13-In A State Of Anger

9.4K 2.2K 222
                                    

Ada yang berbeda dari hubungannya dengan Pra.

Neri duduk di kursi yang ada di kamarnya, menghadapi laptop yang sejak tadi belum dia nyalakan. Memikirkan apa yang terjadi barusan. Kalau mereka memang hanya sebatas teman baik, kenapa jadi canggung begini? Kenapa juga tadi Pra memandang Pak Steven dengan ekspresi begitu? Bikin Neri jadi malu. Seolah mereka memiliki hubungan spesial saja!

Neri tidak bisa melupakan ekspresi keheranan di wajah atasannya.

"Ini..." Pak Steven menoleh kepada Neri, karena Pra tidak menunjukkan keramahan sama sekali.

Untung Neri bisa segera mengambil sikap tegas. "Mas Pra ini tetangga, Pak. Udah kayak kakak sendiri. Bentar lagi menikah dia," sahutnya berusaha kalem. Yang nggak matching banget dengan sorot curiga di mata si dodol Pra ini.

"Oh," Pak Steven akhirnya tersenyum. "Selamat ya," ucapnya sopan.

Karena Pak Steven tidak lama, dengan alasan agar tidak kemalaman sampai di Surabaya, pria itu pun berpamitan dengan sopan. Setelahnya Neri pun menghilang dari ruang depan dengan alasan tidak mau mengganggu kesibukan mereka bertiga. Masih sebal dengan perlakuan ibu dan adiknya. Mereka bersikap seperti orang sakit hati padanya.

Kalau Sandra sih wajar sakit hati. Dan dia memang harus sakit hati biar tahu kondisinya. Tapi Mama?

Neri masih merenung dan tak tahu apa yang harus dia lakukan, ketika tahu-tahu pintu kamarnya terbuka. Dan Pra berdiri di sana. Sialan! Kebiasaan dia tidak kunci pintu dan Pra yang asal nyelonong begini. Cepat-cepat Neri berdiri dan berjalan mendekat. Mencegah Pra masuk lebih dalam.

"Apa, Mas?" tanyanya tanpa keramahan.

Pra menatapnya serius. "Kamu ada hubungan apa sama pria tadi?"

"Itu Pak Steven, Mas. Atasanku. Kan aku udah bilang tadi?" Neri sampai menggeretakkan gigi karena kesal.

"Nggak mungkin atasan nganter bawahan tanpa maksud tertentu, Ner." Pra begitu keras kepala, mengabaikan kekesalan Neri.

"Motorku rusak," sahut Neri ketus.

"Kamu bisa minta tolong aku untuk..."

"Lebih nggak mungkin lagi tunangan orang nganterin perepmpuan lain," potongnya cepat.

"Neri, kamu paham banget situasi kita nggak seperti yang dituduhkan orang-orang. Nggak ada yang berubah dari pertemanan kita hanya gara-gara aku bertunangan!"

"Kamu mau membodohi diri sampai kapan sih, Mas?" tanya Neri geram.

"Kenapa sih jadi aneh begini? Kenapa kamu tahu-tahu ngilang dan memperlakukanku seperti orang asing? Kenapa nggak normal-normal aja?"

"Emang kenapa kalau aku memilih untuk menjauh? Nggak apa-apa kan? Hak asasiku kan, mau berteman sama siapa? Duh, itu tengkorak kepalamu kok keras bener sih? Gimana caranya kasih kamu pemahaman bahwa sebentar lagi kamu tuh mau nikah, Mas!" Neri begitu frustrasi, berdiri sambil berkacak pinggang ujung telunjuknya menuding pada Pra. "Nggak mungkin lagi aku ngobrol sama kamu, Mas. Kamu harus siap kalau sebentar lagi dunia kita udah beda! Coba ingat-ingat lagi, ketika Yuli sama Rina menikah, apa kamu masih bisa bebas ngatur-ngatur mereka? Nggak kan? Mereka sudah punya suami dan nggak mungkin ngurusin kakaknya yang begonya keterlaluan kayak gini!"

Pra diam.

"Kamu tuh ya, kayak nggak tahu aja situasi yang aku hadapi. Susahnya jadi aku yang terus-terusan difitnah orang. Yang ternyata biang keroknya tuh emak kamu sendiri. Bisa kan kamu menjauh mulai sekarang dan bikin hidupku lebih enakan?"

"Tapi Ner... Aku nggak suka kalau kamu ada apa-apa sama atasanmu tadi. Boleh kan, sebagai teman dekat aku kasih masukan?"

"Siapa yang larang? Tapi masalahnya aku nggak butuh masukan apa pun sekarang, Mas. Karena sku nggak punya hubungan apa-apa sama beliau."

Marry Me Marry Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang