14. Pengganggu

40.7K 3.3K 174
                                    

Selamat Membaca
Jangan lupa tinggalkan jejak

•••

Kafka merebahkan Syafa dengan hati-hati lalu hendak beranjak pergi tapi dicekal oleh Syafa.

"Jangan tinggalin Syafa sendirian," lirih Syafa menatap Kafka.

"Gue mau ganti baju," kata Kafka.

Lalu Syafa melepas cekalan tangannya dengan segera Kafka masuk ke kamar mandi. Setelahnya Kafka keluar dan menghampiri Syafa dengan membawa air di dalam wadah dan kain.

"Kafka mau kan maaffin," kata Syafa melihat Kafka duduk disisi ranjangnya memegang wadah berisi air.

"Lo nggak usah bilang maaf terus, itu ngebuat gue ngerasa bersalah karna semalem udah marah-marah sama lo," tutur Kafka mengusap lembut kepala Syafa.

"Buka dulu krudungnya, gue mau kompres," ucap Kafka meletakkan wadahnya dan membantu Syafa membuka kerudung.

"Kancingnya.. Dibuka nggak papa," ujar Kafka ragu melihat kancing gamis Syafa yang menutup sampai atas leher.

Syafa mengangguk lalu membuka kancingnya namun saat membuka kancing keempat Kafka menghentikannya.

Setelah itu Kafka mendekat dan membasahi kain lalu mengompres dahi Syafa dan beralih mengelap leher Syafa yang berkeringat. Kafka terus mengulanginya dengan telaten juga pelan.

"Syafa ngerasa gerah banget," ujar Syafa mendudukkan dirinya.

"Gue panggil dokter ya?" kata Kafka melihat wajah Syafa yang pucat.

"Nggak mau."

"Kalo lo nggak mau, panas lo nggak bakalan turun," tutur Kafka.

Namun Syafa tak menghiraukan ucapan Kafka, ia malah membuka kancing gamisnya lagi.

"Lo mau ngapain?" ujar Kafka membuat Syafa mendongak menatapnya.

"Panas." Syafa mulai membuka kancingnya kembali.

"Diem dulu biar gue ambilin baju buat lo," tutur Kafka lalu beranjak mencari piyama untuk Syafa.

"Nih sekarang ganti." Kafka menyerahkan piyama pada Syafa.

Syafa mengambilnya dan mulai membuka gamisnya.

"Lo mau ganti disini?" tanya Kafka menatap Syafa yang membuka gamisnya.

"Syafa lemes kalo mau jalan kekamar mandi," jawab Syafa.

"Gue gendong," ujar Kafka tapi Syafa menggelengkan kepalanya.

"Yaudah gue keluar," kata Kafka beranjak berdiri.

"Kenapa keluar?" tanya Syafa membuat Kafka menoleh.

"Tenang aja Syafa pake daleman kok," ujar Syafa dan Kafka mengangguk lalu berbalik memunggungi Syafa.

"Udah belum?" tanya Kafka.

"Bentar lagi," jawab Syafa masih berkutat dengan piyamanya.

"Udah," ujar Syafa lalu Kafka berbalik melihat Syafa yang sudah mengenakan piyamanya.

Kemudian Kafka mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada Nahar untuk membelikan obat demam.

"Lo tidur dulu, nunggu Nahar kesini pulang sekolah," kata Kafka.

"Oh iya maaf ya gara-gara aku kamu nggak sekolah," tutur Syafa tak enak.

"Lo juga bolos kali."

"Kan Syafa sakit," ujar Syafa mengerucutkan bibirnya.

"Gausah gitu bibirnya mau gue cium," ucap Kafka membuat Syafa berbinar.

"Boleh," ujar Syafa terkekeh pelan.

"Gausah ngarep!" ketus Kafka memalingkan wajahnya.

"Syafa yakin suatu saat nanti pasti Kafka mau cium Syafa. Buktinya kemaren Kafka nyuruh Syafa cium lehernya Kafka kan? Puasanya Syafa kan jadi batal," tutur Syafa membuat Kafka menoleh.

"Kepedean lo, yang kemaren gue khilaf" kata Kafka menatap Syafa.

"Itu tandanya Kafka udah cinta sama Syafa iya kan?" ujar Syafa menaik turunkan alisnya menggoda dan menunjuk Kafka.

"Ck, halu lo, udah tidur," ujar Kafka membantu membaringkan Syafa.

"Kafka juga ikut tidur dong," ujar Syafa.

"Sekali ini aja ya, Syafa pengen tidurnya dipeluk," lanjut Syafa memohon.

"Boleh yah, Kafka boleh yah," pinta Syafa menggoyang-goyangkan lengan Kafka.

Kafka berdecak pelan lalu ikut berbaring di samping Syafa membuat Syafa tersenyum senang. Lalu Kafka menarik Syafa dan memeluknya menyandarkan pipinya didadanya.

"Makasih," ujar Syafa mengeratkan pelukannya.

Syafa merasa sangat nyaman dipeluk Kafka dengan tangan Kafka yang mengusap lembut kepala dan punggungnya.

"Syafa mau nanya deh," ujar Syafa dibalas gumaman oleh Kafka.

"Kafka kan laki-laki.."

"Lo ngeraguin gue," potong Kafka.

"Bukan dengerin dulu," ujar Syafa.

"Dimeja rias ada foundation itu buat apa?" tanya Syafa.

"Lo lupa gue punya tato dileher," kata Kafka.

"Terus?"

"Ya gue pake itu buat nutupin tato gue, kalo guru-guru atau ada murid lain tau gue bisa dikeluarin dari sekolah," ucap Kafka.

"Serius?" ujar Syafa mendongak.

"Nggak gue boong," balas Kafka malas sedangkan Syafa malah terkekeh.

Dengan gemas Syafa mencubit kedua pipi Kafka, lalu mendekatkan wajahnya.

Cup

Syafa mengecup singkat pipi Kafka membuat Kafka diam dan menghentikan usapan lembut dipunggung dan kepala Syafa.

"Ups! Sorry," ujar Syafa menyengir lalu kembali membenamkan wajahnya didada Kafka.

"Lo berani sentuh gue?" ucap Kafka membuat Syafa gelagapan.

"Maaf," lirih Syafa.

Kafka berdecak lalu dengan gerakan cepat mengubah posisi menjadi Syafa yang berada di bawahnya.

"Lo berhak atas gue begitupun sebaliknya," ucap Kafka menatap dalam Syafa yang diam mencerna ucapan Kafka.

"Gue udah jadi milik lo dan lo udah jadi milik gue. Penuhi kewajiban lo sebagai istri, kapan pun gue minta lo harus siap," lanjut Kafka membuat Syafa menelan salivanya kasar.

"A-aku lagi sakit kamu serius mau.."

"Kenapa enggak," ujar Kafka menyeringai.

Kafka menatap lekat Syafa lalu beralih menatap bibirnya, ia memiringkan kepalanya dan mengikis jarak antara dirinya dan Syafa. Hampir sedikit lagi bibirnya menempel dan Kafka memejamkan matanya.

"Boss lo didalem!"

•••

Luluh juga kan 😒, awas kalo bikin Syafa baper terus disakitin lagi 🙄

I'm Not A Good Boy || Terbit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang