Semua orang akan menyayangi bahkan hingga menangisi. Saat kita sudah tidak ada di dunia lagi 'kan?
-Arshintacantik
~~~
Kesedihan, hampa, itu yang sedang dirasakan kali ini. Biasanya diri ini selalu kuat dalam menghadapi. Tapi, ini benar-benar terlalu dalam rasa sakitnya yang membuat gue sendiri harus menyendiri agar semua orang tidak tau apa yang terjadi.
Entah sudah berapa hari gue mengurung diri, menangis, dan meratapi kehidupan, sisanya dipakai untuk tidur. Nicko, ibunya ataupun Via sudah mencoba beberapa kali untuk mengajak berbicara, namun diri ini belum siap.
Suara ketukan pintu kembali terdengar, "shin, sudah bangun belum?" Tanya Nicko dari luar.
"Udah ko," sahut gue.
"Boleh saya masuk?"
Lagi-lagi pertanyaan seperti itu ditanyakan Nicko. Gue menyerah, akhirnya memperbolehkan dia masuk.
"Saya tau kamu sedang tidak baik-baik saja. Jangan terpuruk terus. Kamu harus menemukan bahagia mu lagi," ujar Nicko saat duduk di hadapan gue.
Gue yang mendengarnya terkekeh, "tau dari mana si, ko?"
"Biasanya orang yang sedang merasa tidak baik-baik saja, akan lebih banyak tertidur untuk menenangkan dirinya." Nicko tersenyum menatap gue.
Gue merasa tidak nyaman karena terus ditatap Nicko, "jangan natap gue gitu, ko."
"Shin, Tuhan selalu mempunyai cara agar kita bahagia. Salah satunya menjauhkan kita dari orang yang disayang."
"Kenapa?"
"Karena mereka bukan yang tebaik."
Gue menutup mata dan menarik nafas dalam-dalam menahan air mata yang memberontak ingin keluar.
Nicko mengusap bahu gue, "Kamu sudah memberikan yang terbaik. Menangis lah, buang kesedihan mu. Tapi ingat, kamu harus bahagia kembali. Tuhan perencana yang terbaik, dibalik setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Jujur, mungkin jika saya menjadi kamu, saya tidak akan sekuat atau setegar kamu. Saya menunggumu bangkit kembali. Untuk kedepannya, jadilah si dewasa yang bertanggung jawab."
Ucapannya seakan hipnotis, air mata turun begitu saja tanpa bisa ditahan. Rasa sakit kembali terasa, sudah saatnya gue bercerita.
"Yang mereka tau gue baik-baik saja. Gue bahagia, tanpa mereka sadari di dalam diri gue terdapat luka. Hati gue hancur berkeping-keping, ada yang membantu? Nggak ada. Gue jalanin itu semua selama ini sendiri. Gue yang mengumpulkan kepingan itu sendiri. Bahkan, hingga saat ini juga gue sendiri yang selalu mencoba ngobatin luka," ucap gue di sela air mata yang terus mengalir.
"Saya tau kamu perempuan yang kuat, shin. Ayo bangkit, jangan seperti raga yang kehilangan jiwanya," ajak Nicko meyakinkan.
Gue tersenyum miris kearahnya, "Entah raga yang kehilangan jiwa, atau jiwa yang sedang mencari raga. Berpencar karena mulai merasakan titik jenuh dalam kehidupan, titik ingin menyudahi atau melanjutkan."
Nicko terus mengusap bahu gue untuk menguatkan dan berucap, "ibu pernah bilang ke saya, bahwa hidup di dunia ini hanya fana. Suka, tidak akan selamanya suka. Duka, tidak akan selamanya duka. Jangan berbuat ulah, karena kesempatan tidak akan datang untuk yang menyerah. Biarkan semua dirasakan. Hingga tiba hembusan nafas terakhir, yang memberi ketenangan."
Gue terdiam menunduk sambil terus mengusap air mata. Entah mengapa saat mendengar ucapan Nicko, air mata malah semakin deras bahkan gue sampai terisak.
"Semua orang gue cintai, semua orang mencintai. Namun yang pasti, gue nggak mencintai diri sendiri. Ko, gue ini munafik yang nggak pernah sesuai dengan apa yang gue ucapin. Gue ini si lemah, yang mencoba menjadi penguat seseorang. Namun, tidak bisa menjadi penguat sendiri. Gue capek ko," lirih gue.
Nicko mengusapkan tangannya ke pipi gue untuk menghapus air mata, tidak lupa dengan senyuman yang terus ia perlihatkan.
"Shin, dunia itu memang tempatnya capek. Tapi, jangan pernah berfikir kamu sendiri. Jangan perdulikan orang lain mencintaimu dengan tulus atau tidak. Percaya shin, masih banyak orang yang mencintai kamu,"-Dia terdiam sebentar,-"termasuk saya." lanjut ucapannya.
