21 - Family, Where Life Begins and Love Never End

10.3K 2.2K 188
                                    

Pra putus dengan Astrid.

Neri menggigit bibir bawahnya, dengan tak sabar menunggu balasan Steven.

Pra baru putus dengan Astrid, Ner. Dan tempo hari dia...

Steven lama banget sih? Padahal online.

Ner, Pra...

Diam! Neri menghardik isi kepalanya sendiri. Berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran konyol yang terus menyerangnya. Memang kenapa kalau Pra putus dengan Astrid? Ngaruh? Paling juga bentar lagi dia bakal kelabakan cari cewek lain buat dijadiin calon. Dikenalin lagi sama ibunya. Ditolak lagi. Gagal lagi. Begitu terus selama Pra masih waras untuk memenuhi keinginan ibunya yang aneh itu. Tidak akan ada perubahan selama Pra hanya menjadi objek, sedangkan subjeknya tetap Bude Agni!

Dan Neri mengumpat dalam hati karena untuk pertama kali hatinya goyah. Ketika setitik harapan muncul di hatinya, cepat-cepat dia empaskan. Ingat Ner, konsentrasikan pikiranmu pada Steven. Jangan rusak anak orang dengan harapan palsu! Mengobrol dengan Steven adalah tindakan paling tepat untuk dilakukan. Karena mereka sedang berada pada tahap saling mendekatkan diri dan saling menjajagi.

Steven is typing

Akhirnya. Neri menunggu sampai sebaris kalimat muncul di layar ponselnya.

Hai, Neri. Tumben japri malam-malam.

Pengen cari temen ngobrol.

Beberapa detik kemudian... Steven is calling.

"Hai, Steve! Rame banget sepertinya. Lagi di mana?" tanya Neri. Melirik penanda waktu sudah hampir pukul sepuluh malam dan suara di belakang pria itu terdengar berisik.

"Hangout sebentar sama teman. Lagian mana mungkin, Ner, aku tidur jam segini? Terlalu sore," sahut pria itu.

Steven banget. Gaul. Bujangan seperti dia, jangan harap akan anteng di rumah saja, tidur jam sembilan malam seperti anak sekolahan. Apalagi sekarang dia sudah pindah ke sini. Wajar kalau sudah mulai mencari teman nongkrong bareng. Ini kafe? Kok beresiknya kebangetan ya? Klub malam?

"Ada apa, Ner?" tanya pria itu seolah berteriak mengatasi kebisingan di latar belakang.

Neri yang sebelumnya begitu menggebu-gebu ingin mengobrol bersama Steven, tiba-tiba ragu. Semangatnya menurun drastis. "Aku nggak bisa tidur. Kupikir kita bisa ngobrol gitu. Tetapi kayaknya nggak mungkin ya."

"Ehm..." Steven terdengar ragu. "Maaf ya, aku nggak menduga. Di sini..."

"Berisik. Iya, aku paham kok. Nggak apa-apa, kapan-kapan saja. Aku kontak Yuke saja kayak biasanya."

"Ner..."

"Nggak apa-apa. Beneran. Nikmati waktumu, ya. Maaf sudah mengganggu," kata Neri dan memutus obrolan.

Saatnya dia menerapkan anjurannya pada Pra barusan. Matiin HP dan istirahat. Tutup pikiran sebelum ngelantur tak keruan. Siapa tahu bisa tenang.

***

Bu Agni menghadang putranya ketika pagi itu Pra bersiap berangkat kerja.

"Kamu nggak bisa izin hari ini?" pertanyaan bernada perintah itu disampaikan dengan ekspresi serius tanpa senyum.

"Nggak bisa," jawab Pra sambil memilih salah satu dari koleksi sepatunya yang ada di rak yang terletak di lorong rumah itu.

"Mama undang Astrid ke sini, harusnya kamu ikut menemui."

Pra menghela napas panjang. "Ngapain, Ma?"

"Memastikan. Jangan-jangan masalahnya hanya pada cara penyampaianmu saja yang salah."

Marry Me Marry Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang