Boyfriend dan boy friend itu bedanya cuma ada pada chemistry-nya.Salah satu hal manusiawi yang sulit diterima oleh Neri adalah terlambat bangun pagi.
Dengan kesal gadis itu melirik HP yang tergeletak di sebelahnya. Kenapa sih benda ini memilih sekarang untuk kehabisan baterai? Di saat dia harus masuk kerja lebih pagi.
“Mama! Kok nggak bangunin Neri sih?” protesnya sambil berjalan dengan mengentak-entakkan kaki. “Telat nih. Neri ada rapat pagi ini di toko, Ma ….”
“Kamu nggak bilang kalau harus berangkat pagi. Mama sih tahunya kamu lagi libur salat. Biasanya juga kamu maunya males-malesan, kan? Mumpung nggak wajib bangun subuh,” kata ibunya.
Tanpa menyimak kata-kata ibunya, Neri masuk dan menutup pintu kamar mandi. Beberapa detik kemudian terdengar heboh suara air. Semua penghuni rumah sudah tidak asing dengan perilaku si sulung itu kalau sedang mandi. Dia bukan tipe yang akan puas hanya dengan shower. Gayung adalah senjata favoritnya, lengkap dengan keriuhan yang ditimbulkan dalam aktivitas guyur-mengguyur badan.
Neri sedang menyisir di depan cermin, ketika HP-nya menjerit-jerit minta perhatian. Di zaman serba Whatsapp dan Line seperti ini, menelepon melalui layanan olah pesan berbasis internet memang merupakan solusi paling praktis dan murah. Tetapi kalau ada pengecualian, yaitu orang yang masih menelepon dengan menggunakan pulsa panggilan dari nomor prabayar yang sudah ketahuan mahalnya itu, Pra -lah orangnya. Prabudi Wibisana, cowok yang tinggal di rumah sebelah.
“Neri, kamu udah berangkat kerja belum sih?” tanya Pra di telepon.
“Ini baru mau berangkat. Kenapa?”
“Bareng sama aku aja ya, Ner. Aku anter deh.”
“Ngapain sih? Aku masuk pagi banget, ada rapat.”
“Iya, ini aku juga udah siap berangkat kok. Aku udah ganteng, sumpah!”
Neri menggeram sebal. “Hedeeh, nggak pake bilang ganteng kenapa sih? Tiba-tiba perut jadi eneg.”
Pra tertawa seketika. “Ayolah, Ner. Tunggu di depan, ya. Aku udah jalan ke garasi nih.”
“Eh, emang ada apaan sih? Males banget aku kalo nebeng kamu. Pulangnya ntar aku kerepotan. Enak bawa motor sendiri aja.”
“Pulangnya aku samperin deh. Ya? Mau, ya? Aku mau ngomong hal penting nih!”
“Iya deh, iya. Aku siap-siap dulu.”
Di jalan depan rumah, Pra sudah menunggu dengan manis di belakang kemudi Pajero Sport hitamnya. Pra jenis laki-laki sabar. Dia bukan orang yang akan ribut pencet-pencet klakson kalau Neri terlambat keluar rumah, tidak pernah mengumpat ketika terjebak kemacetan, dan juga tidak marah kalau kadang-kadang gadis itu kambuh isengnya. Begitulah kalau sudah saling mengenal cukup lama. Bisa hafal kebiasaan masing-masing.
“Mau ngomong apa? Kelihatannya penting banget,” tanya Neri begitu sudah duduk manis di sebelah Pra. Perhatiannya tidak tertuju pada cowok di sebelahnya, karena Neri sibuk mengecek obrolan di HP-nya.
Pra tertawa sambil menjalankan mobil, memaklumi Neri yang masih berkonsentrasi dengan benda di tangannya. Pra sendiri harus berkonsentrasi untuk menembus kemacetan yang menyambut begitu mereka keluar dari gerbang perumahan.
“Aku mau tunangan, Ner,” kata Pra kalem begitu mereka sudah berada di jalur aman.
“Oh, tunangan,” sahut Neri asal, belum fokus sepenuhnya pada perkataan Pra. “Eh, bentar,” katanya sambil mengetik sesuatu. “Eh?” Neri terkejut. Sudah “on” sepenuhnya. Dengan membelalakkan mata dia menoleh pada Pra. “Tunangan? Yang bener?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry Me Marry Me Not
ChickLitPra dan Neri bertetangga sejak kanak-kanak. Hubungan mereka sudah seperti kakak dan adik. Sama-sama sulung, sama-sama yatim, juga sama-sama memiliki ibu yang sulit, membuat mereka dekat karena merasa senasib. Tetapi jangan harap mereka terpikir untu...