"Kamu nggak ge-er, Ner?" goda Pra setelah mereka terdiam beberapa lama.
Neri menggeleng. "Aku udah mati gaya kalau ngadepin kamu, Mas. Mati rasa juga," gadis itu mengaku.
"Kenapa, eh? Udah merasa terlalu tua untuk merasakan jatuh cinta?" goda Pra lagi, lebih menyebalkan.
Neri menggeleng dengan tabah. Bukan sekali dua kali Pra bersikap seperti ini, menguji kesabarannya. "Tahu nggak, di kepalaku tuh sudah bercokol sosok mama kamu yang akan menyemburku dengan lidah apinya. Serem kan?"
"Emang mamaku naga, Ner?" tanya Pra pura-pura kesal.
"Kamu anaknya naga," ejek Neri,
Pra terdiam sambil memandang Neri dengan serius.
"Kapan kejadiannya, Mas?" tanya Neri akhirnya. "Kapan kamu menyadari kalau kamu menyukai aku."
Pria itu menghela napas panjang. "Ingat ketika aku anterin kamu pertama kali masuk SMA? Tahu nggak, lihat kamu pakai seragam putih abu-abu itu aku sudah tertarik sama kamu. Tetapi aku menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan."
Neri terkejut. Lalu tertawa. "Yaelah! Bener-bener cinta monyet!"
"Kamu yang cinta monyet. Waktu itu aku udah kuliah. Dan lagi aktif-aktifnya jadi presiden mahasiswa," Pra tertawa dengan mata melamun. "Sampai ketika aku KKN."
Neri menghitung mundur. "Aku masih SMA tahun kedua."
Pra mengangguk. "Waktu KKN aku menyadari kalau aku kangen banget sama kamu. Nggak sabar ingin segera pulang. Apalagi aku lihat di facebook kamu sering update status bersama seorang cowok teman sekolahmu."
Neri menunduk. Dia ingat peristiwa itu. Kebahagiaan terakhirnya sebagai seorang remaja berusia 16 tahun. Sebelum...
"Waktu aku pulang dan pergi ke rumahmu, ayahmu sedang sakit parah. Setelah itu beliau meninggal. Dan semua tidak sama lagi. Kamu berubah. Aku juga. Kematian ayahmu dan ayahku telah mengubah hidup kita. Selanjutnya kamu tahu sendiri bagaimana ibumu yang menarik diri serta putus asa karena kepergian ayahmu. Dan ibuku yang menjadi pahit dan sulit untuk dihadapi."
Neri mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kegetiran dan kepahitan hidup seperti yang baru saja diungkapkan oleh Pra tiba-tiba terasa kembali.
"Sekarang kita hanya mencoba bertahan hari demi hari, berusaha tetap waras agar bisa menjalani semua ini ya, Ner. Aku juga sudah lama berhenti berharap yang muluk-muluk."
Neri merenung. "Ketika kamu mengatakan bahwa bila pertunanganmu dengan Astrid gagal, mending menikah sama aku, terus terang, hal itu menyakitkan banget buatku, Mas," katanya dengan suara pelan. "Seolah aku cuma pemain cadangan ketika kamu sudah mentok ke mana-mana!"
Pra menghela napas panjang. "Maafin aku ya, Ner. Udah nyakitin kamu. Padahal aku sama sekali nggak bermaksud begitu. "Karena kalau aku menempatkanmu di posisi utama, taruhannya teramat besar. Aku akan menyakiti dua perempuan yang paling berharga dalam hidupku. Kamu dan mamaku. Aku begitu takut membayangkan berada pada posisi yang harus memilih salah satu di antara kalian berdua, dan akan membuat kalian tersakiti."
"Ya ampun, Mas..."
"Kuharap kamu memahami hal ini."
Mereka pulang sambil berbincang ringan tentang segala macam. Rasanya semua menjadi ringan setelah diucapkan. Tidak ada yang berubah meskipun mereka menyadari tentang adanya perasaan dan harapan yang tidak berani diwujudkan. Terbiasa menahan diri demi kepentingan keluarga, membuat keduanya memiliki kesabaran untuk menerima nasib dan berusaha tidak menyesali kondisi ini.
"Kalau Astrid memang jodohmu, perjuangkan ya, Mas," kata Neri. "Setiap oramg punya kekurangan dan kelebihan."
Pra mengangguk. "Aku laki-laki, Ner. Kalau sudah memulai, tidak boleh berhenti di tengah jalan. Harus menuntaskan sampai akhir. Meskipun belum tahu ending-nya nanti kayak apa. Dan soal Steven, kupikir aku tidak perlu khawatir. Kamu bisa jaga diri dengan baik selama ini. Tetapi kalau ada apa-apa, aku nggak keberatan untuk dikabari."
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry Me Marry Me Not
ChickLitPra dan Neri bertetangga sejak kanak-kanak. Hubungan mereka sudah seperti kakak dan adik. Sama-sama sulung, sama-sama yatim, juga sama-sama memiliki ibu yang sulit, membuat mereka dekat karena merasa senasib. Tetapi jangan harap mereka terpikir untu...