Setelah melewati pagi yang aneh di rumahnya sendiri, karena mendadak baik Mama maupun Sandra menjadi sangat pendiam, Neri tak sabar mengungkapkan kekesalannya pada Yuke di tempat kerja.
"Aku merasa dimusuhi Mama dan adikku deh," kata Neri. Lalu melanjutkannya dengan menceritakan peristiwa semalam.
Membuat Yuke tertawa terbahak-bahak. "Kamu emang cari perkara."
"Tapi aku nggak salah dong! Enak aja mereka suruh-suruh Mama. Kurang ajar nggak tuh? Padahal cuma acara tunangan, tapi hebohnya udah kayak mau kawinan beneran," gerutu Neri. "Kalau tahu bakal kayak gini, ngapain juga kemarin aku mati-matian bantuin?"
Keduanya berada di kantor Neri. Hari ini kesibukan di backoffice belum terlalu padat. Tapi satu jam lagi mereka akan rapat dengan manajer regional. Jadi Neri memanfaatkan waktu yang sempit itu untuk menumpahkan segala uneg-uneg di kepalanya.
"Dari awal juga sudah kubilang, tolak aja, Neri. Biar gimana juga, nggak pantes kamu ngurusin acara tunangan seorang cowok dengan cewek lain."
"Tapi teorimu itu nggak masuk akal, Yuke. Banyak kok perempuan lain melakukannya. Soalnya kalau dianggap nggak pantes, nggak bakal ada perempuan muda yang mau kerja jadi wedding organizer," bantah Neri.
"Wedding organizer mah lain perkara. Mereka memang professional dengan tujuan bisnis. Kamu? Dibayar nggak? Nggak, kan? Beneran deh, kalau udah urusan Pra, bego kamu otentik banget!"
"Ini kan konsep awalnya atas nama kekeluargaan. Masa sama tetangga sendiri minta bayaran? Lagian kan aku doang yang terlibat bantu-bantu. Mama aja udah aku cut keterlibatannya."
"Nggak ada yang namanya kekeluargaan dalam urusan ginian. Karena kamu dan tetanggamu itu nggak ada hubungan darah. Kamu lajang, usia menikah, tetanggamu juga. Makanya sangat nggak pantas kalau kamu ngurusin acara tunangannya. Kamu sudah terlalu jauh masuk ke hal sensitif. Sampai milih pakaian dalam buat calon pengantin perempuan segala, itu sih sudah keterlaluan!"
Neri bungkam. Tak tahu harus bilang apa.
"Dan sekarang, dengan adanya keluarga dekatnya, kamu malah dilecehkan. Selain kamu ini terbukti cuma dimanfaatkan, juga membuktikan tindakan heroikmu itu nggak perlu dan nggak penting."
"Iya sih. Sebel banget aku sama kelakuan adik-adik Pra ini. Sumpah! Rasanya pengen getokin kepala mereka satu per satu!"
"Kamu sakit hati ya, Ner?" tanya Yuke berhati-hati. "Ini bukan sebel biasa kan?"
Neri mengangguk. "Iya. Rasanya sakit hati banget aku," kata Neri dengan merana.
Yuke memandang sahabatnya dengan sedih. Berani bertaruh Neri akan menyembunyikan kegalauan hatinya ini dari keluarga dekatnya. Terutama ibunya. Dari semua orang yang mengenal Neri, mungkin hanya Yuke yang tidak bisa dibohongi oleh gaya santai nan ceria ala Neri. Karena hanya di depan Yuke, gadis ini berani mengungkapkan semua yang dirasakannya.
"Emang kapan acaranya?"
Neri menyebut satu tanggal di hari Minggu.
"Wah, bentar lagi."
Neri mengangguk. "Aku ini bingung ntar bagaimana harus bersikap. Di satu sisi, aku sudah terlibat sejauh ini. Meskipun aku juga sudah dipecat. Kebayang nggak nanti kalau hari H, betapa nggak enaknya berada di posisiku. Mau nongol ke rumah sebelah, rasanya kayak tamu tak diundang. Mereka kan nggak welcome-welcome banget sama aku? Tapi kalau aku ngilang, ntar dinyinyirin lagi. Dibilang baper lah, patah hati lah. Ngeselin!" keluh Neri.
"Coba bicara sama ibumu."
"Mending Mama nggak usah tahu. Kasihan Mama, sudah tua masa harus mikir hal nggak keruan kayak gini? Menjadi tetangga keluarga Bude Agni selama lebih dari dua puluh tahun harusnya sudah jadi satu beban tersendiri buat Mama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry Me Marry Me Not
ChickLitPra dan Neri bertetangga sejak kanak-kanak. Hubungan mereka sudah seperti kakak dan adik. Sama-sama sulung, sama-sama yatim, juga sama-sama memiliki ibu yang sulit, membuat mereka dekat karena merasa senasib. Tetapi jangan harap mereka terpikir untu...