28. Malu

28.1K 2.3K 18
                                    

Selamat Membaca
Jangan lupa tinggalkan jejak

•••

"Perut kamu masih sakit?" tanya Kafka menatap Syafa yang memegangi perutnya.

Bel istirahat berbunyi beberapa menit yang lalu sedangkan Kafka dan Syafa masih di dalam kelas karna Syafa yang mengeluhkan perutnya sakit.

"Kita ke uks aja," ucap Kafka dibalas gelengan lemah oleh Syafa.

"Kayaknya aku haid deh," lirih Syafa.

"Coba kamu berdiri."

"Hah?"

"Berdiri sayang," kata Kafka lalu Syafa pun berdiri.

"Bener, ada darah di belakang rok kamu," ucap Kafka membuat Syafa malu dan langsung duduk.

"Malu?" Kafka terkekeh melihat raut wajah Syafa.

"Aku suami kamu ngapain malu," bisik Kafka ditelinga Syafa.

"Jelas malu lah," lirih Syafa.

"Malunya dimana?"

"Ish! Tau ah!" kesal Syafa sedangkan Kafka terkekeh.

"Syafa!" panggil seseorang dari luar kelas.

"Itu suara Laras bukan?" tanya Syafa dibalas gumaman oleh Kafka.

"Kaf gue boleh masuk?" ujar Laras diangguki Kafka.

Laras melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas dan duduk di depan Syafa.

"Lo kok nggak masuk kelas?" tanya Laras menatap Syafa.

"Aku.."

"Dia pindah ke kelas gue," ucap Kafka lalu berdiri.

"Jagain Syafa bentar gue mau keluar," lanjut Kafka diangguki Laras.

"Mau kemana?" tanya Syafa.

"Beli yang kamu butuhin sekarang," jawab Kafka lalu melenggang pergi sebelum Syafa kembali berbicara.

"Kafka mau beli apa, Fa?" tanya Laras.

"Aku haid hari ini, perutku juga sakit banget. Kayaknya Kafka mau beli pembalut deh," jawab Syafa membuat Laras menganga.

"Seriusan Kafka mau beli itu?" kata Laras diangguki Syafa yang tersenyum kikuk.

"Lo apain Kafka bisa segitunya cinta sama lo," goda Laras terkekeh.

"Ish! Apaan! Enggak kok," kata Syafa malu-malu.

"Beruntung banget lo punya Kafka, walaupun datar gitu tapi gue yakin kalo sama lo dia romantis," tutur Laras tersenyum.

"Beda sama gue," lirih Laras.

"Gue udah lama banget suka sama Nahar Fa, tapi gue nggak berani ungkapin. Liat mukanya aja gue udah takut duluan, mukanya tuh nggak berekspresi hampir sama kaya Kafka," jelas Laras mengerucutkan bibirnya.

"Coba kamu ungkapin perasaan kamu," ucap Syafa dibalas gelengan cepat oleh Laras.

"Gue mana berani Fa, dia aja kaya nggak suka kalo liat gue."

"Emang kamu tau isi hati orang?" ujar Syafa.

"Ya nggak sih tapi kan mukanya datar banget Fa, sebenernya dia tuh bisa senyum nggak sih!" kesal Laras membuat Syafa terkekeh.

"Pengen banget gue tarik bibirnya melengkung ke atas biar senyum, kalo dia di depan gue pasti udah.."

Ekhem!

Deheman seseorang membuat Laras menegang dan dengan takut menolehkan kepalanya ke belakang.

Seketika Laras membelalakkan matanya melihat Nahar, Keno, Glen dan Yuri berdiri diambang pintu. Terutama Nahar yang bersedekap dada menatap Laras dengan datar.

Mampus-batin Laras.

Tak lama Kafka datang dan menatap heran ke arah sahabatnya, namun ia tak menghiraukannya lalu berjalan menghampiri Syafa. Kafka sempat melirik ke arah Laras yang menegang dengan wajah pucat.

"Ayo kekamar mandi," ajak Kafka membuat Syafa sedikit tersentak.

"Tapi aku.."

"Yang kamu butuhin udah ada semua," ucap Kafka.

"Tapi kan roknya," lirih Syafa.

"Eh!" Syafa tersentak saat tiba-tiba Kafka menggendongnya.

"Turunin," ujar Syafa memukul-mukul pelan bahu Kafka.

"Udah diem daripada jalan malu," kata Kafka lalu membawa Syafa keluar kelas.

Laras yang masih ditatap seperti itu oleh Nahar pun langsung berlari pergi dari kelas tak menghiraukan tatapan bingung dari sahabat-sahabat Kafka.

"Kenapa tuh cewek," gumam Glen mengernyitkan dahinya.

"Beruntung banget jadi Syafa," ujar Yuri menatap kepergian Kafka dan Syafa.

"Iyalah kalo lo si mana ada yang mau gendong," cibir Keno melirik Yuri.

"Lo kok sekarang ngeselin banget sih!" tukas Yuri memukul lengan Keno.

"Nggak tuh biasa aja," kata Keno dengan santainya.

"Awas lo," ancam Yuri menunjuk Keno.

"Awas apa?" tantang Keno mendekatkan wajahnya pada Yuri.

"Bau lo nggak usah deket deket!" ketus Yuri menjauhkan wajah Keno darinya.

"Pulang sendiri sono," ucap Keno membuat Yuri gelagapan.

"Yaampun Keno kok lo tega sih sama gue, jangan gitu lah sama sahabat sendiri juga," ujar Yuri bergelayut manja dilengan Keno.

Keno tersenyum penuh arti lalu melirik ke arah Yuri.

"Ada syaratnya," kata Keno membuat Yuri menatapnya.

"Apapun Ken gue lakuin," ucap Yuri dengan semangat.

Nahar dan Glen yang malas mendengarkan mereka berdua pun masuk ke dalam kelas.

"Apa syaratnya?" desak Yuri karna Keno tak mengucapkan apapun.

"Cium gue," ucap Keno menaik turunkan alisnya dan menunjuk pipi kanannya.

"Ogah!" Yuri melepas tangannya dari lengan Keno.

"Yaudah kalo nggak mau," ujar Keno hendak masuk kelas tapi dicekal Yuri.

"Ya-yaudah gue mau," ucap Yuri membalikkan tubuh Keno dan mendekatkan bibirnya pada pipi Keno.

Belum sempat bibirnya menempel Keno lebih dulu menahan bahu Yuri.

"Nggak usah," kata Keno menatap Yuri.

"Lo jangan sedih aja gue udah seneng, nggak usah pikirin apa yang udah terjadi," lanjut Keno tersenyum.

"Kok lo jadi romantis gini sih, Ken," ujar Yuri tersenyum malu.

"Baperan lo, cium gue," ucap Keno sedangkan Yuri mengubah ekspresi malunya menjadi menganga menatap Keno.

"Lo bilang nggak usah," kata Yuri memukul bahu Keno.

"Nggak usah dipipi langsung dibibir, cepetan," desak Keno membuat Yuri mendengus kesal.

"Nggak mau!"

"Orang kalo diajak silaturahmi itu harus mau, nggak baik kalo nolak," ujar Keno menunjuk.

"Silaturahmi apaan?" tanya Yuri bersedekap dada.

"Silaturrahmi bibir lah sayang," jawab Keno menyengir.

"Ciuman sama sapi sono!" tukas Yuri meninggalkan Keno masuk ke dalam kelas.

"Abis dong bibir gue, nggak kebayang gue ciuman sama sapi. Bisa pala-palanya sekalian masuk," gumam Keno begidik ngeri memegangi bibirnya.

•••

I'm Not A Good Boy || Terbit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang