Meskipun menghadapi dengan pikiran terbuka itu lebih bijaksana, ada kalanya yang bisa dilakukan hanya menghindar.
"Sampai saat ini yang bisa saya lakukan hanya menghindar, Om. Karena saya tidak ingin ribut-ribut. Terutama dengan Mama. Tetapi kali ini rasanya sudah cukup. Apa pun yang terjadi saya memang harus bertindak."
Om Yanu mengangguk. "Orang seperti ibumu itu memang sulit untuk dihadapi, Pra. Tetapi bukannya nggak bisa. Ayolah, kamu yang memahami beliau dengan baik."
"Tetapi Mama itu absurd, Om."
Om Yanu tertawa terbahak-bahak. "Bisa aja kamu ini. Memang dalam pernikahan itu ada beberapa syarat, yang salah satunya adalah keikhlasan dari kedua calon mempelai. Artinya orang tua memang tidak punya hak untuk memaksa. Keputusan ada di tangan anak."
"Tetapi di sisi lain, yang namanya orang tua, di mana-mana juga pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Apalagi soal pasangan. Coba kamu pahami ibumu dari sudut ini. Sebagai ibu, Mbakyu ingin bantu kamu mencari pasangan paling tepat, baik dari segi asal-usul, derajat, dan kualitas lainnya."
"Masalahnya, Om, parameter tepat ala Mama beda sama saya. Kriterianya beda."
"Syukurlah kalau kamu sudah sadar bahwa ibumu nggak selalu benar," Tante Vina yang dari tadi hanya duduk mendengarkan, tiba-tiba nyeletuk. "Orang mau positive thinking juga susah kalau tahu gimana Mbak Agni."
Pra menundukkan kepala. Tante Vina dulu salah satu yang mendukung hubungannya dengan Sari.
"Aku tuh gemes banget sama Mbakyu Agni. Maunya apa, tho? Anak mau menikah kok dipersulit dengan segala hal yang sebetulnya bukan masalah besar. Like and dislike-nya itu nggak masuk akal," kata Tante Vina berapi-api. "Alasan dulu nggak mau terima Sari itu juga sepele banget, lho. Gara-garanya waktu, siapa tuh, Pa?" Tante Vina menepuk pelan lengan suaminya. "Waktu anaknya Mas Gigih mau menikah, kan kita musyawarah tentang warna bahan seragam penerima tamu. Lha orang-orang keberatan sama usulannya Mbakyu Agni, lebih setuju sama pilihan mamanya Sari. Sepele memang. Tapi kayak gitu udah jadi perang selama bertahun-tahun. Sampai pernikahan anak sendiri digagalkan."
Baik Om Yanu maupun Pra cepat-cepat mengalihkan pandangan. Sama-sama bingung antara mau tertawa atau menanggapinya dengan serius.
"Untung di Sari dong, Tante," komentar Pra akhirnya. "Nggak jadi punya suami orang ruwet kayak saya."
Paman dan bibinya menatap sang keponakan dengan kasihan.
"Lalu rencanamu bagaimana, Pra? Om nggak bisa bantu kalau nggak tahu rencanamu dengan baik."
***
Sebagai anak sulung, Neri terbiasa mengurus segala hal. Dia selalu berada posisi memperhatikan, bukan bagian yang diperhatikan. Jadi ketika Steven memperlakukannya dengan penuh perhatian, yang menurutnya terlalu berlebihan, Neri jadi tersudut/
"Steve, udah deh..."
"Kenapa sih, Ner? Kan nggak apa-apa kalau nanya kamu ngapain aja," balas Steven.
"Tapi ya nggak setiap saat kamu nanya aku lagi ngapain dan butuh apa juga sih," gerutunya. "Aku nggak biasa diperhatiin kayak gini."
"Mungkin lebih baik kamu mulai membiasakan diri."
"Ya nggak bisa langsung, Steve. Kenapa nggak wajar-wajar aja sih? Biar nggak risih."
"Nggak mungkin wajar-wajar aja, Ner. Karena kamu kan spesial buat aku..."
Sebelum Neri sempat membalas, telepon genggamnya bergetar. Dari Pra. Ha? Apa lagi sih? Tanpa pikir panjang, Neri menerimanya. "Ada apa?" tanyanya begitu mereka terhubung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry Me Marry Me Not
ChickLitPra dan Neri bertetangga sejak kanak-kanak. Hubungan mereka sudah seperti kakak dan adik. Sama-sama sulung, sama-sama yatim, juga sama-sama memiliki ibu yang sulit, membuat mereka dekat karena merasa senasib. Tetapi jangan harap mereka terpikir untu...