2. Perjanjian

40.4K 3.5K 81
                                    

Selamat Membaca
Jangan lupa tinggalkan jejak

•••

Kafka memberhentikan motornya di depan rumahnya, membuka helm full face yang ia kenakan dan berjalan masuk ke dalam.

Kafka memasuki rumahnya dengan santai sembari melepas jaket hitam berlogo kepala harimau didada bagian kiri dan bertuliskan GADESKA dibagian belakang jaketnya.

"Kafka," panggil Hafidz Ayah Kafka yang duduk membelakanginya.

Kafka berjalan menghampiri dan duduk di depan Ayahnya.

"Sudah makan?" tanya Karina berjalan mendekati Putra dan Suaminya.

"Belum, Mah," jawab Kafka menatap Ibunya.

"Makan dulu," ucap Karina dengan lembut.

"Nggak perlu Mah, Kafka udah kenyang," tutur Kafka tersenyum singkat lalu beralih menatap Ayahnya.

"Ada apa Papah nyuruh Kafka pulang?" tanya Kafka.

"Berapa umurmu?" tanya Hafidz membuat Kafka mengernyitkan dahinya.

"Delapan belas, Pah," jawab Kafka.

"Apa pantas disebut dewasa?" ujar Hafidz membuat Kafka berdecak.

"To the point Pah, apa yang Papah pengenin," ujar Kafka.

"Menikah."

Satu kata yang muncul dari bibir Hafidz membuat Kafka tak berekspresi menunjukkan rasa terkejut pun tidak.

"Kenapa?" tanya Kafka datar.

"Tidak perlu Papah jelaskan, menikahlah dengan gadis pilihan Papah," ucap Hafidz dengan tenang menatap Kafka.

"Atas dasar apa Papah menjodohkan Kafka?" tanya Kafka.

"Perjanjian," ucap Hafidz.

"Temui dia besok, akan Papah kasih alamatnya," lanjut Hafidz lalu melenggang pergi meninggalkan Kafka dan Karina.

Karina berjalan mendekat ke arah Kafka yang diam saja dan mengusap lembut kepalanya.

"Kamu mau kan sayang," ucap Karina membuat Kafka mendongak dan tersenyum kecil.

"Mamah tau Kafka benci diatur-atur, masih sekolah dan Kafka disuruh menikah," tutur Kafka tersenyum kecut.

"Ini terakhir kali Kafka ikutin kemauan Papah dan Kafka mempertaruhkan masa depan Kafka sendiri. Menikah dengan gadis yang bahkan nggak Kafka kenal, lucu," ucap Kafka melenggang pergi meninggalkan Karina yang pasrah mendengar penuturan Putra satu satunya.

Maafkan Mamah Kafka, ini demi kebaikan kamu. Sudah cukup main-mainnya kamu harus belajar bertanggung jawab, hanya dengan cara ini yang bisa Papah dan Mamah lakukan-batin Karina.

***

"Arrgh!! Bangsat!!" teriak Kafka mengacak rambutnya.

Kafka merebahkan tubuhnya diranjang kamarnya, memejamkan mata meredam emosi yang sudah ia tahan di depan Ayahnya saat membicarakan pernikahan.

"Menikah."

Kata itu terus terngiang diotak Kafka tak pernah ia bayangkan menikah dengan gadis yang tidak pernah dia temui dan bagaimana dia bisa menghabiskan sisa hidup bersamanya.

Namun seketika ide gila terlintas dalam benaknya tersenyum miring membayangkan apa yang akan ia lakukan pada calon istrinya nanti.

"Siapapun lo yang jadi istri gue, akan gue buat lo nggak betah," ujar Kafka tersenyum miring.

"Selamat bersenang-senang sayang," lanjut Kafka lalu beranjak pergi ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuh dan pikirannya.

Klek!

Pintu kamar mandi terbuka menampilkan Kafka dengan balutan handuk yang melilit bagian tubuh bawahnya, berjalan santai menuju lemari pakaian.

"Kafka kamu di dalam?" tanya seseorang dari luar pintu kamar Kafka.

"Ya masuk," jawab Kafka.

Pintu kamar terbuka menampilkan Ayah Kafka yang berjalan menatap datar Putranya, meneliti setiap lekuk tubuh Putranya yang terpahat sempurna.

Namun sayang kesempurnaan itu tertutup dengan coretan tato, Kafka memiliki beberapa tato ditubuhnya ada di leher, lengan dan dada nya.

Hafidz sangat marah ketika mengetahui Kafka membuat tato tanpa sepengetahuannya, tapi untuk marah pun percuma tidak akan bisa menghapus tato ditubuhnya.

"Kenapa?" tanya Kafka menggosok-gosokkan rambut basahnya dengan handuk tanpa menghiraukan tatapan Ayahnya.

"Duduk," titah Hafidz dan Kafka pun duduk disofa dengan masih berbalut handuk di samping Hafidz.

"Apa kamu menyetujui perjodohan ini?" tanya Hafidz.

"Apa Kafka bisa menolak permintaan Papah?" tanya Kafka balik menatap Hafidz.

"Kamu bisa saja menolak, kenapa diam?" ujar Hafidz.

"Papah tau Kafka seperti apa di luar sana, Kafka nggak pernah bisa membanggakan Papah dan Mamah. Setidaknya dengan ini nggak buat kalian kecewa untuk kesekian kali," ucap Kafka dengan tenang.

"Banyak yang kamu lakukan dan membuat Papah kecewa," ujar Hafidz terkekeh pelan.

"Setidaknya dia bisa merubah.."

"No Papah! Kafka tetap Kafka nggak akan ada yang bisa merubah!" ucap Kafka tegas.

"Kita lihat nanti," ujar Hafidz mengeluarkan secarik kertas dari dalam sakunya.

"Dia anak tunggal dari sahabat Papah. Kami memiliki perjanjian saat masih sekolah SMA dulu, menikahkan anak kami jika nantinya anak kami perempuan dan laki laki," terang Hafidz menatap ke depan.

"Tapi sayang sahabat Papah sudah meninggal karna kecelakaan, Papah bahkan baru mengetahuinya dan anaknya tinggal dipanti asuhan," lanjutnya membuat Kafka mengernyitkan dahi.

"Apa dia nggak punya keluarga?" tanya Kafka.

"Dia hampir dijual oleh keluarganya jadi dia memutuskan tinggal dipanti," jawab Hafidz dan Kafka hanya ber-oh ria.

"Dia berhijab," ucap Hafidz tersenyum menatap Kafka yang hanya menampilkan wajah datarnya.

"Memang dia mau sama Kafka?" ujar Kafka tersenyum miring mengetahui bahwa calon istrinya ternyata berhijab.

"Dia mau demi perjanjian almarhum Ayahnya," ucap Hafidz.

"Temui dia ini alamatnya, beri dia kesan yang baik," lanjut Hafidz meletakan secarik kertas di samping Kafka dan berlalu pergi.

Kafka mengambil secarik kertas itu lalu tersenyum penuh arti.

"Lo akan dapet kesan yang sangat baik dari gue," ujar Kafka menatap secarik kertas berisi alamat panti.

•••

I'm Not A Good Boy || Terbit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang