12. Tanya Hati

1K 97 22
                                    

Meluluhkan hati mungkin berarti membuang sia-sia hal yang pernah begitu ku yakini selama ini.

-----

Tiara memandangi rangkaian bunga dalam vas cantik yang ia letakkan di meja sudut ruang tengah apartemennya. Tepat di samping jendela yang menghadap ke balkon. Sebuah kartu kecil yang tadi menempel di buket bunga itu ia letakkan di sisi vas.

Senyumnya mengembang lagi. Suasana hatinya memang masih tak karuan. Ia terlalu bingung dengan semua fakta yang diketahuinya. Namun tak bisa dipungkirinya, banyak hal yang bisa memperbaiki suasana hatinya hari ini. Termasuk bunga yang sedang dipandanginya dan si pemberi bunga sendiri.

Kalau mau jujur, seharian Tiara mencoba berkonsentrasi pada pekerjaannya. Pikirannya terlalu penuh. Bertanya-tanya apa yang seharusnya dilakukannya. Dan bodohnya, salah satu hal yang mampu mengobati dari peliknya pikirannya sendiri adalah melihat Nuca dari ruangannya sendiri.

Berkali-kali Tiara mencoba menahan diri untuk tidak mengarahkan pandangannya ke arah ruangan laki-laki itu. Berkali-kali pula ia gagal. Maka berkali-kali pula ia harus ekstra hati-hati ketika memandangi Nuca. Ia tidak mau tertangkap basah sedang melakukannya. Apalagi oleh objek pandangannya. Terlalu gengsi memang.

Dan sejak ia menerima buket bunga cantik itu, senyumnya semakin sulit disembunyikan. Berapa kali ia menatap buket bunga itu, sebanyak itu pula ia mencoba melihat ke ruangan sebelahnya. Keinginannya menatap Nuca lebih lama makin sulit untuk dibendung. Entah ia penasaran apakah benar Nuca yang memberikannya, atau memang ia ingin memastikan keadaan Nuca.

'Ting..tong..'

Tiara tersentak mendengar bel pintu dibunyikan. Ia pun segera membukakan pintu. Mempersilahkan masuk dua sahabatnya yang akan menemaninya jum'at malam kali ini.

---

"Trus? Lo maunya gimana, Tiara?" Suara Keisya terdengar sedikit kesal.

"Gue nggak tau, Kei. Nggak ngerti." Airmata Tiara meluncur mulus di kedua pipinya.
"Gue nggak ngerti kenapa dia harus datang lagi ke hidup gue. Gue udah tenang, udah mulai bisa terima apa yang terjadi lima tahun lalu. Udah susah buat gue bertahun-tahun nyembuhin luka gue sendiri. Berusaha buat nggak peduli, nggak nyari dia, ngelawan keinginan gue sendiri. Kenapa dia dateng lagi? Gue capek, capek banget mikirnya." Lanjutnya.

"Ti, tapi kan dia ngejelasin semua ke elo. Apa yang jadi pertanyaan lo selama ini udah kejawab. Jadi apa lagi, Ti?" Tanya Keisya.

"Lo ngerti nggak sih, gimana rasanya udah berhasil nyembuhin luka lo, udah lupa sama yang bikin lo sakit. Trus dia dateng lagi? Mau ngapain? Mau buka luka lagi?!" Kesel gue.

"Nuca nggak bakal mikir sejauh itu mau buka luka lama elo lagi, Ti. Yakin gue. Dia mah niatnya sederhana. Mau minta maaf dan ngasi tau elo yang sebenernya." Sahut Ziva.

"Gue selalu percaya time heals, lo tau kan? Dan terbukti ke gue. Gue bisa lupa sama dia, sampe gue liat nama dia di kertas waktu itu. Sayangnya gue lupa, time is also kills. Waktu juga bisa ngebunuh gue dengan kayak gini. Saat gue pikir hidup gue udah tenang, dia dateng lagi. Bawa fakta yang bikin gue ngerasa apa yang gue lakuin selama ini sia-sia." Tiara menunduk, air matanya menetes jatuh.

"Ti, jangan siksa diri lo sendiri dengan hal kayak gini, please. Jangan nyalahin diri lo sendiri lagi. Gue paham luka yang Nuca kasih ke elo itu, elo yang sembuhin sendiri. Tapi lo mestinya ngerti, lukanya nggak benar-benar sembuh. Lo cuma terbiasa seiring waktu. Bahkan menurut gue terpaksa terbiasa. Karena apa? Karena ada utang penjelasan dari Nuca buat elo. Gue pikir emang lo pasti butuh penjelasan dari dia." Keisya mendekat pada Tiara, menggenggam tangan sahabatnya.

The Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang