PART 5~ SAUDARA

95 31 5
                                    

Happy reading ❤

Carel bersandar di spot favoritnya. Pojokan kelas XI IPA 11. Sebentar lagi mata pelajaran Biologi dan Carel benci itu. Semua ini adalah salah Aldo.  Andai saja Aldo tidak memaksa semua anggota Pasukan Conidin masuk IPA, Carel tidak perlu berurusan dengan mata pelajaran eksak yang menyusahkan itu. Sudah tahu hidup berat kenapa harus ditambah berat lagi dengan rumus Fisika, Kimia, Matematika, dan segenap jajarannya.

Aldo baru saja masuk ke dalam kelas bersama Andra. Di belakangnya, Boy dan Fadly mengekor sambil bertegur sapa dengan murid cewek penghuni bangku barisan depan. Keempat cowok itu duduk mengerumuni Carel sambil meletakkan oleh-oleh yang mereka bawa dari kantin.

Carel melirik Aldo malas. “Woi bumbu rujak lo tuh tumpah.”

Aldo merapikan bungkusan rujaknya lalu menusuk sepotong pepaya. Tanpa permisi, Aldo memasukkan pepaya itu ke dalam mulut Carel.

“Apaan sih lo?” tanya Carel.

“Aaaa buka mulut.” Aldo terkikik saat Carel menurut. “Anak pintar. Konon katanya, pepaya tuh kaya vitamin C, bagus buat orang cacingan kaya elo.”

“Lo yang cacingan, anjir.” Carel menjitak kepala Aldo.

Boy belum menyelesaika PR Biologinya, dia beranjak dari bangku lalu pergi menghampiri salah satu cewek di meja depan. Sudah pasti Boy sedang mencari contekan. Fadly asyik sediri dengan HP barunya. Kata Andra, Fadly itu anak sultan, layar HP-nya saja sekinclong make up sales Wardah.

“Duhhh Adidas incaran gue udah keluar. Mau beli ah.” Fadly menunjukkan gambar sepasang sepatu abu-abu.

Carel melirik sekilas, mendengus, lalu buang muka. Merasa Carel tidak peduli, Fadly melemparkan buku paket Biologi ke kepala sahabatnya itu.

“Elo mah enak anak sultan. Kalo gue pengen harus ngamen dulu dua bulan. Mahal banget itu, njir,” balas Andra.

Mengamen yang diaksud Fadly adalah nyanyi di kafe. Orang tuanya mendidik Fadly harus mandiri dan bekerja keras. Tiga kali seminggu Fadly harus manggung di kafe milik keluarganya. Jadi, membeli barang mahal buka tipe Fadly. Kalau Alo jangan ditanya, dia pasti sibuk menanyakan harga, kualitas, jenis bahan. Tapi ujung-ujungnya nggak jadi beli kalau nggak diskon besar-besaran.

“Gaya lo, Ndra. Sok merendah.”

“Udah deh sepatu Adidas gue skip. Gue mah pake sepatu diskon akhir tahun aja.”

Aldo mendorong siku Andra. “Nyindir gue lo, Ndra. Eh, gue baru inget. Lo dipanggil Pak Kumara,Rel. Lo ke kelas XII IPA 2. Buruan sono.”

Carel menaikkan alis sebelah mendengar kabar bahwa dirinya dicari Pak Kumara. Wali kelasnya itu pasti ingin menanyakan kemana Carel dua hari yang lalu. Ya, hari itu memang Carel sengaja bolos. Sendiri. Tanpa sahabatnya. Dia ingin menjauh sejenak dari rumah. Membawa lukannya menepi wapau hanya sebentar.

“Lama lo, cepat. Mau bahas masalah bolos elo kali,” ujar Andra.

“Temenin gue, Do.”

Carel dan Aldo menemui Pak Kumara di tempat yang sudah dijanjikan. Dugaan Carel benar. Wali kelasnya itu ceramah sekitar lima menit. Menegur Carel karena sudah bolos tiga kali tanpa keterangan. Semester baru saja masih dua bulan tapi bolos Carel sudah banyak. Carel meminta maaf lalu berjanji tidak akan mengulangi. Padalah walaupun Carel mengulangi, Carel tidak akan dikeluarkan. Paling hanya diberi surat panggilan orangtua.

Stelah keluar dari kelas XII IPA 2, Aldo diajak berbincang oleh salah satu siswa. Carel ikut gabung walaupun hanya menyimak isi pembicaraan mereka. Bukan tipe Carel untuk sok akrab pada orang lain. Carel merasa bosan, dia melirik ke bawah. Matanya menangkap sosok Darel. Dia sedang berdiri di lab bahasa bersama cewek yang tidak Carel kenali. Carel syok, dia tidak tahu Carel sekolah di sini. Pasalnya, dia belum ada bicara dengan Darel walaupun serumah.

Emosi Carel memuncak. Tangannya gemetar menahan amarah. Setiap melihat Darel, benci, luka, dan sakit hati bergejolak di dalam diri Carel. Aldo tidak sengaja memergoki Carel sedang memandang Darel. Aldo paham apa yang sedang dirasakan sahabatnya itu. Dia paling lama kenal dengan Carel. Mereka berteman sejak SMP, sejak Carel kembali ke Jakarta.

“Rel, itu bukannya..”

Carel mengepalkan tangannya mencengkram pagar koridor. “Do, gue mohon jangan ada yang tau dia itu siapa.”
Aldo mengangguk.
***

Carel memacu motor soport-nya dengan kecepatan tinggi. Motor itu meliuk-liuk bak raja jalanan. Suara meraung mengganggu pendengaran pengguna jalan lainnya. Tujuan Carel hanya satu. Sampai ke rumah secepatnya.

Mang Kok terkejut saat Carel membuka helm. Wajah cowok itu merah padam. Deru nafasnya tidak teratur. Rambut acak-acakan. “Den ganteng kenapa?”

“Mang, Darel udah pulang?”

Mang Kok mengangguk. “Sudah. Baru aja, Den. Dia juga bawain kopi mahal buat mamang.”

Carel melirik meja mendapati kopi Strarbuck lengkap dengan roti kering. Bisa banget tu anak cari muka.

Carel mengabaikan Mang Kok yang sudah siap mengajukan pertanyaan lanjutan. Carel berlari menaiki tangga menuju kamar Darel. Bik Kim sempat terkejut. Wanita itu mengikuti Carel, takut terjadi sesuatu. Terakhir kali Carel berkelahi dengan Darel, keduanya mendapat lebam-lebam yang cukup banyak. Setelahnya, Carel dimarahi habis-habisan oleh Mami. Bik Kim tidak tega kedua remaja itu terluka. Walaupun sebenarnya keduanya punya luka terpendam. Tapi Darel pintar menyembunyikannya.

Brukkkk

Pintu kamar Darel terbuka. Dia terkejut saat Carel masuk lalu melayangkan tinju ke rahangnya.

“DEN CAREL!!!” teriak Bik Kim .

Carel tidak peduli apa pun. Sorot kebencian di manik matanya semakin jelas. Dia ingin memukul Darel tapi kali ini Darel  sudah siap melawan. Dia menahan tangan Carel lalu menghempaskannya.

“Lo kenapa sih?” tanya Darel.

Carel tertawa sinis. “Lo tau ada ratusan sekolah di Jakarta?”

“Iya gue tau. Kenapa?”

Carel mengacak rambut ikalnya. Bik Kim memegang tangannya, takut dia kembali memukul Darel. “Kalo elo tau sekolah di Jakarta banyak, kenapa harus ke sekolah gue, hah?”

Bik Kim mengusap pundak Carel. “Udah, nak. Kalian itu saudara.”

“Udahlah, Bik. Susah ngomong sama orang keras kepala,” balas Darel.

“Jawab pertanyaan gue bego. Kenapa lo ke seolah gue?”

Darel menarik nafas dalam-dalam. Dia selalu berusaha mengalah. Darel sadar posisnya adalah kaka Carel, jadi sebisa mungkin dia tidak akan meladeni amarah Carel.

“Emang salah gue deket sama lo? Kita itu sodara, Rel. Gue abang lo.”

Carel berdecih. Sampai saat ini dan mungkin untuk kedepannya, Carel tidak akan sudi menganggap Darel sebagai abang.

“Terserah deh lo ngomong apa, tapi gue mau nggak ada orang yang tau lo abang gue.”

Kening Darel berkerut. Bukan hanya dia, Bik Kim juga ikutan heran. “Maksud lo apa?”

Carel tersenyum tipis. Sangat tipis bahkan hamoir tak terlihat. “Nggak ada orang di sekolah tau kalo kita sodara. Kalo lo emang abang gue, kabulin permintaan gue.”

Darel mengangguk. “Oke adik manis.”

Carel menatap Darel tajam lalu membanting pintu kamar kakaknya itu. Selepas kepergian Carel dan Bik Kim, Darel duduk di tepi tempat tidur. Bibirnya terangkat membentuk senyum. Bukan senyum bahagia tepatnya senyum datar. “Lo nggak tau apa yang gue rasain,” gumam Darel.
***

Mika Vs Pasukan Conidin  [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang