09-I Shouldn't be Jealous, You Aren't Even Mine

9.5K 2.1K 148
                                    

Neri tak peduli meskipun ibunya masih mendiamkannya gara-gara ucapannya yang kasar tentang tetangga sebelah tempo hari. Meskipun merasa tidak nyaman karena hubungannya dengan sang ibu terganggu, Neri pura-pura tidak terjadi apa pun.

Seperti petang itu. Neri berusaha menghindari ibunya dengan memilih mengobrol bersama Rudy si nomor dua, tentang perbaikan beberapa bagian rumah. Tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah, membuat mereka secara alami terdidik untuk saling berbagi peran sesuai kapasitas masing-masing.

"Mbak, untuk biaya perbaikan rumah kali ini, aku aja ya yang bayar," kata Rudy tiba-tiba.

"Eh?" Neri terkejut. "Serius?"

Rudy tersenyum. "Aku udah mulai magang, Mbak. Skripsiku udah selesai kok. Tinggal nunggu giliran ujian. Kemarin aku bayar ujian juga bisa pakai honorku."

Lagi-lagi Neri terkejut. Baru ingat kalau adiknya ini sudah agak lama tidak minta uang kepadanya.

"Dan mulai bulan ini aku ambil alih tanggung jawab belanja logistik ya, Mbak. Nggak banyak, tetapi mudah-mudahan bisa mengurangi beban Mbak Neri. Dan mudah-mudahan setelah ini dapat kerjaan yang lebih baik. Biar bisa bantu di rumah."

Neri memandang wajah adiknya, yang semakin lama semakin mirip dengan ayahnya. Perasaan hangat merambati hatinya. Adikku sudah dewasa, pikirnya sambil berusaha menahan rasa haru yang tiba-tiba memenuhi dada.

"Ner," tahu-tahu ibunya muncul, membuat kedua kakak beradik itu menoleh serentak.

"Ya, Ma?" tanya Neri berusaha menutupi keheranannya karena ibunya tidak lagi masam kepadanya.

Jadi aku udah dimaafin nih? Heran, yang salah siapa yang didiemin siapa. Yang ngerecokin siapa, yang belain siapa, yang dimusuhin siapa. Nggak jelas banget!

"Tadi Bude ke sini."

"Eh?" Ini baru kejutan.

"Lewat depan. Seperti tamu. Karena kamu nggak mau buka pintu samping."

"Bagus lah, Ma," sahut Neri cuek. "Lebih beradab itu. Emang kucing, mau lompat pagar? Kalau bertamu ya lewat depan, nunggu dipersilakan."

"Kamu jangan sekeras itu sama Bude. Gimana-gimana dulu Pakde Gun berjasa banget membantu ayahmu sampai bisa beli rumah ini."

Diulang lagi, tolong! "Iya sih, Ma. Tapi kita nggak ada utang duit kan, ke mereka?"

"Ya nggak lah. Dulu ayahmu beli rumah dicicil dengan potong gaji. Pakde membantu proses di kantornya sebagai penjamin."

"Ya berarti nggak ada utang-piutang lagi dong. Pakde udah meninggal. Papa juga. Masa iya kita bayar utang terus ke tetangga sebelah?"

"Neri, itu namanya utang jasa. Nggak ada batasnya."

"Ada. Cukup sampai Mama dan Bude aja. Nggak ada kewajiban kita bayar utang sama keturunannya juga. Apalagi sama Rina dan Yuli. Neri tahu kok, mereka udah anggep kita kayak suruhan mereka aja. Najis banget! Awas saja kalau mereka mau memperlakukan kita semena-mena!"

Bu Lita menghela napas panjang. "Neri, bisa nggak kamu itu berkurang dikit aja keras kepalanya? Dilembutkan hatinya pada orang lain. Nggak enak, Ner, punya musuh."

Neri diam. Lalu membalas ucapan ibunya. "Setelannya udah gini, Ma. Keras. Mau berubah juga susah. Butuh waktu dan usaha. Kan nggak bisa langsung jadi sabar kayak Mama."

Merasa tidak mungkin lagi adu mulut dengan si sulung yang keras hati itu, ibunya memilih mengalah. "Yang penting kamu sudah usaha. Jangan berhenti, ya. Jadi perempuan harus sabar dan lembut."

Begitu ibunya pergi, Rudy mengerling geli. "Tuh, Mbak. Jadi perempuan harus sabar dan lembut, kata Mama."

Neri menjitak sayang kepala adiknya. "Biar Mama aja yang lembut sama Bude. Aku ogah."

Marry Me Marry Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang