7. Imam Dan Makmum

45.4K 3.2K 61
                                    

Selamat Membaca
Jangan lupa tinggalkan jejak

•••

Kafka mengurung Syafa dengan kedua tangannya membuat Syafa semakin takut menatap mata tajam Kafka yang menatapnya lekat.

"Gimana sayang siap?" ujar Kafka menyeringai lebih merapatkan tubuhnya sampai menempel pada dada Syafa.

Jantung Syafa berdetak sangat kencang dengan jarak sedekat ini dengan Kafka, nafasnya naik turun tak beraturan.

"Ka-Kafka.. A-aku.. Aku cuma bilang apa yang Mamah mau," cicit Syafa sedangkan Kafka hanya diam menatap tanpa mau menjawab.

"A-aku belum siap punya anak," lanjut Syafa membuat Kafka tersenyum mengejek.

"Sekali doang nggak langsung jadi, sayang," ujar Kafka mengusap lembut pipi Syafa membuatnya memalingkan wajahnya.

"Tapi sayangnya gue nggak minat," lanjut Kafka dan Syafa menoleh menatapnya.

"Ma-maksud kamu.."

"Jangan pernah berfikir gue bakal sentuh lo."

"Inget ini, gue nggak akan sentuh cewek yang nggak gue cintai," ucap Kafka penuh penekanan membuat Syafa mematung.

"Sekalipun lo istri gue," lanjut Kafka dan sebulir bening lolos dari mata Syafa.

"A-apa kamu bakal tinggalin dan ceraiin aku," lirih Syafa terisak membuat Kafka memalingkan wajahnya.

"Ka-Kafka," panggil Syafa memegang pipi Kafka membuat Kafka menatapnya tajam.

"Jangan sentuh gue," ucap Kafka penuh penekanan membuat Syafa melepas tangannya dari pipi Kafka.

"Kafka aku janji jadi istri yang baik buat kamu," tutur Syafa menatap dalam.

Sejenak Kafka terdiam menatap Syafa yang dengan tulus mengatakannya. Namun ia segera memalingkan wajahnya dan mengangkat tubuhnya menjauh dari Syafa.

Kafka kembali berbaring memunggungi Syafa dan tak mempedulikan ucapannya. Sedangkan Syafa menatap punggung Kafka lalu menghapus air matanya, ia bangkit lalu menyelimuti Kafka.

"Aku belum cinta sama kamu, tapi aku menghormati kamu sebagai suami. Aku pasti bisa buat kamu cinta sama aku," ucap Syafa lalu membaringkan tubuhnya dan menyelimuti dirinya membelakangi Kafka.

Kafka membuka matanya mencerna ucapan Syafa. Namun ia segera menepis itu dari pikirannya dan segera tidur.

***

Adzan subuh berkumandang dan Syafa sudah bangun sebelum subuh untuk membersihkan dirinya. Syafa menggunakan baju Kafka yang terlihat kebesaran olehnya karna ia tidak mungkin memakai gaun pemberian Yuri.

"Kafka bangun," ujar Syafa membangunkan Kafka untuk menjalankan ibadah bersama.

"Kafka," panggil Syafa tapi Kafka hanya menggeliat malah mengeratkan selimutnya.

Syafa yang hendak menyentuh pundak Kafka terhenti kala ia mengingat ucapan Kafka kemarin malam.

"Jangan sentuh gue."

Syafa mengurungkan niatnya dan berlalu untuk wudhu. Tanpa Syafa sadari Kafka membuka matanya dan menatap Syafa yang berlalu begitu saja. Ia mendudukan dirinya lalu turun dari ranjang dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi.

Kini Syafa sudah siap dengan mukena putihnya dan berjalan hendak shalat namun terkejut mendapati Kafka yang sudah rapi menggunakan baju koko dan sarung serta kopiahnya.

"Kafka kamu.." ujar Syafa tak percaya menghampiri Kafka.

"Gue masih inget pencipta," ucap Kafka datar membuat Syafa tersenyum.

Sejenak Kafka menikmati senyuman manis dari Syafa namun segera ia memalingkan wajahnya.

"Kita shalat bareng," ujar Syafa senang dibalas gumaman oleh Kafka.

Lalu Kafka mulai mengambil sajadah dan menggelarnya diikuti Syafa di belakangnya. Kafka berdiri lalu membenarkan kopiahnya, sekilas ia menoleh ke belakang melihat Syafa sudah siap.

Kenapa gue gugup gini-batin Kafka.

Ini pertama kalinya Kafka menjadi imam apalagi makmumnya adalah istrinya sendiri. Walaupun Kafka memiliki gaya hidup yang tidak baik tapi Kafka masih tetap menjalankan kewajibannya sebagai umat muslim.

Kafka tidak pernah melewatkan ibadahnya, mungkin Kafka dimata orang lain terlihat brengsek tapi ia tidak peduli dengan tanggapan orang lain perihal dirinya.

Impian Syafa terkabul-batin Syafa senang.

Mereka menjalankan ibadah shalat subuh dengan khidmat sampai selesai. Kafka berbalik menatap Syafa lalu mengulurkan tangannya membuat Syafa menatapnya tak percaya.

Tapi setelahnya Syafa menerima ulurannya dan mencium punggung tangan Kafka dan tersenyum sedangkan Kafka hanya memasang ekspresi biasa lalu kembali menghadap ke depan.

Kafka dan Syafa sama-sama menengadahkan tangannya berdoa pada sang pencipta.

Yaallah hamba sangat berterimakasih kepada engkau yang sudah memberi suami seperti Kafka. Hamba akui Kafka sedikit kasar dalam ucapannya namun hamba yakin bahwa dia adalah sosok yang sangat baik. Hamba beruntung karna engkau memilih Kafka sebagai suami hamba, hamba berdoa semoga hubungan kami tidak pernah putus kecuali maut yang memisahkan-batin Syafa berdoa.

Hamba tidak tau apa yang sedang terjadi, hamba tidak mencintai seseorang yang kini menjadi istri hamba. Hamba tidak tau apa hubungan kami akan berakhir atau bertahan. Apa yang engkau rencanakan? Kenapa engkau mempertemukan hamba dengannya. Hamba tidak ingin menyakiti perasaannya tapi hamba tidak bisa bersikap baik atau mencintainya. Hamba tidak akan memutuskan hubungan ini, hamba hanya ingin menikah sekali walaupun mungkin tidak ada cinta diantara kami. Beri hamba petunjuk untuk menjalani pernikahan ini, semoga hamba tidak mengecewakan siapapun-batin Kafka.

Aaamiinn

Mereka sama-sama bergumam amin setelah selesai berdoa, Kafka berdiri menoleh sekilas ke arah Syafa lalu melenggang pergi meninggalkannya.

Sedangkan Syafa segera membereskan mukenanya dan berjalan menghampiri Kafka yang kini tengah menonton televisi.

"Kafka aku nggak papa kan pake baju kamu?" ujar Syafa membuat Kafka menatap Syafa yang menggunakan kaos hitam panjang sedikit kebesaran dan celana joger juga rambutnya yang dicepol.

Kafka hanya bergumam lalu kembali memfokuskan pada televisi. Namun dilihatnya Syafa masih tak bergeming dari tempatnya seperti ingin mengatakan sesuatu.

"Eum.. Kafka kamu sekolah kan? Mau aku masakin apa?" tanya Syafa.

"Masuknya besok," jawab Kafka cuek dan Syafa hanya mengangguk-angguk saja.

"Terus mau sarapan apa?" tanya Syafa lagi membuat Kafka menoleh.

"Terserah."

"Kalo aku buatin racun emang kamu mau makan," goda Syafa membuat Kafka membelalakkan matanya.

"Becanda," ujar Syafa terkekeh pelan lalu berjaln menuju dapur sedangkan Kafka hanya menatap datar punggung Syafa.

Namun tak lama tiba-tiba Syafa kembali membuat Kafka menatapnya heran.

"Eum.. Tempat garamnya tinggi aku nggak nyampe, bisa tolong ambilin," pinta Syafa sedikit ragu menatap Kafka.

Kafka berdiri berjalan mendahului Syafa menuju dapur lalu Syafa mengikutinya dari belakang. Kafka mengambil garamnya lalu menyerahkan pada Syafa dan tanpa bicara Kafka melenggang pergi membuat Syafa mengerucutkan bibirnya.

"Kafka datar banget," gumam Syafa yang masih didengar oleh Kafka namun tak ia hiraukan.

Gausah dipikirin deh yang terpenting sekarang Syafa masak buat Kafka. Karna ini yang pertama kalinya jadi harus spesial-batin Syafa tersenyum senang.

•••

I'm Not A Good Boy || Terbit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang