Hiruk pikuk menjelang persemian memaksa Neri harus kalang kabut menyiapkan segalanya. Apalagi di antara dirinya dan Steven terjadi perbedaan pendapat tentang apa yang harus diprioritaskan. Steven begitu fokus pada acara seremonial sehingga mengabaikan detail lain yang menurut Neri lebih penting. Dan meminta Neri ikut fokus untuk acara peresmian.
"Kalau Jumat malam peresmiannya, artinya per hari Senin minggu depannya kita sudah harus siap berproduksi, Steve. Argo udah jalan. Biarlah yang ngurusin acara Jumat itu event organizer yang udah ditunjuk sama kantor pusat. Kita siapin yang di sini aja, di kantor. Jadi hari Senin semua sudah full beroperasi," Neri berusaha memberi pengertian pada pria itu.
"Nggak bisa gitu juga, Ner. Besok yang datang selain petinggi perusahaan, para kepala cabang di seluruh Jawa Timur, juga para rekanan. Mereka yang bakal jadi klien kita. Jadi harus disiapkan bener-bener. Nggak bisa dong diserahin ke orang pusat begitu saja, karena mereka nggak kenal medan," kata Steven memberi alasan.
Neri berpikir sejenak. "Ya udah, kalau begitu, kita bagi tugas aja. Jangan semua difokuskan di satu tempat. Aku yang urus di kantor, urusan luar, kamu yang hendel. Gimana?" tanya Neri.
Steven tertawa lebar. "Siap, Ner! Seneng banget punya partner yang bisa diandalkan."
Neri cemberut. "Steve, please deh. Aku lagi nggak butuh pujian," komentar gadis itu sambil melangkah meninggalkan ruangan Steven.
Dia sudah berada pada tahap eneg dengan semua sikap manis Steve. Neri sering bertanya-tanya sendiri, apakah Steven memang memiliki karakter dasar seperti itu? Kalau Neri pasti capek terus-terusan memuji, mendukung, meminta maaf pada setiap perbedaan pendapat, seolah dia tidak punya emosi lain. Pikirannya berteriak-teriak mengkritisi sikap Steven yang membuatnya risih dan tidak bebas untuk menjadi dirinya sendiri. Karena dengan Steven yang begitu secara tidak langsung Neri jadi bereaksi dengan rasa sungkan untuk menolak setiap permintaannya.
Itulah yang dikeluhkan Neri ketika menelepon Yuke pada jam istirahat siang. "Memang kesannya aku kayak nggak bersyukur gitu karena merindukan masa jomloku yang tenang beberapa waktu lalu, Ke. Tapi itu yang kurasakan. Aku nggak bisa munafik kan?"
"Anggap saja kamu sedang masa penyesuaian, Ner," sahut Yuke santai. Hubungannya dengan sang calon suami berjalan lancar membuat mood sahabat Neri ini membaik.
"Sampai kapan?" tanya Neri hampir frustrasi.
"Neri, jalannya jodoh itu nggak bisa diukur dengan standar normal. Percaya deh, kalau dia bukan jodohmu, pasti ada jalan keluar yang membuat kalian pisah. Tapi kalau dia jodohmu, pelan-pelan kamu akan dapat menerima dia dengan segala kekurangan dan kelebihannya," kata Yuke.
"Ciyee... yang udah mau nikah!" goda Neri.
"Serius, Ner. Aku bisa ngomong begini karena aku mengalami sendiri. Semua lancar dan mudah. Semoga aja nggak ada halangan sampai hari H nanti," kata Yuke.
Neri membayangkan sahabatnya sedang nyengir lebar, bahagia dengan semena-mena. Dan dia tertawa karenanya. Yuke sudah hampir memasuki tahap penting hidupnya. Sementara dia belum. Yah, nggak apa-apa juga sih. Kalau belum waktunya bagaimana lagi?
"Oh ya, Ner, Pra gimana? Lancar? Aku baru sadar kalau kamu nggak pernah cerita tentang dia lagi," kata Yuke mengingatkan.
"Dia lebih kacau. Putus sama Astrid, sekarang dia keluar dari rumah setelah beda pendapat dengan mamanya."
"Ha?"
"Begitulah, Ke. Tragis, ya?" tanya Neri sambil membuat satu rencana kapan waktu yang tepat untuk menghubungi Pra dan berbicara dengan pria itu. Nggak mungkin Neri membiarkan Pra begitu saja tanpa dukungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry Me Marry Me Not
ChickLitPra dan Neri bertetangga sejak kanak-kanak. Hubungan mereka sudah seperti kakak dan adik. Sama-sama sulung, sama-sama yatim, juga sama-sama memiliki ibu yang sulit, membuat mereka dekat karena merasa senasib. Tetapi jangan harap mereka terpikir untu...