Di luar dugaan, Pak Steven memutuskan untuk tiba di Malang lebih cepat dari jadwal semula. Kepada Neri, pria itu mengatakan kalau hand over tanggung jawabnya sebagai regional manager bisa dilakukan secara remote.
"Kamu tahu, Ner, bahwa inti dari bisnis itu adalah kemampuan melihat peluang yang ada di depan mata? Seperti direct selling, ketika kita berhadapan dengan pembeli yang passion-nya sedang tertuju pada produk kita, itu adalah saat paling tepat untuk push calon pembeli. Jangan sampai lepas. Kita harus memanfaatkan moment tersebut untuk memasukkan ide bahwa barang kita penting dan harus dibeli saat itu juga. Jangan sampai ditunda lagi. Karena kita tidak tahu satu menit atau lima menit berikutnya, dia masih akan tertarik apa tidak. Understand?"
Neri mengangguk dengan ragu. Belum menemukan korelasinya dengan percepatan yang dilakukan pria itu.
"Nah, kondisinya sama seperti sekarang. Yang merupakan waktu paling tepat untuk memulai pekerjaan besar ini. Dengan warehouse yang segera dibangun, dan memanfaatkan bisnis kuliner yang sedang tumbuh pesat, yang salah satunya didorong oleh keberadaan food enthusiast yang lagi marak-maraknya, maka kita harus bergerak cepat. Karena kita juga harus mempertimbangkan para kompetitor yang mungkin sekarang sedang membidik lokasi yang sama dengan kita. Memiliki program kerja yang mungkin lebih bagus dari kita. Dan ribuan kemungkinan yang lain. Tidak ada alasan untuk menunda. It's all about timing, Neri."
Melihat Neri yang memandang atasan barunya dengan wajah tanpa ekspresi, pria tersebut tersenyum ramah penuh semangat. "Semangat, ya!"
Ketika pria itu berhasil membuat Bu Grace menyetujui satu ruangan untuk mereka gunakan sebagai kantor sementara, sebelum kantor baru mereka resmi pindah awal bulan depan, lengan Neri sampai biru dicubitin Yuke.
"Dia sedang deketin kamu, Ner. Percaya deh," Yuke sampai mengekor ke meja Neri dan menyampaikan pendapatnya dengan berbisik. "Dan kamu harus siap-siap dimusuhin."
"Apaan sih kamu, Ke?" Neri bersungut-sungut.
"Tuh, lihat!" dengan ujung jarinya, Yuke menunjuk ke ujung ruangan yang lain.
"Emang kenapa? Itu Bu Grace masih ngobrol sama Pak Steven." Neri menanggapi dengan tenang.
"Bukan itu, dodol! Lihat deh si Virly, mondar-mandir keganjenan. Yang dideketin siapa, yang ge-er siapa," omel Yuke.
"Emang siapa yang dideketin Pak Seteven sih, Ke?" goda Neri.
Yuke membelalak sebal dan meninggalkan Neri dengan kesal. Sebelum gadis itu sadar pada apa yang terjadi, terdengar namanya dipanggil. Ternyata Pak Steven sudah datang mendekatinya,
"Yuk! Ruangan udah siap," ajak pria itu.
Neri mengangguk lemah. Merasakan beberapa mata menatapnya dengan tajam. Salah satunya –sudah pasti—adalah Virly. Yaelah kalian, kita mau kerja, bukan mau yang lain. Itu Pak Steven masih open buat kalian rebutin! Cibirnya dalam hati sambil memusatkan konsentrasi untuk pekerjaan yang sudah menantinya.
Untuk hari pertama ini, karena pria itu masih harus bolak-balik Malang – Surabaya, beliau memutuskan mereka berdua pulang tepat waktu, pukul lima sore. Ketika Neri menawarkan diri untuk menyelesaikan sisanya, pria itu menolak.
"Nggak usah, Ner. Ini kerja tim. Mending tunggu besok, sambil kita pikir lagi langkah paling efisien untuk bisa kerja sama gimana. Oke?"
Neri mengangguk. Membalas senyum pria itu dengan senyum yang sama ramahnya. Bersama mereka keluar dari ruangan. Pak Steven menyampaikan salam perpisahannya dengan suara tawa yang menyenangkan.
Lalu Neri melihat Yuke yang datang menghampirinya. "Gimana kesan pertama bekerja dengan bujangan tampan itu? Gugup nggak? Pak Steven sepik-sepiknya gimana? Kalian hanya berdua lho, di ruangan tertutup."
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry Me Marry Me Not
ChickLitPra dan Neri bertetangga sejak kanak-kanak. Hubungan mereka sudah seperti kakak dan adik. Sama-sama sulung, sama-sama yatim, juga sama-sama memiliki ibu yang sulit, membuat mereka dekat karena merasa senasib. Tetapi jangan harap mereka terpikir untu...