27. Sesuatu Yang Ditutupi

29.4K 2.4K 29
                                    

Selamat Membaca
Jangan lupa tinggalkan jejak

•••

Hari ini Karina dan Hafidz berkunjung ke apartemen Kafka setelah beberapa bulan pergi ke luar kota karna urusan pekerjaan. Orang tua Kafka sudah mengetahui tentang Syafa yang buta karna kecelakaan.

"Apa kamu sudah mencarikan donor mata untuk Syafa?" tanya Hafidz.

"Udah Pah, tapi dari pihak rumah sakit belum menemukan," jawab Kafka menatap Hafidz.

"Kamu yang sabar, pasti Syafa mendapatkan donor mata," kata Hafidz tersenyum lalu menatap Karina yang datang duduk di sampingnya.

"Syafa mana?" tanya Kafka.

"Biarin dia istirahat Mamah nggak mau ganggu," jawab Karina diangguki Kafka.

"Lalu bagaimana kondisi kamu? Apa kamu rutin.."

"Pah, Kafka baik-baik aja," sela Kafka menatap Hafidz.

"Kafka," panggil Karina lembut.

"Apa Syafa belum mengetahuinya?" tutur Karina dibalas gelengan oleh Kafka.

"Kafka nggak mau nambah beban pikiran buat Syafa, Mah," lirih Kafka menunduk.

"Apa kamu sudah mencintainya?" ujar Hafidz membuat Kafka mendongak.

"Papah rasa sudah."

"Syafa perlu mengetahui ini Kafka." Karina menatap Kafka membuat Kafka menghembuskan nafasnya pelan.

"Kafka pasti kasih tau, Mah."

"Sampai kapan kamu menyembunyikan ini padanya, cepat atau lambat dia pasti tau." Karina kembali berucap.

"Seenggaknya sampe Syafa bisa liat lagi, kalo Kafka kasih tau sekarang Kafka takut itu malah buat kesehatannya memburuk," ucap Kafka.

"Baiklah jika itu mau kamu," ujar Karina tersenyum kecil.

"Lalu kebiasaan kamu merokok apa masih?" tanya Hafidz.

"Kadang Pah paling kalo lagi kumpul," jawab Kafka.

"Hentikan kebiasaan kamu itu," tegas Hafidz sedangkan Kafka hanya menatapnya sekilas.

Beberapa menit mereka mengobrol dan sekarang Hafidz dan Karina pulang ke rumah. Kafka menghampiri Syafa yang masih tertidur dikamar.

"Maaf gue nggak bisa kasih tau sekarang," kata Kafka mengusap lembut kepala Syafa.

"Suatu hari lo pasti tau," lanjutnya.

***

"Hari ini aku nggak usah sekolah," ucap Syafa membuat Kafka yang sedang memakai seragam menatapnya.

"Kenapa?" tanya Kafka.

"Aku nggak bisa liat Kafka, buat apa aku sekolah, yang ada aku nyusahin kamu dan orang disana," lirih Syafa lalu Kafka menghampirinya dan duduk di sampingnya.

"Kamu mau kan kalo nggak ngerepotin orang lain," ucap Kafka diangguki Syafa.

"Kalo gitu aku bilang ke kepala sekolah pindahin kamu ke kelas aku," tutur Kafka membuat Syafa terkejut.

"Ngaco deh kamu, mana mungkin segampang itu," ucap Syafa.

"Apapun bisa aku lakuin, siapa yang berani cegah," kata Kafka mengecup singkat pipi Syafa.

"Tapi kan.."

"Pilih berangkat sekolah atau gausah berangkat kita main disini sampe malem," ancam Kafka tersenyum smirk sedangkan Syafa membelalakkan matanya.

"Sekolah aja," jawab Syafa cepat membuat Kafka terkekeh.

"Ya-yaudah kamu u-udah siap kan," kata Syafa gugup.

"Kayaknya kita dirumah aja deh," ujar Kafka membuat Syafa menggeleng cepat dan langsung berdiri.

"Se-sekolah aja Kafka, sekolah itu penting."

"Oh ya." Kafka ikut berdiri di samping Syafa dengan melipat tangannya didada.

"I-iya."

"Buat Kafka kecil juga penting," ucap Kafka mengalungkan tangannya dileher Syafa sedangkan Syafa dibuat salah tingkah karna perbuatan Kafka.

"I-itu juga penting, tapi sekolah dulu," kata Syafa.

"Serius?" ujar Kafka tepat diwajah Syafa membuat Syafa mengangguk kaku.

"Tapi kan enakan di.."

"Kafka ayo berangkat nanti telat," potong Syafa cepat membuat Kafka terkekeh.

"Nggak usah malu," bisik Kafka yang malah membuat Syafa malu.

Kafka tersenyum melihat raut wajah Syafa lalu menautkan jarinya pada jari Syafa dan membawanya keluar apartemen.

"Tongkatnya jangan lupa," kata Kafka menyerahkan tongkat untuk membantu Syafa berjalan.

"Makasih," ujar Syafa tersenyum.

Beberapa menit akhirnya mereka sampai di sekolah. Kafka membantu Syafa keluar dari mobil dan mereka berjalan beriringan dengan Kafka yang menuntun Syafa.

"Kafka," panggil Syafa pelan.

"Apa?" ujar Kafka menoleh.

"Mereka pasti liatin aku kan," lirih Syafa sedangkan Kafka menatap sekitarnya.

"Nggak ada yang pernah berani liatin kamu sayang," bisik Kafka ditelinga Syafa.

"Jangan dipikirin." Kafka mengusap lembut kepala Syafa membuatnya mengangguk dan tersenyum.

***

"Pagi Boss," sapa Keno mendekati Kafka.

"Eh Syafa! Lo disini?" ujar Yuri menatap Syafa yang tersenyum.

"Sasya," panggil Agas menghampiri Syafa.

"Kelas Sasya kelewatan kali," ujar Agas menatap Kafka.

"Sekarang dia pindah dikelas gue," ucap Kafka membuat Agas terkejut.

"Santai aja Gas, gue sama Glen dulu aja nggak satu kelas. Gue yang minta sama Boss biar bareng," kata Keno menyengir.

"Gue juga dong, Kaf," ujar Agas menyengir menatap Kafka.

"Ada urusan apa lo?" Kafka menatap Agas dengan bersedekap dada.

"Gue mau jagain Sasya."

"Permintaan lo nggak gue terima," kata Kafka lalu menggandeng Syafa masuk ke dalam kelas meninggalkan Agas yang menganga.

Nahar dan Glen hanya geleng-geleng kepala dan ikut masuk ke dalam kelas.

"Sakit banget ditolak," ujar Keno mengejek.

"Sakit banget ditolak." Yuri mengikuti nada Keno dengan memegangi dadanya.

"Ngeselin lo berdua!" tukas Agas meninggalkan Keno dan Yuri yang terkekeh.

"Ngapain lo?" ujar Keno melirik Yuri.

"Apa?"

"Ngapain lo pegangin dada lo, kecil juga," cibir Keno lalu meninggalkan Yuri yang menganga.

"Ngeselin lo Keno!!" teriak Yuri sedangkan Keno terkekeh.

•••

I'm Not A Good Boy || Terbit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang