29 - Life Could Be So Easy

10.4K 2.1K 141
                                    

Tidak ada yang berubah dari rutinitas Neri.

Setidaknya itulah kesan yang ingin Neri sampaikan. Terutama di depan ibunya. Kecuali satu hal yaitu Neri semakin peduli dengan aktivitas sang mama. Sebelum berangkat kerja, dia selalu menyempatkan diri untuk mengecek pekerjaan ibunya, serta menanyakan apa saja yang dibutuhkan.

Neri juga berhasil menghubungi beberapa pemilik usaha kue dan katering yang dia kenal secara pribadi sebagai pelanggan toko Bu Grace. Gadis itu berbincang akrab dengan mereka, sambil menyelipkan pertanyaan-pertanyaan terselubung untuk mengetahui apakah ada peluang bagi usaha yang baru berjalan ini. Dari beberapa orang Neri berhasil memancing informasi masalah mereka tentang kurangnya kapasitas produksi untuk menggenjot penjualan.

"Gimana mau jual lebih banyak dan menerima order-order besar kalau kami belum mampu berproduksi dalam jumlah yang juga besar?" kata salah seorang pengusaha kecil yang biasa menangani katering untuk acara kantoran.

"Kenapa nggak kerja sama dengan pembuat kue rumahan saja?" pancing Neri.

"Nggak mudah, Mbak Neri. Kontrol kualitasnya itu yang sulit. Nggak semua pengusaha kue memenuhi syarat-syarat sesuai dengan apa yang kita mau. Kalau pun ada yang bagus, mereka rata-rata sudah punya pelanggan sendiri dan susah untuk diajak kerja sama."

Neri bekerja cepat memanfaatkan waktu yang tersisa sebelum dia benar-benar keluar dari kantor tersebut. Setiap peluang yang ada segera dia tindak lanjuti untuk memastikan apakah ada kemungkinan menjalin kerja sama. Pada hari Rabu, ibunya telah mengirim contoh produk kepada lima orang yang berbeda, dan mendapatkan kesempatan memasok kue basah di dua toko yang lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka.

"Ini nih, Ner, yang Mama bilang agak keder kerja bareng jendral macam kamu. Caramu itu lho, langsung jalan nggak pakai nunggu."

Neri hanya menanggapi dengan senyum. Setelah ini ibunya akan mengerti kalau urusan dapur di keluarga ini bergantung pada jalannya usaha yang baru dirintis itu. Pra menawarkan diri untuk membantu Neri berbicara pada sang mama. Tetapi ditolak dengan halus oleh Neri.

"Nggak usah, Mas. Terima kasih. Beliau mamaku. Aku pasti bisa lah membuat mama mengerti."

Di kantor, Steven tidak berkomentar sama sekali melihat Neri yang terlihat sibuk menyelesaikan banyak hal. Bahkan beberapa kali gadis itu kerja sampai larut malam, dan menolak dengan halus ketika Steven menawarkan diri untuk mendampingi.

"Saya maunya target bulan ini bisa saya selesaikan dalam minggu ini, Pak," katanya kepada pria yang berusaha mendekatinya kembali. "Jadi sesudahnya saya bisa fokus mengerjakan yang lain."

"Tapi apakah kamu nggak pengen jalan gitu, Ner. Kita cari hiburan yuk, bentar. Biar nggak stress."

"Pak, saya baik-baik saja, kok," potong Neri, berusaha tersenyum ramah meskipun dalam hati menyumpah-nyumpah. "Lagipula, sekarang kan semua sudah jelas. Saya pikir Pak Steven udah nggak perlu lagi memaksa diri agar terlihat bersama saya. Pasti orang-orang sudah punya persepsi kalau Pak Steven menjalin hubungan spesial sama saya, setelah acara pesta minggu lalu. Jadi sekarang, Bapak bisa lebih santai, menjalani hubungan bersama Bu Lidya."

Sebenarnya Neri muak sekali harus mengatakan ini. Tetapi dia berusaha bertahan. Sedikit lagi, Ner. Setelah ini semua selesai. Sabar-sabarin diri. Neri membiarkan Steven menduga kalau dirinya adalah pegawai lemah dan lugu, yang nasibnya sangat bergantung pada pekerjaan ini.

Steven mendekat, menyentuh bahu Neri dengan lembut. "Terima kasih, Ner. Ternyata aku memang nggak salah pilih. Dan Lidya, meskpun temperamental, tetapi hatinya lembut dan mudah tersentuh. Tunggu saja, nanti di saat yang tepat aku akan mengusahakan agar kamu mendapat reward yang pantas dari Lidya atas kerja sama ini. Karena tak lama lagi dia akan menjadi orang nomor satu di perusahaan ini."

Marry Me Marry Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang