Sesuai prediksi, menghadapi Bude Agni benar-benar menguras emosi.
Sumpah! Andai bukan karena Pra yang sudah sebaik itu kepadanya, Neri pasti sudah menyerah dan melemparkan semua pekerjaan rumit tak berkesudahan itu kepada wanita tua berwajah masam yang selalu memandangnya dengan penuh curiga.
“Mama tuh kenapa sih? Kok mau-maunya diperlakukan Bude Agni seperti itu?” protes Neri, entah untuk keberapa kali.
“Namanya hidup bertetangga, Ner. Nggak bisa kita itu nggak peduli.”
“Tapi nggak kayak gini juga kali, Ma!”
“Neri, gimana-gimana dulu suami Bude Agni sudah sangat berjasa membantu ayahmu. Kalau bukan beliau yang mengusahakan, nggak mungkin pegawai rendahan seperti ayahmu bisa membeli rumah di komplek ini. Dengan nilai cicilan yang terjangkau pula.”
“Tapi Ma, itu kan Pakde Gun! Bude Agni nggak bisa dong seenaknya saja nagih-nagih jasa yang pernah dilakukan suaminya. Mana waktu pembayaran balas budi ini unlimited pula!”
“Hus! Jangan begitu, Ner!” hardik ibunya. “Lagi pula bukannya Pra itu baik banget sama kamu? Kamu fokus saja bantuin dia. Cuekin aja Bude Agni. Biasanya kamu begitu, kan? Dari semua anak Mama, selama ini hanya kamu yang berani tegas menolak permintaan beliau.”
“Biarin! Emang Bude Agni nyebelin kok!” bantah Neri sambil cemberut. “Mama kan tahu, Neri paling pantang diintimidasi orang tanpa alasan. Apa hak Bude untuk memperlakukan Neri seenaknya? Sumpah Ma, Bude tuh cuma pengen ngerjain aja. Nyinyir tiada akhir, apa-apa salah, apa-apa nggak cocok, tapi nggak punya solusi. Nggak jelas apa maunya!”
“Ya udahlah Ner, kamu udah paham kelakuan Bude. Nggak usah ditanggepin.”
“Eits! Mana bisa? Nggak dong. Kalau nyuruh Neri, ya berarti harus ngikut cara Neri,” kata Neri keras kepala. “Duh, kebayang deh ntar si Astrid dapet mama mertua kayak gini.”
“Neri!” ibunya menghardik lagi. “Kamu tuh hati-hati kalau ngomong! Kalau orang lain dengar, bisa salah paham. Nanti kamu dikira iri.”
Hih! Neri gemas setengah mati menghadapi hal nggak jelas seperti ini. Tetapi ibunya tidak tahu kalau Neri agak sebal dengan calon istri Pra ini. Meskipun belum pernah bertemu, tetapi cara cewek ini mengatur-aturnya melalui telepon membuatnya antipati seketika. Woy! Ini kerja gratisan, tahu? Situ bukan juragan yang main perintah semaunya saja! Sudah bagus tuh dibantuin! Beneran deh, andai dia tahu calon istri Pra seperti ini, Neri pasti ogah banget memilih barang-barang untuk acara seserahan.
Tapi biarin lah. Bude Agni layak banget dapat calon menantu songong kayak Astrid. Dan Pra? Biar dia belajar juga. Kalau pria itu tidak tegas dengan pilihan hidupnya, ya wajar seumur hidup dia akan diatur oleh dua perempuan yang akan membuatnya pusing.
Menjelang hari H, Neri semakin tertekan oleh banyaknya hal yang masih harus dipersiapkan. Dan Bude Agni semakin sulit diajak berkompromi. Membuat Neri harus menahan diri agar tidak meledak di hadapan wanita itu. Sekaligus memutar otak bagaimana menyiasati agar wanita itu tidak banyak campur tangan.
Malam itu Neri sedang membuat catatan semua kebutuhan yang belum disiapkan, termasuk jenis-jenis makanan untuk hantaran. Gadis itu berada di ruang tengah rumah Pra, dibantu Mbak Kus, asisten mereka entah sejak zaman kapan, ketika tiba-tiba Bude Agni muncul. Neri bersiap untuk menerima komentar pedas.
“Kok banyak sekali yang beli jadi, Ner?” tanyanya dengan nada tidak senang. “Kenapa nggak bikin sendiri aja?”
Neri menarik napas panjang tiga kali, sebelum menjawab. “Yang bikin siapa, Bude?”
Bude Agni membelalakkan mata mendengar jawaban Neri.
“Bude, kalau bisa beli, mending beli deh. Mengurangi pekerjaan sekaligus risiko gagal. Waktunya sudah mepet,” elak Neri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry Me Marry Me Not
ChickLitPra dan Neri bertetangga sejak kanak-kanak. Hubungan mereka sudah seperti kakak dan adik. Sama-sama sulung, sama-sama yatim, juga sama-sama memiliki ibu yang sulit, membuat mereka dekat karena merasa senasib. Tetapi jangan harap mereka terpikir untu...