Seperti biasa, Pra menunggu Neri sambil duduk di teras rumah induk semangnya.
"Itu tempat Mas Pra, Bude," kata Neri, menunjuk pada rumah berpagar hitam tempat Pra tinggal saat ini.
Bu Agni mengangguk setuju dengan pilihan Pra, menyebutnya cukup bagus dan layak, serta tidak memalukan.
Begitu taksi berhenti di depan pagar, Pra bangkit dari tempat duduknya. Senyum terkembang lebar di bibirnya melihat Neri keluar dari pintu belakang. Tetapi segera memudar melihat siapa yang datang bersamanya.
"Mas Pra, ajak Bude ke kamarmu," katanya setelah mengucapkan terima kasih kepada si pengemudi taksi.
Neri yang menahan senyum geli, Pra yang cemberut, dan Bu Agni yang mengamati sekeliling dengan penuh penasaran, adalah kombinasi yang lucu saat itu. Tanpa bicara mereka beriringan menuju lantai dua. Neri berusaha mengabaikan kakunya suasana pertemuan antara ibu dan anak itu. Dia hanya menjalankan tugasnya, mengantar Bude sampai memasuki kamar Pra. Pandangan sekilas pada ruangan itu membuat Neri lega. Entah kenapa, dia tidak ingin membuat Pra terlihat menyedihkan di mata ibunya.
Setelah yakin semua beres, Neri keluar dan menutup pintu. Sudah waktunya ibu dan anak itu menyelesaikan apa yang harus diselesaikan. Dan tentunya Neri tidak akan mau terlibat dalam percakapan mereka. Cari penyakit!
***
"Bagaimana bisa Mama meminta Neri antar ke sini?" tanya Pra setelah ibunya duduk di kursi yang ada di ruangan ini.
"Sebab Mama ingin mencarimu. Mama nggak bisa tinggal diam kalau kamu ngilang."
"Aku cuma pindah tempat tinggal, Ma. Nggak ngilang. Lagian Mama selalu bisa menghubungi aku lewat Mbak Kus atau Pak Rustam, tanpa harus ngerepotin Neri."
Bu Agni memalingkan wajah. Mengedarkan pandangan mengamati suasana kamar ini. "Halah ngerepotin apanya. Dia juga sudah nganggur. Kamu pasti tahu itu."
"Neri nggak nganggur, Ma. Dia hanya pindah kerja."
Mereka terdiam untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya sang mama mulai menceritakan beberapa hal tentang adik-adik Pra dan situasi di rumah. Hal-hal yang biasa mereka obrolkan. Tetapi seperti biasa Pra lebih banyak diam dan tidak terang-terangan memberikan pendapatnya. Ibunya hanya butuh didengarkan saja memang.
Lalu Bu Agni menghela napas panjang. "Kamu benar-benar sudah nggak bisa lagi dilarang ya, Pra? Kamu benar-benar sudah nggak mungkin lagi balik sama Astrid?"
Pra menggeleng.
"Dan kamu benar-benar menyukai Neri?"
Pra diam sambil menimbang-nimbang dalam hati arah pembicaraan ini. "Sejak dulu kan, Ma? Mama tahu itu," kata Pra. "Aku bukannya nggak mencoba untuk mencari perempuan lain, Ma. Tapi ternyata nggak cocok."
"Benar-benar tidak ada niat mencari perempuan lain lagi sekarang?" Bu Agni mencoba lagi.
"Cukup deh, Ma. Hasilnya sama saja."
Bu Agni memandang putranya dengan tajam.
"Pra, tahukah kamu kalau restu ibu sangat penting dalam urusan pernikahan bagi anak laki-laki? Dan sampai saat ini Mama belum berubah pikiran. Belum bisa menerima Neri andai dia menjadi menantu Mama. Jadi, apa kamu yakin Neri akan mau menerima kamu kalau tanpa restu Mama? Ingat, kalian akan sulit bahagia tanpa restu mama."
Pra tahu, ibunya jenis orang yang suka mencari gara-gara dengan cara provokasi. Jadi dia berusaha agar tidak terpancing serta berusaha menanggapinya dengan setenang mungkin. "Apa sih yang Mama harapkan dari penderitaan kami? Apakah dengan melihat kami nggak bahagia akan membuat Mama senang dan puas?" tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry Me Marry Me Not
ChickLitPra dan Neri bertetangga sejak kanak-kanak. Hubungan mereka sudah seperti kakak dan adik. Sama-sama sulung, sama-sama yatim, juga sama-sama memiliki ibu yang sulit, membuat mereka dekat karena merasa senasib. Tetapi jangan harap mereka terpikir untu...