.•♫•Duapuluh enam•♫•.

2.7K 365 74
                                    

Pria paru baya itu mengerjapkan matanya berulang kali, mencoba untuk menyesuaikan cahaya yang masuk pada retina.

Pria itu sedikit menggerakkan tubuhnya, namun pergerakannya  seakan terbatas oleh tali yang mengikat tubuhnya. 

Pintu ruangan terbuka, membuat pria paru baya itu langsung mengalihkan pandangannya. 

"Hei, lama kita tidak bertemu. Apa kabar, Nam?"

Yang disebut Nam itu hanya terdiam, matanya menatap tajam pada pria seumurannya yang tengah menyeringai kearahnya. 

"Aku sudah memperingatimu untuk tidak ikut campur lagi pada urusan Il-sung. Tapi sepertinya kau masih ingin bermain-main dengan pisauku. Baiklah permainan akan dimulai."

Pria itu membawa sebuah pisau di tangan kanannya, sementara tangan satunya lagi menangkup wajah Pria yang bernama Nam itu dengan kasar.

Kedua pria itu saling menatap tajam.

"Kau.."

Jisung menghentikan tangannya yang sebentar lagi akan menyayat wajah  Kim Nam.

"Aku? Kenapa?" Tanya Jisung tajam

"Kehidupan tidak ada yang pernah abadi. Semua orang mati dan kembali pada sang pencipta. Kau tidak bisa memaksakan kehendakmu terus-menerus. Karena dunia ini bukanlah milikmu...."

Tuan kim terdiam, perlahan ia menjauhkan pisaunya, begitu pun dengan tangannya.

"......Saat ini, putramu ada di pelukanmu. Tapi kau tidak akan pernah tau, sampai kapan hal tersebut terjadi. Bagaimana jika putramu pergi dari pelukanmu? Pergi berarti ada dua opsi, yang pertama pergi karena menikah dan mempunyai keluarga kecil. Dan yang kedua, pergi karena kesalahanmu sendiri....."

"......Kita seorang ayah,  kita selalu mencoba untuk menjaga putra kita dengan cara apapun. Lalu bagaimana jika cara yang kita buat malah menyakiti putra kita?...."

".....Kau pasti mendengar pribahasa ini, apa yang kau taman, itulah yang akan kau tuai? Seharusnya kau bercermin. Apa saja yang pernah kau perbuat...."

".....Kau beruntung, seharusnya kau bersyukur karena kau masih memiliki keluarga yang lengkap, yang selalu sayang padamu. Kau seharusnya bersyukur karena memiliki istri yang cinta padamu. Kehidupanmu sempurna jika kau mampu bersyukur...."

".....Kau tidak mencintai Jihyo, tapi kau terobsesi padanya...."

".....Dengarkan aku Jisung, kau baru akan merasakan ketika keluargamu benar-benar pergi dari hidupmu. Kau akan sadar, jika apa yang kau lakukan selama ini hanyalah sia-sia, karena  kebahagiaanmu yang sebenarnya, bukan yang saat ini sedang kau perjuangkan. Tapi yang saat ini telah kau miliki."

Jisung menggeram marah
"Bajingan! Omong kosong apa itu!!"

Semuanya terjadi begitu cepat, pisau yang sempat menjauh itu kini sudah tertancap di perut Kim Nam.

Nam menatap pisau itu, bajunya sudah penuh dengan rembesan darah.

Jisung mencabut pisau itu kembali, dan menancapkan nya lagi hingga empat kali tusukan. 

"Selamat datang di hidupmu yang baru, Kim Nam!" Desis Jisung tajam, mencabut pisau itu lagi kemudian langsung melenggang pergi.

Meninggalkan Kim Nam yang masih terikat dengan darah segar yang mengucur dari perutnya.

Pria itu terbatuk, wajahnya memucat dan tubuhnya melemah.

Bibirnya terus meringis, merasakan sakit bertubi-tubi yang menyerang perutnya. 

Blood Sweat And Tears Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang