Puas menciumi pipi Jimin, dua bocah kembar yang tak pernah gagal membuat Jimin tersenyum itu turun dari gendongan, membawa kantung kain yang Jimin bawa masing-masing di ujung dan berjalan riang menuju pintu rumah.
Di ambang pintu yang terbuka lebar, sang ibu tersenyum, menanti langkah demi langkah Jimin menghampirinya. Dalam tatapan yang lembut dan hangat, Jimin berujar, "Ibu, aku pulang."
Ia rengkuh sang ibu dalam dakapan lama, berbisik berkali-kali tentang betapa ia merindukan keluarga kecil yang lama ia tinggalkan demi mencari keberuntungan. Tentang betapa sering mereka menyusup masuk ke dalam mimpi di setiap malam. Tentang bagaimana ingatan wajah mereka adalah penyemangat yang tak terbayar.
Saat pelukan itu akhirnya terlepas, sang ibu mengusap pipi Jimin, tersenyum begitu lebar.
"Syukurlah, ibu baru saja selesai masak. Ayo kita makan dulu."
Adik-adik perempuannya berteriak senang—si kembar melempar kantung kain tadi ke sembarang arah dan berlomba lari siapa yang lebih dulu sampai ke meja makan. Adik perempuan pertamanya menggeleng-gelengkan kepala, meraih tangan Jimin dan menggandengnya ke ruang makan mereka yang sederhana.
"Kakak, lama tak berjumpa, kakak terlihat semakin tampan."
Jimin tertawa malu. Adiknya kembali melanjutkan, "Kalau teman-temanku lihat, mereka pasti menyesal dulu pernah mengejekmu jelek dan gendut. Lihat saja nanti, akan kupamerkan kakakku ke seluruh desa."
Lagi, Jimin tergelak. Tangannya terangkat, mengelus puncak kepala sang adik gemas. "Terima kasih. Kau juga semakin cantik. Dan tidak ada laki-laki yang boleh mendekatimu kalau belum berhadapan denganku, mengerti?"
Sang adik tertawa, "Tentu saja, aku tidak akan memacari laki-laki yang kalah tampan dari kakak."
"Aku juga!"
"Aku juga!"
Dua adik kembarnya yang menyimak pembicaraan sedari tadi mengangkat tangan dengan wajah yang dibuat-buat serius.
"Hei, memangnya apa yang kalian tahu tentang kehidupan orang dewasa?" ucap adik perempuan yang paling tua, kemudian terkikik geli saat si kembar menggeleng.
Si kembar saling menatap, "Bukankah itu pie apel yang enak?"
"Loh? Bukannya gulali di pasar?"
Sang ibu muncul dari dapur, membawa baki berisi makanan yang menguarkan aroma nikmat. Bahkan walau makanan yang disajikan amat sangat sederhana, hati Jimin menghangat karena ibunya-lah yang memasakkan itu—makanan ternikmat yang tidak akan pernah ada gantinya.
Melihat ketiga adiknya berdebat tidak penting dan ibu yang sedang menata makanan di piring-piring, hati Jimin lagi-lagi menghangat.
___
Setelah memastikan tiga malaikat kecilnya tertidur lelap—dan menghadiahi ciuman di kening, Jimin menutup pintu kamar dengan pelan, nyaris tanpa suara. Setelahnya ia melangkah pelan ke ruang makan, menemukan sang ibu duduk di sana dengan kepala tertunduk.
"Ibu..."
Jimin menyentuh bahu sang ibu, menangkap kedua sudut mata ibunya yang basah. Hatinya seketika ikut bersedih, membayangkan sesulit apa hidup yang mereka jalani tanpa dirinya, tanpa sosok kepala keluarga.
"Tenang, ibu. Aku pasti akan membayar hutang yang laki-laki itu tinggalkan. Ibu tak perlu khawatir."
Jimin menolak menyebut laki-laki itu sebagai ayahnya. Bagi Jimin, seorang pria yang hanya bisa mabuk-mabukan dan berjudi bukanlah kepala keluarga yang sesungguhnya. Seorang laki-laki yang hanya bisa memukul dan meneriaki istri dan anaknya tak pantas disandang dengan sebutan mulia. Kematian laki-laki itu hanya meninggalkan kenangan buruk dan juga hutang yang menggunung.
Itulah kenapa Jimin harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga kecilnya, dan membayar hutang-hutang yang ditinggalkan ayahnya. Ia harus bisa menjadi tulang punggung keluarga—hanya ia satu-satunya yang bisa melindungi senyum indah empat orang malaikat yang ada di dalam rumah sederhana ini.
"Tiga hari lagi, aku akan bekerja di sebuah kapal ikan. Teman-temanku bilang, pemiliknya adalah seorang bangsawan di ibukota dan mereka akan membayar dengan layak dan juga uang lebih saat kerjaku semakin baik. Jadi ibu tidak perlu khawatir. Walau aku akan pulang lebih lama, setidaknya aku akan mengumpulkan banyak uang. Aku akan membayar hutang-hutang, lalu membawa kalian semua ke ibu kota. Kita akan hidup lebih layak di sana. Aku janji."
Jimin memeluk ibunya, mengusap-usap punggung sang ibu yang semakin terisak.
"Maafkan ibu, Jimin. Maafkan ibu."
Jimin menggeleng, "Ibu tidak perlu meminta maaf. Ini bukan salah ibu. Aku yang akan bekerja lebih keras untuk kalian semua."
Namun malang, yang Jimin tidak tahu, pekerjaan yang ia kira akan menjadi penyelemat keluarganya justru hampir membunuhnya, kalau saja ia tidak berani menghampiri seorang laki-laki rupawan yang berhati mulia, Kim Seokjin.
___
A/n:
Agak sedih pas ngetik ini, huhu. Jimin, you deserve better. Misalnya Marquess Min yang baru dilantik, hehe.
Chapter 22 soon ya, SOON.
See you <3
KAMU SEDANG MEMBACA
RED TATTOO | NamJin
Fanfic[TAMAT] "Kita memang bangsawan miskin yang hampir hancur. Tapi jangan membuat harga diri kita terinjak dengan menjodohkanku dengan keluarga mereka, Ibu."