HP Neri menyala. Meskipun nomor yang tertera tak bernama, tetapi dia hafal sekali kalau itu adalah Pra. Jadi saat ingat bagaimana tempo hari dia begitu bernafsu untuk menghapus nomor Pra dari daftar kontaknya, sekarang kejadian itu sungguh konyol sekali.
"Ner, kamu pasti belum..."
"Iya," jawab Neri cepat memotong kalimat Pra. "Aku belum tidur. Kamu pasti lihat lampu kamarku dari balkon rumahmu, kan?"
Pra tertawa pelan.
"Ada apa sih, Mas?"
"Biasa. Nggak bisa tidur."
Setelah obrolan terakhirnya bersama Pra di kedai bakso tempo hari, Neri lebih berhati-hati menanggapi tetangganya ini. Lebih serius. Karena ternyata di balik senyum Pra yang terkesan santai dan malas-malasan, dia memendam banyak hal untuk diri sendiri. Termasuk sesuatu yang sama sekali tidak diduganya.
"Masalah apa?" tanya Neri, sambil menyandarkan tubuhnya di kepala tempat tidur.
"Macam-macam sih. Kalau mau bilang masalahnya bersumber pada Mama, rasanya kok tidak adil," Pra tertawa pelan.
"Memangnya Bude Agni kenapa lagi sih, Mas? Kata Mama, Bude beberapa kali ke sini ngobrol-ngobrol sama Mama."
"Oh ya?" Pra tak percaya.
"Biasalah Bu Lita dan Bu Agni ini. Love hate relationship yang nggak putus-putus," Neri tertawa. "Mamamu tuh kalau sama mamaku no problem. Karena mamaku bisa ngemong beliau. Kalau sama aku, baru deh. Tanduknya keluar. Nyembur api lagi."
"Kamu nggak sopan banget ngomongin emaknya sama anaknya."
"Mama kamu juga nggak sopan banget, kalau negur aku lewat mamaku. Ini anaknya siapa yang negur emaknya siapa. Nggak jelas."
Keduanya tertawa bersama-sama.
"Mas, kalau soal Bude, kayaknya kamu udah perlu orang ketiga deh untuk berkomunikasi."
"Orang ketiga? Siapa? Kamu?"
"Sembarangan!" omel Neri. "Mungkin om kamu, Mas. Ini urusan pernikahan kan?"
"Kok kamu tahu?"
"Bude ngomong ke mamaku, khawatir kalau kamu nurut disuruh tinggal di rumah Astrid."
Pra menghela napas panjang. "Masalah ini cukup ruwet emang, Ner."
"Makanya, mending kamu minta tolong sama om kamu. Kan dia adiknya Pakde Gun. Bisa lah dimintai pertimbangan."
"Ya kamu tahu sendiri, aku segan kalau ngerepotin orang. Lagian Om Yanu juga sibuk dengan rencana pencalonan rektor sebentar lagi."
"Kamu ponakannya, Mas. Udah kayak anak sendiri. Kemarin kan waktu kamu lamaran, om kamu juga kan yang mewakili almarhum Pakde Gun?"
"Karena aku udah ngerepotin itu, Ner, aku semakin nggak enak."
Dan semakin merasa nggak enak karena akhirnya memahami ekspektasi Astrid pada hubungannya dengan sang paman. Pantesan, waktu itu orang tua Astrid antusiasnya berlipat-lipat ketika mengetahui bahwa keluarga Pra akan diwakili pamannya itu, Om Yanu, calon kuat orang nomor satu di universitas. Melihat orang tua Astrid yang begitu peduli pada asal-usul serta jabatan seseorang, Pra seperti melihat pantulan sifat ibunya.
"Mas, kalau udah nggak sanggup mengatasi ibu sendiri, jangan sok kuat deh. Ngadepin seorang ibu itu susah lho. Kalau salah, hukumnya dosa. Kalau melawan, jatuhnya ntar durhaka. Dan anak durhaka susah bahagia."
"Tapi Ner..."
"Udah, serahin aja semua pada ahlinya. Biar orang tua-tua aja yang bicara. Sayang lho kalau usaha kamu untuk berbakti selama ini terbuang percuma hanya gara-gara urusan di mana kalian tinggal setelah menikah nanti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry Me Marry Me Not
ChickLitPra dan Neri bertetangga sejak kanak-kanak. Hubungan mereka sudah seperti kakak dan adik. Sama-sama sulung, sama-sama yatim, juga sama-sama memiliki ibu yang sulit, membuat mereka dekat karena merasa senasib. Tetapi jangan harap mereka terpikir untu...