Seketika tangisan terhenti berganti menjadi kekehan, "nggak lucu tau ko candaan lu."
Nicko malah tertawa melihat gue,"Nah kan, keliatan lagi cantiknya."
"Memang gue jelek banget tadi?"
"Tetap cantik."
Suara deheman terdengar dari luar. Reflex, kita berdua menengok dan ternyata sudah ada ibunya Nicko.
"Ibu boleh masuk nggak nih?" Tanya nya dengan suara anak kecil.
Gue dan Nicko tertawa. Tidak lama kemudian Nicko mempersilahkan ibunya masuk. Ibunya Nicko duduk tepat disamping Nicko dan tentunya berhadapan juga dengan gue. Dia memeluk dan menciumi kening gue.
"Kamu itu anak ibu, jangan seperti ini lagi ya?"
"Arshinta udah banyak ngerepotin, bu."
"Nggak sama sekali nak, ibu sudah tau semua tentang kamu."
"Ibu kecewa nggak, kalau punya anak pembuat masalah seperti Arshinta?"
Ibunya Nicko menggeleng pelan dan tersenyum, "nggak, justru ibu akan sangat kecewa sama diri sendiri, karena gagal sebagai orang tua. Padahal anak seperti kamu hanya butuh perhatian."
"Bu, ini bukan tentang perhatian dari orang tua. Banyak pengkhianatan yang nggak pernah terfikirkan sebelumnya." setelah mengucapkan itu air mata kembali jatuh--dasar lemah.
"Setiap masalah yang menimpa kamu adalah sebuah proses menuju dewasa. Ibarat gini, kamu adalah balita yang baru saja belajar jalan. Mau seberapapun kamu terjatuh, kamu harus bangkit lagi agar kamu tau rasanya berjalan dengan lancar atau bahkan berlari. Tapi, jika kamu menyerah. Selamanya kamu tidak akan merasakan apa itu berjalan ataupun tau apa itu berlari. Mengerti maksud ibu?" Gue mengangguk pelan. Ya, benar apa yang dikatakan ibu barusan.
Ibu memeluk gue kembali, pelukan yang selama ini dirindukan, pelukan yang memberi kehangatan dan ketegaran.
"Apapun yang terjadi, ikhlas adalah jalan keluarnya. Percaya sama ibu, ada masanya orang yang telah nyakitin kamu akan kembali sayang sama kamu," tukas ibu meyakinkan.
Gue tersenyum, "saat Arshinta sudah nggak ada di dunia, ya?"
"Kenapa bisa bebicara seperti itu?"
"Ada suatu pengalaman, yang memberikan Arshinta pelajaran. Bahwa semua akan menyayangi kita dengan tulus, bahkan hingga menangisi. Saat kita sudah tidak lagi ada di dunia."
Ibunya Nicko tertawa pelan, "nak, Pengalaman hidup setiap orang kan berbeda. Kamu nggak bisa mendengarkan satu pengalaman dan membandingkannya dengan pengalamanmu. Nanti yang ada kamu iri, ujung-ujungnya lupa bersyukur."
Gue tersenyum, semua yang dikatakan Nicko maupun ibu benar. Mulai detik ini juga gue terima dan mulai mengikhlaskan apa yang terjadi. Sekuat apapun menahan dan menguatkan diri sendiri tidak akan ada hasil. Karena setiap manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri.
Ibunya nicko mengusap rambut gue pelan, kasih sayang yang dia beri sangat terasa. Tidak lama kemudian anak-anak panti memasuki kamar gue dengan riang.
Salah satu anak kecil perempuan bergigi ompong menarik lengan gue, "ka alcinta main hujan yu?" Ajaknya.
Anak kecil di panti memang memanggil gue dengan Alcinta, karena kebanyakan dari mereka masih banyak yang cadel.
"Ayo," jawab gue dengan antusias.
"Ka nicko juga ayo," ajaknya lagi.
Nicko tertawa dan mengangguk tanda dia setuju.
Kita semua bermain hujan setelah diizinkan oleh ibu, dengan syarat tidak terlalu lama. Kita tertawa riang, menari dan bernyanyi dibawah derasnya hujan. Sampai saat ini hujan lah yang selalu menjadi teman dikala kesedihan. Tapi, gue berjanji pada diri sendiri setelah ini gue harus bahagia kembali.

KAMU SEDANG MEMBACA
ARSHINTA [SELESAI]
Teen FictionArshinta Anindira Maheswari nama yang sangat indah bukan? Ya indah tapi sayang kelakuannya membuat nama dan dirinya sangat jauh berbeda. Annoying girl sebutan dari teman-teman untuk dirinya, cewek absurd yang selalu membuat kekacauan dimanapun. Tapi...