Kali ini, bukan lagi luka yang digoreskannya. Entah bagaimana raga yang hidup tanpa hati yang utuh lagi.
-----
Sejak tadi malam, Ciara dan Dania lebih banyak terjaga. Mengawasi Tiara yang sesekali bergerak tak nyaman dalam tidurnya. Hingga tiba waktu subuh, ia demam cukup tinggi. Pagi sekali Ciara dan Dania berinisiatif memanggil dokter pribadi mereka untuk mengecek kondisi Tiara. Keduanya juga memutuskan untuk membiarkan dokter memasang infus di tangan Tiara karena ia belum mengkonsumsi apa-apa sejak tadi malam.
Meskipun begitu, Tiara bersikeras agar Ciara dan Dania tetap ke kantor saja. Ia merasa mampu melakukan aktivitas sendiri di unit Ciara. Ya, sejak tadi malam ia belum kembali sama sekali ke unitnya. Karena itu pula Ciara kemudian menyiapkan beberapa jenis masakan agar Tiara bisa mengkonsumsinya ketika jam makan tiba.
Ciara tersenyum melihat masakan yang ia siapkan di tudung saji sedikit berkurang. Begitupun sliced cake di kulkas, salah satu dessert favorit Tiara berkurang sedikit. Artinya Tiara sudah mau makan, perutnya sudah cukup terisi.
Ciara dan Dania memang sudah cukup dewasa menyikapi situasi ini. Keduanya sama sekali tak menuntut Tiara untuk segera bercerita soal kejadian yang menimpanya. Mereka berdua memilih untuk membiarkan Tiara siap dengan sendirinya. Keduanya memilih untuk menunggu waktu yang tepat. Memilih untuk menunjukkan kasih sayang mereka pada Tiara, tanpa banyak kata.
Berbeda dengan Ziva yang masih terpaku melihat kondisi Tiara. Meskipun suhu tubuhnya sudah turun, jarum infus masih menancap di tangannya. Cairannya tinggal setengah, tergantung di tiang tepat di sebelah sofa. Tiara pun sudah mampu duduk sekarang. Meskipun begitu, masih terlihat sisa tangisnya. Matanya yang bengkak, merah, dan sesekali terdengar napasnya masih berat.
Tak lama kemudian Keisya datang bersama Axell. Masih dengan pakaian kerja. Tak berbeda dengan Ziva. Keisya langsung menghampiri Tiara, duduk di sisinya. Ketiga sahabat itu terdiam. Terlebih Keisya dan Ziva yang tak tau harus berbuat apa. Mereka berdua tau, Tiara paling tidak suka dikasihani.
"Kei, Ziv. Kenapa?" Tiara membuka suara. Masih tercekat, sendu. Suara pertama yang didengar Keisya sejak kejadian tadi malam.
Runtuhlah pertahanan Keisya dan Ziva. Tangis keduanya pecah, membuat Ciara dan Dania menghampiri ketiganya. Axell, Andra, dan Diaz berdiri terpaku melihat tiga sahabat itu berpelukan. Tangis ketiganya pecah seketika. Terlebih Axell, ada rasa marah menghampirinya. Melihat tangis Tiara yang disebabkan oleh kelakuan Nuca.
Selang beberapa menit kemudian, tangis ketiganya mereda.
"Ssstttt. Udah ya. Jangan bikin aku nangis lagi." Tiara mengusap kedua matanya.Keisya dan Ziva memandang Tiara intens. Dalam hati mengagumi betapa kuatnya Tiara. Mengagumi usahanya, hingga terlihat lebih baik hari ini.
---
"Kenapa nggak ngebela diri, Ti?" Axell tampak berdiri tak tenang. Terlalu banyak amarah di dadanya setelah mendengar cerita Tiara barusan.
"Dia nggak ngasih aku kesempatan sama sekali, kak. Sama sekali. Setelah bilang gitu, dia langsung keluar. Ninggalin aku." Ucap Tiara lagi.
"Bego banget sih, Nuca! G*blok!" Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Axell. Amarahnya begitu kentara.
Keisya berdiri, menghampiri Axell yang tampak gusar. Mengusap punggungnya beberapa kali, membisikkan beberapa kata, mencoba menghilangkan amarah Axell.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Second Chance
FanfictionTiara melihat kembali lembaran kertas di dalam map yg tadi diserahkan Arin, sekretaris kak Ciara. Dipastikannya kembali, berulang kali. Raja Giannuca Bramanta. Benar nama itu yang tertulis di bagian tengah kertas. Menjelaskan bahwa pemilik nama akan...