30 - Under Pressure

14.2K 1.8K 209
                                    

Bude Agni akhirnya ngambek. Nggak mau datang lagi.

Menurut Mbak Kus, Bude Agni sebenarnya kesepian. Tetapi untuk mampir ke rumah sebelah beliau mengaku enggan. Semua langsung menuduh Neri sebagai biang kerok.

"Kok aku, sih?" tanya Neri dengan ekspresi tanpa dosa. "Ya udah, ngalah aja kita. Sekarang gantian Mama yang nyamperin Bude. Kasihan, Ma. Bude udah yatim piatu, nggak ditungguin anak cucu," selorohnya sok humble.

"Neri!" hardik ibunya kesal.

"Mbak Neri kalau kurang ajar nggak kaleng-kaleng," Sandra memanfaatkan kesempatan langka ini untuk mengolok sang kakak.

"Lah, kurang ajar apanya? Aku kan udah berbaik hati, minjemin Mama buat Bude Agni!" Neri ngeles dengan entengnya.

Memang akhirnya Bu Lita juga yang mengalah, mengunjungi sang tetangga hanya untuk sekadar mengecek kondisinya serta mendengarkan keluh kesahnya. Kalau Bu Lita sedang sibuk, Neri segera mengambil alih tugas wanita itu. "Biar Neri yang beresin, Ma. Mama ke sebelah aja. Tuh, sahabat Mama udah kangen tuh!"

Celetukan Neri berhadiah jeweran dari sang mama.

Pra tertawa terbahak-bahak ketika Neri menceritakan tentang interaksinya dengan ibunya. Sejak hari Senin Pra sibuk sekali, membuat mereka tidak bisa leluasa bertemu. Lagi pula Neri juga sekarang tidak bisa bebas keluar rumah begitu saja tanpa menjelaskan alasannya kepada ibunya. Jadi mereka harus cukup puas hanya dengan mengobrol melalui telepon.

"Makasih ya, Ner, kamu dan keluargamu care sama mamaku. Maafin kalau mama sering ngeselin."

"Udah biasa," sahut Neri sambil mengubah haluan obrolan ketika Pra menanyakan tentang pekerjaannya. Neri tidak mau pria itu mengkhawatirkannya. Jadi dia mengatakan semua baik-baik saja.

Pada kenyataannya memang itulah yang terjadi. Dibanding tekanan yang diterima Neri selama bekerja di toko Bu Grace, bekerja di rumah benar-benar seperti bekerja di taman bunga. Karena Neri hanya perlu menolerir ibu dan adiknya. Meskipun menghadapi keduanya juga bisa dikatakan gampang-gampang susah.

Susah karena yang dihadapi adalah masalah etos kerja Mama dan Sandra. Gadis itu tidak berani menyebut mereka pemalas. Tetapi berusaha memaklumi kalau baik ibunya maupun Sandra, seumur hidup belum pernah bekerja pada satu lembaga atau badan usaha. Jadi belum memahami standar bekerja yang layak itu bagaimana. Neri bersusah payah menahan diri agar tetap sabar mengarahkan ibunya. Mengajari beliau bagaimana bekerja yang cepat dan efisien, serta tidak boros. Menyadarkan kalau setiap bahan yang dibeli, sebisa mungkin bisa balik modal dan memberi keuntungan yang layak.

"Mama, kita ini jualan, bukan lembaga sosial. Jadi nggak bisa sembarangan kirim contoh produk ke sembarang pelanggan. Pastikan ke orang-orang yang memang serius mau beli. Ini bukan uji coba gratis, Ma. Emangnya Mama pernah nyicip kue di toko dengan cuma-cuma? Bahkan nyoba produk aja kita harus beli dan dibayar pakai duit kan, Ma?"

"Wajarlah Ner, kalau toko besar. Kalau coba gratis di sana malah disangka nyuri."

"Nah, itu, tahu sendiri."

"Itu karena mereka toko besar, makanya orang mau percaya dengan mudah. Beda dengan kita yang baru mengawali. Anggap saja ini modal promosi, Ner."

"Tapi nggak gitu juga, kali. Baru mengawali bukan berarti kita obral, Mama. Justru Mama tuh harus pede sama produk sendiri. Yakin kalau bahan-bahan yang dipakai bagus, prosesnya benar, dan tempatnya bersih. Itu, Ma, branding-nya mama di situ. Makanan rumahan yang sehat dan aman dikonsumsi."

Sang Mama tersenyum dengan ekspresi bersalah. Ditepuknya lengan Neri dengan pelan. "Sabar ya, Ner, ngadepin Mama."

Sebenarnya justru ibunya yang sabar menghadapi Neri. Tetap semangat meskipun berkali-kali dikritik oleh putrinya. Dan Neri berkali-kali meminta maaf saat merasa dirinya sudah kelewatan.

Marry Me Marry Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang