Mungkin kali ini cara Tuhan berbeda, dibiarkan-Nya aku melihat sendiri buktinya.
-----
Tiara duduk berhadapan dengan Mahalini di sebuah coffee shop di kawasan Senopati. Ia memilih tempat yang sedikit berjarak dengan kantor untuk meminimalisir kemungkinan Nuca akan datang ke tempat yang sama. Dan tepat seperti dugaannya, Mahalini akan membicarakan soal Nuca. Tak mungkin membicarakan orang di tempat dimana orang tersebut bisa muncul kapan saja bukan?
"Nuca nggak bilang ke kamu?" Mahalini mengawali obrolan keduanya.
"Soal?"
"Dia sama aku."
Kening Tiara seketika berkerut, masih tak menangkap maksud perbincangan ini. Kepalanya menggeleng pelan.
Mahalini tersenyum miring.
"Aku ditolak sama dia, Ti.""Ditolak? Maksudnya? Kamu nembak dia duluan gitu?" Kepolosan Tiara muncul.
"Bahkan aku belum ngomong ke dia sejauh itu. Aku cuma bilang ke dia, buat ngasih kesempatan ke aku bisa deket sama dia."
Tiara menatap Mahalini. Mengisyaratkannya untuk meneruskan kalimatnya.
"Deket aja padahal. Tapi dia bilang, dia bisa aja deket sama aku, kalo tujuanku adalah berteman. Kalo lebih dari itu, dia nggak mau. Dia nggak mau ngasih harapan palsu. Dan dia paham banget niat aku pasti lebih dari itu." Mahalini menerawang, terlihat jelas kesedihan di sorot matanya.
"Nuca bilang gitu ke kamu?"
Mahalini mengangguk.
"Dia bilang ke aku, mungkin kamu sama dia emang belum ada hubungan yang jauh sekarang. Tapi ada sesuatu di antara kalian yang nggak bisa bikin kalian balik jadi temen biasa aja. Pilihannya cuma maju pacaran serius atau mundur jadi rekan kerja biasa, totally professional. Dan dia nggak akan milih opsi kedua. Dia bilang akan berusaha semampu dia untuk opsi pertama. Sampai situasi emang nggak mengizinkan, sampai dia ngerasa nggak mampu lagi buat berjuang." Terang Mahalini.
"Dan aku bisa liat sorot matanya, Ti. Dia serius banget ngomong gitu. Bahkan waktu aku bilang aku bisa nunggu sampai dia nyerah, dia berkeras nolak. Dia bilang, dia nggak mau ngasih aku harapan nggak jelas. Karena niat dan tujuannya dia pasti, kamu. Yang ada di hatinya juga cuma kamu. Aku bisa liat ekspresinya yang berubah-ubah kalo lagi ngomongin kamu. Matanya berbinar kalo lagi muji kamu, tapi bisa langsung sedih kalo lagi inget dia udah bikin kesalahan ke kamu. Segitu besarnya ternyata pengaruh kamu buat dia."Tiara terpaku mendengar penjelasan Mahalini barusan. Rasa bersalah menelisik hatinya mengingat ada kebohongan kecil yang ia katakan pada Mahalini beberapa waktu lalu.
"Aku nggak nyangka aja, Ti. Kamu segitu istimewa di hidupnya. Aku nggak tau apa aja yang pernah kalian lewatin bareng. Selama apa kalian saling kenal. Aku pikir Nuca sama kamu kayak orang kebanyakan. PDKT-nya biasa aja gitu. Tapi ternyata nggak sesederhana itu. Aku juga mikir, aku bakalan susah saingan sama kamu karena kalian berasal dari golongan yang sama. Tapi ternyata bukan itu. Ada sesuatu yang aku nggak paham dari kalian, koneksi yang terlalu erat, rasa yang terlalu dalam yang aku nggak akan ngerti. Naif banget ya aku?" Mahalini mencoba tersenyum, getir.
"Aku sama Nuca sedang nggak baik-baik aja, Lin. Itu faktanya. Maaf karena kemarin bilang kalo aku sama dia nggak ada apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Second Chance
FanfictieTiara melihat kembali lembaran kertas di dalam map yg tadi diserahkan Arin, sekretaris kak Ciara. Dipastikannya kembali, berulang kali. Raja Giannuca Bramanta. Benar nama itu yang tertulis di bagian tengah kertas. Menjelaskan bahwa pemilik nama akan...