Pada akhirnya, keputusan tergesa akan menciptakan penyesalan.
-----
"Udah berhasil ngomong sama Tiara?" Axell memulai pembicaraan.
Sore sepulang kantor, Axell menjemput Keisya. Mengajaknya ikut ke apartemen Nuca. Axell lebih banyak berada di apartemen akhir-akhir ini. Ia berniat mengawasi sang adik yang tampak perlu teman. Keisya yang tak mau jadi perempuan satu-satunya mengajak Ziva ikut. Yang tentu saja tak keberatan. Ziva juga akhirnya mengajak Sam. Hitung-hitung menghibur Nuca.
Nuca menggeleng. Ia bersandar di sofa. Kemeja kerjanya sudah cukup berantakan.
"Dia sibuk terus, sungkan aku mau gangguin.""Ya bukan gangguin lah, Nuc. Elo mah. Ginian tuh harus cepet dilurusin." Ujar Sam.
"Tinggal satu gedung gini, kenapa nggak lo samperin aja sih ke unitnya, Nuc? Dia masih di sini kan? Nggak tiba-tiba pindah kan?" Keisya tampak geregetan sendiri. Kenapa Nuca tiba-tiba jadi agak lelet pikirnya.
"Nuc, gue bukan mau bikin lo patah semangat nih ya. Cuma ini gue. Gue kalo jadi Tiara, gue males ngomong lagi sama elo. Elo juga sih, bukan didengerin dulu malah ditinggal. Kalo gue ada di situ, abis lo gue remukin." Ziva mengungkapkan kekesalannya.
"Ziv, heh. Buset. Sadis amat." Tegur Keisya.
"Ya abis kesel gue." Tangan Ziva menyilang di dadanya.
"Tiara tuh dituduh ngelakuin hal yang nggak dia lakuin loh. Disakitin fisiknya, hatinya. Nggak didengerin, ditinggal gitu aja lagi. Nggak paham gue jalan pikirannya Nuca."Nuca terdiam. Ziva benar. Dan ia tak punya pembelaan untuk itu.
Sesaat kemudian, Ziva tampak menatap Nuca iba.
"Nuc, gue tau ya, paham banget cinta lo ke Tiara itu segitu gedenya. Tiara juga sama. Level cinta lo berdua tuh udah nggak terjangkau. Bedanya, dia belajar sedangkan lo enggak." Nada kesal Ziva hilang.
"Dan lo harusnya sadar juga. Semakin besar cinta lo ke dia, semakin banyak juga yang harus lo sadari. Semakin besar harusnya kesabaran lo. Semakin banyak yang harus lo pahami. Nggak cuma cemburu yang jadi masalah dalam hubungan. Tapi rasa sayang juga, kalo lo emang nggak bisa ngontrol efek rasa sayang lo ke dia. Bisa jadi bumerang gitu buat lo sendiri."Keisya, Axell, dan Sam melongo mendengar penuturan Ziva barusan. Si ceria ini bisa terlihat begitu dewasa.
"Lo sayang sama dia, cinta sama dia, selain pake hati, pake logika juga. Jalan beriringan gitu. Lo liat sendiri Tiara biasanya gimana. Dia suka cemburu sama cewek-cewek yang ganjen sama lo di depan mata dia, tapi dia nanya ke elo kan? Dia komunikasiin ke elo. Beberapa kali loh. Nah elo kenapa baru dikasi foto nggak jelas pengirimnya gitu doang, ngamuk nggak karuan? Nyakitin dia. Nggak mikirin perasaannya dia."
Nuca masih diam. Merenungi apa yang dikatakan Ziva. Mulai mengurai satu per satu kesalahannya. Memahami sudut pandang lain.
"Pertanyaan gue kapan hari belum dijawab. Elo mikir apa sih sebenernya sampe nggak ngajak Tiara pacaran juga kemarin?" Tanya Keisya.
"Nah ini, gue juga bingung deh, Nuc. Elo tuh sok-sokan protektif, cemburu buta gitu sama Tiara. Lupa ya lo kalo elo bahkan belum jadi pacarnya dia?" Sambung Ziva lagi.
Nuca masih diam. Tampak mencari kata yang tepat untuk menjawab.
"Gue... gue pikir nggak perlu, Ziv. Gue pikir cukup dengan kayak gitu, ya Tiara tau aja. Mikirnya dia ngerti aja kalo gue emang mau lanjut sama dia." Jawab Nuca.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Second Chance
FanfictionTiara melihat kembali lembaran kertas di dalam map yg tadi diserahkan Arin, sekretaris kak Ciara. Dipastikannya kembali, berulang kali. Raja Giannuca Bramanta. Benar nama itu yang tertulis di bagian tengah kertas. Menjelaskan bahwa pemilik nama akan...