24 - A Little Party Never Hurt Anybody

10.5K 2K 194
                                    

Betapa ingin Bu Lita menyampaikan uneg-uneg yang selama ini memenuhi pikirannya. Tetapi melihat kegalauan di wajah tetangganya, wanita itu pun memilih diam. Seperti yang selama ini dia lakukan.

Dengan kesabaran yang semakin menipis, wanita yang lebih muda itu tersenyum. "Kalau Mbakyu uring-uringan terus, lama-lama Mbakyu sendiri yang kecapekan. Mending dipikir pelan-pelan sambil menenangkan diri."

"Bagaimana bisa tenang aku ini?" bantah Bu Agni keras kepala.

"Ya harus bisa, tho. Memangnya Mbakyu mau marah-marah terus? Sampai kapan? Dan marah pada siapa kalau yang jadi sumber kemarahan lagi nggak ada di rumah. Terus mau menyalahkan siapa lagi? Mau nuduh siapa lagi? Nggak ada gunanya, yang ada malah Mbakyu yang semakin capek dan semakin mumet."

"Tapi urusannya dengan keluarga Astrid..."

"Sudahlah, Mbakyu. Jangan dipikir semua saat ini juga. Pelan-pelan saja, sambil mencari solusi. Jangan semuanya diputuskan sendiri. Pra kan masih punya paman, famili dari Mas Gun juga banyak dan mereka nggak akan lepas tangan begitu saja. Sudah ya, Mbakyu menenangkan diri dulu."

Bu Agni menatap tajam pada Bu Lita. Lalu menghela napas panjang. "Oalah, Dik, salahku ini apa?" tanyanya, mengasihani diri.

"Nggak ada yang salah, tapi juga nggak ada yang benar, Mbakyu. Semua ini perlu waktu dan pemikiran yang mendalam. Mbakyu saat ini sedang emosi. Karena Pra itu mengenal Mbakyu dengan baik, maka dia memilih menghindar. Coba Mbakyu jujur pada diri sendiri, andai saat ini Pra ada di rumah, apa Mbakyu nggak tambah kesal setiap melihat dia? Apa nggak tambah geregetan pada anak sendiri?"

"Tapi baru kali ini Pra..."

"Baru kali ini. Baru sekali Pra berbeda pendapat sama Mbakyu. Apa Mbakyu mau mati-matian memusuhi Pra? Mbakyu pilih berpihak pada calon tunangan yang gagal, dari pada berpihak pada anak sendiri yang kepribadiannya sudah Mbakyu kenal?" Bu Lita seperti mendapat angin, melihat wanita yang biasanya dominan itu sekarang tak berdaya.

"Apa nggak salah pendirian Mbakyu ini? Misalnya kalau Mbakyu lebih memilih mementingkan Astrid, dan menyalahkan Pra, ketika ada apa-apa yang terjadi pada Mbakyu, kira-kira yang bakal nolongin siapa? Pra apa Astrid? Lha wong kita ini sudah tua. Siapa lagi yang bisa kita andalkan selain anak sendiri. Bukan anak orang lain."

Bu Lita menyadari bahwa apa yang dia ucapkan adalah sebagai wujud pembelaannya pada Pra. Karena selama ini dia tahu sendiri apa yang dialami si sulung keluarga sebelah.

Sedangkan Bu Agni termangu di tempatnya. Wajahnya pucat dan terlihat lelah, seperti orang kehilangan harapan. "Kalau Pra tidak mau pulang, terus piye, Dik?"

"Ya biarin tho, Mbakyu. Anak sudah dewasa. Malah sebenarnya lebih baik kalau dia terpisah dari orang tua. Saya jadi ingat omongan Neri tempo hari. Bahwa dia suatu saat juga ingin merasakan apa yang saya rasakan. Punya suami, punya anak, punya keluarga sendiri. Saat itu saya baru sadar dan merasa sangat berdosa pada anak sendiri karena belum bisa memberi hak yang layak dia terima," Bu Lita menerawang memandang ke luar jendela. "Kita dulu sudah pernah merasakan indahnya berumah-tangga, masa anak kita nggak bisa hanya gara-gara kita yang nggak becus mengurus diri sendiri sampai membebani anak."

"Aku yo jadi mikir, Dik..."

"Mbakyu ingat bagaimana kita dulu?" potong Bu Lita, karena melihat sang tetangga begitu sendu.

Bu Agni menggeleng. "Yang mana, Dik?"

"Waktu kita baru menikah. Pertama kali meninggalkan rumah orang tua dan ikut suami, ingat? Bagaimana rasanya menempati rumah sendiri, mengasuh anak-anak, lepas dari campur tangan orang tua. Kita pun sekarang wajib memberikan kesempatan itu untuk anak-anak, Mbakyu. Agar mereka juga bisa menikmati serunya kehidupan berumah-tangga. Nggak bisa kita itu bersikap egois dengan meminta anak terus-menerus menjaga kita. Dulu orang tua juga ikhlas melepas kita untuk hidup sendiri. Kenapa sekarang kita menuntut hal yang berbeda? Ya kan?"

Marry Me Marry Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang