Semakin besar cinta kita untuk seseorang, maka harusnya semakin besar pula kepercayaan.
-----
Waktu menunjukkan pukul tujuh ketika Nuca mengirimkan pesan teks pada Tiara. Mengabarkan ia akan segera pulang. Tiara yang sejak tadi sudah berada di unit Nuca, menyempatkan mengecek sekali lagi meja makan dengan empat kursi di unit Nuca. Semuanya sudah siap. Beef teriyaki favorit Nuca, dan coleslaw yang masih segar dengan thousand island di atasnya. Mungkin nanti, ketika Nuca mandi, masakan buatannya akan ia panaskan lagi. Begitu rencana Tiara.
Sementara menunggu Nuca, Tiara men-scroll ponselnya. Ia bersandar santai di sofa. Membuka sosial media-nya, mengecek jadwal untuk esok hari, membuka web beberapa merk baju, tas, sepatu, atau perhiasan terbaru yang dikeluarkan, atau email penawaran barang-barang kesukaannya itu.
'Ting-tong.' Bunyi bel membuat Tiara segera berlari antusias ke arah pintu. Membukakan pintu untuk siapa lagi kalau bukan sang pemilik unit yang sudah ditunggunya.
"Hh..hai." Tiara menyapa ragu ketika melihat air muka Nuca yang menurutnya berbeda.
Nuca masuk begitu saja, melewati Tiara yang terpaku di dekat pintu. Ia berhenti tepat di dekat sofa. Kemudian berbalik menatap tajam Tiara.
Tiara yang masih bingung, tak bergerak sama sekali. Apakah Nuca sebegitu lelah sampai tak sempat mengucap salam sama sekali, bahkan ia masuk tanpa menatap Tiara sama sekali. Tak ada sapaan, pelukan hangat, ataupun kecupan manis yang biasa Nuca berikan ketika mereka bertemu.
Tiara segera menghilangkan pikiran buruknya. Menutup pintu unit Nuca dan kemudian berjalan mendekat. Demi apapun Tiara tidak mengerti ekspresi apa yang tengah Nuca tunjukkan. Atau ia hanya tak bisa berpikir? Entahlah. Yang jelas Tiara tak berani mendekati Nuca, ia berhenti di jarak satu meter. Nuca tampak membangun dinding imajiner dengan ekspresinya yang tak bisa Tiara tembus. Auranya terlalu berbeda hingga Tiara merasa tak mengenalinya. Untuk membuka suarapun Tiara sudah tak sanggup.
Perlahan tangan Nuca naik, menunjukkan sebuah amplop berwarna cokelat yang sudah terbuka. Disobek bagian atasnya. Nuca mengeluarkan isinya, melempar amplop itu sembarangan.
"Ini apa, Ra?" Hanya itu yang diucapkannya.Suaranya rendah namun tajam. Cukup untuk menembus ke otak Tiara, ada sesuatu yang tak beres yang akan menimpanya. Benar saja, berlembar-lembar foto yang tercetak, yang dikeluarkan Nuca dari amplop itu dilemparkannya ke arah Tiara. Praktis kertas itu beterbangan di sekitar Tiara, jatuh di kakinya. Ia menunduk, mencoba mencari tau foto apa yang dilemparkan Nuca. Mencoba menepis rasa sakit atas apa yang dilakukan Nuca barusan. Nuca tidak pernah sama sekali sekasar ini padanya.
Tiara terkesiap, matanya terbelalak ketika melihat sekilas salah satu foto teratas. Ia berjongkok, mengambil beberapa lembar foto yang bisa diraihnya agar bisa melihat dengan jelas foto siapa yang tercetak di kertas itu.
Kakinya melemah seketika. Tangannya gemetar. Mulutnya terbuka tak percaya. Diamatinya foto itu satu per satu. Otaknya tampak tak mampu berpikir lagi. Setetes air mata jatuh di sudut matanya.
Foto itu. Orang di dalam foto itu adalah Gio. Dan seorang perempuan persis dirinya. Dalam berbagai pose. Terlihat tengah menikmati waktu bersama di ruangan yang temaram, seperti di sebuah klub malam. Ia melihat lagi foto-foto itu. Dari pose yang terbilang wajar, hingga yang menurutnya sangat tidak mungkin dilakukannya dengan Gio.
"Nnn..Nnuuuc. Ii..iiiinn..iinnnii." Tiara terbata. Sungguh tak bisa menjelaskan apapun pada Nuca. Air matanya berjatuhan. Ia masih tak mampu mencerna apa yang sedang terjadi padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Second Chance
FanfictionTiara melihat kembali lembaran kertas di dalam map yg tadi diserahkan Arin, sekretaris kak Ciara. Dipastikannya kembali, berulang kali. Raja Giannuca Bramanta. Benar nama itu yang tertulis di bagian tengah kertas. Menjelaskan bahwa pemilik nama akan...