"Neri, tadi Bude—"
"Sudah, Ma. Neri baru dari sana," jawab Neri memotong dengan cepat. "Nggak usah nanya dulu. Besok aja. Neri mau istirahat," tolaknya melihat sang mama yang penasaran.
Setelah melempar semua barang bawaan, Neri mengempaskan dirinya di atas tempat tidur dan merenung memandang langit-langit kamarnya. Berharap kantuk segera datang menghampiri agar dia bisa mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. Lelah fisik lelah hati. Karena dia tidak bisa lagi mengingkari kalau ternyata dia merasakan sengatan sakit hati. Entah karena perlakuan Bude Agni, atau karena menyadari kalau Pra ternyata memiliki selera cukup tinggi untuk calon istri.
Cantik, iya. Pintar, itu pasti. Keluarga terhormat, wajib itu. Bobot, bibit, dan bebet, semua terpenuhi. Lalu bagaimanakah selama ini Pra menilai Neri? Dia tidak butuh deskripsi basa-basi seperti yang tadi disampaikan pria itu. Seorang teman, sahabat, dan tetangga. Karena sesungguhnya hubungan mereka lebih dari ketiga faktor itu!
Hingga larut malam, Neri tetap tidak sanggup memejamkan mata. Suara-suara di sebelah dengan jahatnya terdengar dengan cukup jelas di telinganya. Suara pintu depan dibuka, lalu pintu pagar, kemudian suara mobil. Disusul oleh pintu pagar yang ditutup kembali. Hm ... Pasti Pra akan mengantar Astrid. Atau mereka akan melanjutkan berduaan di tempat lain?
Kemudian ingatannya melompat ke saat-saat malam bersama Pra nongkrong di warung tenda. Atau menemani pria itu sekadar ke minimarket depan komplek untuk membeli sabun mandi, atau pasta gigi. Neri dengan senang hati menemani kalau diminta karena pasti akan mendapat bonus receh sebatang chunky bar. Atau sebotol minuman sari jeruk dingin kesukaannya. Atau menjajal sekantung besar keripik kentang dengan taburan rumput laut yang gembung kemasannya.
Tetapi itu hanya kenangan masa dewasanya. Kenangan masa kecil yang mereka habiskan bersama bahkan sudah kabur. Hanya tersisa momen-momen khusus seperti ketika tiba-tiba Pra menjadi jaim dan sombong banget. Ternyata karena untuk pertama kalinya dia punya pacar. Sehingga bermain sepeda bersama Neri membuat kadar kegantengannya berkurang. Atau ketika Neri ketakutan setengah mati gara-gara mendapatkan haid pertamanya. Berusaha menjauh dari Pra. Karena katanya kalau sudah haid dan berteman dengan anak laki-laki bisa hamil!
Mengingat momen-momen itu membuat Neri terkikik geli.
Lalu ponselnya berkedip-kedip. Sebuah pesan dari Pra muncul di layarnya.
Ner, kamu belum tidur kan? Nongkrong yuk!
Neri tertegun. Bisa-bisanya Pra mengajaknya nongkrong di saat seperti ini? Benar-benar nekad! Bisa-bisa Bude sudah menyiapkan wajan sebesar bak air buat menggoreng putranya itu! Sambil mendengkus, Neri meletakkan kembali ponsel di sebelahnya. Tidak berminat membalasnya.
Ner, aku tahu kamu masih melek. Lampu kamarmu masih menyala terang.
Sialan! Dengan kesal Neri bangun untuk memencet saklar.
Ner, ayo dong! Temenin aku ngobrol dong!
Setelah menghela napas panjang, akhirnya Neri mengetikkan jawaban.
Udah malam. Aku capek.
Sama. Aku juga capek. Tapi nggak bisa tidur kayak kamu.
Sok tahu banget kamu kalau aku nggak bisa tidur.
Kalau kamu udah tidur, nggak bakal balas chatt ini.
Urusanku lah mau tidur apa nggak. Kenapa kamu repot?
Biasanya setelah ngobrol sama kamu, aku bisa ketiduran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry Me Marry Me Not
ChickLitPra dan Neri bertetangga sejak kanak-kanak. Hubungan mereka sudah seperti kakak dan adik. Sama-sama sulung, sama-sama yatim, juga sama-sama memiliki ibu yang sulit, membuat mereka dekat karena merasa senasib. Tetapi jangan harap mereka terpikir untu...