Happy reading ❤
“Mika nggak jadi seleksi. Mika sedih. Mika patah hati. Huuhuhuuu.”
Mika mengusap air matanya yang mengalir deras sejak setengah jam yang lalu saat dia sudah sadar. Darel hanya bisa manatap Mika sambil membantu menyeka air mata gadis itu dengan sapu tangan bersih miliknya. Saat mengetahui Mika pingsan, Darel langsung ikut ke rumah sakit. Darel juga yang menghubungi orang tua Mika. Ayah dan Bunda langsung menyusul. Pak Tara dan beberapa teman-teman Mika langsug kembali ke stadion saat orangtua Mika sudah tiba.
Setelah Mika sadar Ayah menemani Bunda menjemput pakaian Mika karena di rumah sakit ada Darel, Via, Helen, dan Andre.
“Mika sedih. Gue rasanya kayak pecundang. Aduh nggak tau deh mau ngomong apa. Sakit banget dah hati gue.”
Helen mendekat. Dia membawa Mika ke dalam pelukannya. Sahabatnya itu menangis sejadi-jadinya. Tidak peduli kalau kemeja bermotif bunga yang Helen kenakan sudah basah air mata. Tapi Helen tidak peduli. Dia tahu betul bagaimana Mika sangat ingin ikut piala provinsi. Mika selalu cerita ingin masuk koran lokal. Selain itu Mika juga ingin salaman dengan gubernur agar saat fotonya dinggah ke instagram, pengikutnya bisa bertambah.
“Sabar ya Mika sayang. Gue tau lo sedih. Lo boleh kok nangis biar beban lo lebih lega,” bisik Helen sambil mengusap rambut panjang Mika.
Via baru saja selasai mengusapkan minyak kayu putih di telapak kaki Mika. Bunda IPA 2 itu mendekati Mika lalu ikut memeluk cewek itu. “Mika, lo jangan gini dong. Gue takut kalo elo nangis.”
Mika melonggarkan pelukannya. Dia menyandarkan punggungnya lalu menatap ke depan namun pandangannya kosong.
“Gue udah kehilangan kesempatan buat ikut piala provinsi. Gue kesal sama diri gue sendiri. Gue bodoh emang.”
Via mengangguk kemudian kembali mengusapkan minyak kayu putih ke kepala Mika. Helen juga membantu mengikat rambut Mika agar Via tidak kesulitan mengusap pundak Mika. Andre belum mengeluarkan suara. Dia hanya memperhatikan Mika dari sofa. Namun dari rautnya, Andre sangat marah. Bukan marah pada Mika tapi pada orang-orang yang sudah merusak mimpi Mika.
Darel mendekatkan segelas air pada Mika.
“Lo belum ada minum semenjak sadar.”Mika menarik sedotan plastik ke bibirnya. Kerongkongannya kering akibat menangis dan tidak minum sama sekali. “Thanks, Rel. Tadi Pak Tara langsung balik ya?”
Darel mengangguk lalu meletakkan gelas di nakas. “Tadi setelah lo di infus dan om sama tante datang, Pak Tara langsung balek ke stadion. Katanya mau lanjut seleksi.”
Mika mendesah. Air matanya menetes lagi. Padahal Mika sudah menahan sebisanya. Tapi apa hendak dikata saat mimpi menguap begitu saja karena kebodohan diri sendiri. Andai Mika tidak pernah menerima tawaran mengerjakan tugas Conidin. Andai Mika berani menolak permintaan kelima cowok itu. Andai Mika tidak pernah suka Carel, ceritanya pasti beda. Mika tidak akan demam sampai pingsan saat baru saja masuk ke lapangan. Mika mungkin bisa lolos karena kemampuannya juga tidak diragukan.
“Gue kalah. Kesempatan gue hilang. Gue nggak jadi masuk koran. Gue buat Ayah kecewa. Gue bego.”
Via dan Helen menepuk-nepuk bahu Mika. Darel tidak tega melihat Mika hancur. Hatinya perih menyaksikan orang yang tidak bersalah harus kehilangan kesempatan meraih mimpi hanya karena kelakuan saudaranya yang terlalu tega mamanfaatkan Mika.
“Lo harus berani, Mik.” Setelah sekian lama duduk di ruangan rumah sakit, baru sekarang Andre mengucapkan sepatah dua patah kata.
Mika mengernyit bingung. Mulutnya setengah terbuka karena ucapan Andre belum menemukan titik temu. Atau otak Mika saja yang belum bisa mencerna. “Maksud lo, Ndre?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Mika Vs Pasukan Conidin [TAMAT]
Teen FictionMika si cewek parnoan punya impian jadi juara bulutangkis SMA se-provinsi dan punya pacar sesuai dengan kriteria di sticky note merah muda yang tertempel di dinding kamarnya. Takdir mempertemukan Mika dengan Carel. Mika kepo dan mulai menguntit Car...