Happy reading ❤
Pagi yang cerah di hari Senin. Sinar mentari menerobos masuk ke dalam sebuah kamar bernuansa biru muda melalui jendela. Sepertinya tadi malam, si pemilik kamar lupa menutup tirai.
Seorang cowok terbaring di atas kasur king size dengan bed cover bermotif Intermilan. Posissinya terlentang sambil mendekap sebuah bingkai foto. Sebut saja namanya Carel. Begitulah keluarga dan teman-temannya selalu memanggilnya. Dia tertidur pulas walau hanya dengan celana pendek dan bertelanjang dada. Selimutnya sudah berpindah tempat ke lantai. Bantal guling mendarat di samping selimut.
Tidak peduli pada cahaya yang menerpa wajahnya, Carel tetap terlelap. Baginya, sangat sulit bangun pagi. Kebiasaannya bermain game sampai larut malam adalah penyebabnya. Padahal alarmnya sudah berbunyi sejak pukul lima. Dia mematikannya lalu tidur lagi. Tiga puluh menit kemudian alarm itu berbunyi lagi. Carel melakukan hal yang sebelumnya ia lakukan, mematikan alarm lalu tidur lagi. Begitulah berulang-ulang sampai akhirnya HP berlogo apel tergigit itu padam kehabisan daya.
Sesuatu yang lembab dan hangat menyentuh pipi Carel. Anggap saja itu adalah sebuah kecupan selamat pagi. Carel menggeliat sambil menyentuh pipinya. Carel masih enggan membuka mata. Tapi bibir itu mengecup kening Carel lagi. Dia sudah tahu siapa pelakunya.
Perlahan Carel membuka mata. “Morning, Bee.” Dia mengelus kepala Bee.
Bee mendekatkan kepalanya ke dada bidang Carel. Kebiasaan yang selalu dia lakukan setiap pagi. Bee tidak akan menjauh sebelum Carel memeluknya. Carel paham maksud Bee. Dia bangun lalu memeluk Bee. Anjing berbulu lebat dari ras labrador retriver itu melepaskan diri dari pelukan pemiliknya lalu pindah ke sudut kamar.
Carel sangat sayang pada Bee. Di rumah mewah itu, Carel hanya menyayangi Bee setelah asisten rumah tangga dan sopirnya. Hanya pada mereka Carel bisa menceritakan apa yang dia alami seharian.
Carel melirik jam dinding. Sudah pukul setengah tujuh. Bisa dipastikan dia terlambat. Tapi siapa yang peduli jika dia telat? Carel sudah terbiasa dihukum. Bahkan jika kepala sekolah memecatnya hari ini, Carel akan angkat kaki dengan senang hati. Sayangnya, Carel tidak akan dikeluarkan karena dia bersahabat dengan anak pemilik sekolah. Namanya Fadly. Dia tidak akan sudi membiarkan Carel pindah sekolah. Kabar buruknya lagi, Papi Carel adalah sahabat orangtua Fadly. Jadi kesempatan dikeluarkan dari sekolah semakin kecil.
Malas-malasan, Carel melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Langkahnya dihentikan oleh sebuah ketukan. Carel medesah kesal sambil membuka pintu. Seorang wanita paruh baya berpenampilan elegan melenggang masuk tanpa dipersilahkan. Carel mengamati dandanan maminya. Dress abu-abu dipadu blazer merah marun plus heels delapan senti. Kanjeng ratu rapi banget. Carel mendecih.
“Kamu belum siap-siap? Sayang, kamu bisa telat.”
“Biarin.”
Mami memindai seisi kamar Carel. “Carel, mau sampai kapan kamu main sama Bee?” Mami mengomel mendapati Bee di kamar Carel. Bee menatap Mami dengan puppy eyes lalu kembali tidur.
Carel mengusap wajahnya. “Salah aku main sama Bee?” tanya Carel ketus.
“Carel, tapi…”
“Tapi apa, Mi? Di rumah ini, cuma Bee yang sayang sama Carel.”
Carel duduk di tepi kasur. Mami menghampirinya. Ditepuknya pundak putranya itu. Carel membuang muka lalu menjauh. Ada luka yang bersarang di hatinya. Dan setiap berdekatan dengan wanita paruh baya itu, lukanya semakin pedih. Carel sebenarnya lelah berteman dengan sedih dan amarah. Tapi perasaan itu sudah mendominasi relung hati Carel. Sejak kecil persaan bencilah yang paling Carel kenal. Benci Mami, Papi, bahkan dirinya sendiri, ah ada satu lagi yang Carel benci, tapi sudahlah…
“Mau sampai kapan kamu musuhin Mami?” tanya Mami lembut.
Carel tersenyum sinis. “Tumben mami nanya Carel? Ada apa nih, Mi?”
Mami menghela nafas. Bukan salah Carel jika dia tumbuh dengah dengan kebencian. Tapi seharusnya dia bisa bertingkah baik walau sedkit saja. “Mami tunggu kamu di bawah. Kita sarapan bareng Papi.”
Setelah maminya keluar kamar, Carel meraih sebuah vas yang terletak di meja belajarnya. Dia melemparkan vas itu ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Carel turtunduk di lantai. Sampai kapan kamu musuhan mami? Pertanyaan maminya berputar-putar di kepalanya. Sampai kapan? Carel tidak tahu sampai kapan.
***Carel mendapati Mami dan Papi di meja makan. Carel tidak berniat mengucapkan sepatah katapun. Dia duduk lalu meneguk jus melon buatan Bi Kim, asisten rumah tangganya. Sebenarnya nama wanita kurus itu, Bi Kimunah tapi disingakat Carel menjadi Bi Kim. Seperti yang sudah dijelaskan, selain Bee, teman Carel di rumah megah itu adalah Bi Kim dan Mang Koko disingkat Mang Kok.
Tiga orang menyantap sarapan di meja yang sama tapi tidak ada yang bersuara. Hanya ada suara sendok dan garpu saling bersahutan. Carel sudah menyelesaikan sarapannya. Cukup dua suap nasi goreng saja sebagai pencitraan. Carel bisa sarapan di warung Pak Lek nanti. Lama-lama di meja makan hanya menambah emosinya.Dia bersiap meninggalkan meja makan tapi Papi berdeham. Sepertinya ada sesuatu hal penting yang harus disampaikan. Carel kembali duduk.
“Carel, gimana sekolah kamu?” Papi meletakkan cangkir kopinya lalu memakai kacamatanya.
“To the point aja kali, Pi. Kita nggak cukup akrab buat saling nanya kabar. Entah itu serius ataupun sekedar basa-basi.”
“Carel!” Mami meletakkan sendok kasar. Jawaban Carel barusan merusak suasana hatinya di pagi hari. Mami memandang Papi dengan tatapan memohon maaf. Suaminya itu tersenyum hangat lalu mengangguk.
“Darel akan kembali dari Singapura.”
Darel yang dimaksud papi adalah saudara Carel. Darel lebih tua setahun tapi saat masih kecil Darel sering sakit, jadinya Darel terlambat sekolah. Mereka jadi satu angkatan. Sejak SMP, Darel sekolah di Singapura. Dia tinggal bersama eyang mereka.
“Terus?” tanya Carel. Dia benar-benar tidak mengerti arah omongan Papi dan Mami. Kalau memang Darel mau pulang seharusnya tidak perlu laporan pada Carel. Toh, yang Carel tempati adalah rumah Darel juga. Jadi Darel bisa menginap sesukanya. Paling Carel akan numpang ke rumah Aldo atau Andra. Tapi jangan lama-lama juga kembali ke Singapura.
“Sayang, Darel akan menetap di Indonesia,” ucap Mami.
Carel menatap maminya intens. Dia benar-benar terkejut dengan kabar kepulangan Darel. Pasalnya, Carel tidak akrab dengan Darel. Bisa dibilang Carel bahkan benci pada Darel. Memandang Darel hanya membuat dia semakin rapuh. Tidak mungkin juga Carel menumpang selamanya di rumah Aldo.
“Mami serius?”
Mami mengangguk. “Iya sayang. Kamu jemput Darel ke bandara ya?”
Manjemut ke bandara? Carel berdecih. Melirik Darel saja dia tidak sudi, sekarang disuruh menjemput cowok itu. Carel tidak habis pikir. “Carel sibuk.”
Papi tersenyum. “Kalau Carel sibuk jangan dipaksa dong, Mi. Nanti Darel dijemput Mang Koko aja.”
Carel berdiri. Perdebatan pagi ini sudah terselesaikan. Saudaranya itu akan dijemput Mang Kok, jadi Carel tidak perlu repot seolah-olah diriya adalah adik manis yang baik budi.
“Carel berangkat,” ucap Carel tanpa menoleh pada siapapun. Sebelum mencapai ruang tengah, Carel menoleh ke maminya. “Pertimbankan permintaan Carel untuk pindah ke Solo.”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mika Vs Pasukan Conidin [TAMAT]
Teen FictionMika si cewek parnoan punya impian jadi juara bulutangkis SMA se-provinsi dan punya pacar sesuai dengan kriteria di sticky note merah muda yang tertempel di dinding kamarnya. Takdir mempertemukan Mika dengan Carel. Mika kepo dan mulai menguntit Car...