Happy reading ❤
Dua minggu setelah dirinya dinyatakan lolos seleksi menjadi perwakilan dalam ajang bulutangkis tingkat provinsi, Mika benar-benar latihan dengan fokus. Tidak ada lagi waktu baginya untuk main-main. Awalnya latihan bersama Pak Tara hanya tiga kali seminggu, maka menjelang Mika dikarantina, latihan ditambah menjadi lima kali seminggu. Setiap pagi Mika juga berlatih ringan bersama Ayah. Beberapa hari pertama tubuh Mika lumayan terkejut. Rasanya seluruh badannya remuk, tapi Mika sadar tidak akan ada kemenangan tanpa perjuangan. Di sela-sela kesibukannya Mika rutin mempelajari permainan lawan dari sekolah lain karena berperang tenaga perlu dibarengi dengan strategi.
Di sekolah, Mika sudah jarang kelihatan berkeliaran karena di jam istirahat Mika lebih senang menghabiskan waktunya mengulang materi dari guru agar dia juga tidak mengabaikan akademiknya. Mika punya teman-teman yang baik. Darel selalu siap sedia mendengar keluh-kesah Mika. Via dan Helen tak henti-hentinya menyemangatinya. Andre juga tak kalah heboh. Dia bahkan sudah memesan tiket dari jauh-jauh hari agar dapat tempat duduk paling depan.
Beberapa kali saat lewat dari warung Pak Lek, Mika sering berpapasan dengan Pasukan Conidin. Meski mereka sudah menyakiti Mika, cewek itu masih mau membagikan sedikit senyumnya untuk bertegur sapa. Tapi itu tidak berlaku untuk Carel. Cowok itu meminta Mika melupakannya, maka itulah yang sedang Mika usahakan.
“Lo baik-baik ya di asrama,” ucap Helen pada Mika sembari saling berpelukan.
Hari ini Mika akan dikarantika di daerah Tebet. Pertandingan akan diadakan di salah satu badminton centre di daerah itu. Maka panitia sudah menyediakan sebuah hotel di dekat stadion untuk peserta dan pendamping. Mika berangkat bersama Shanti si kakak kelas dan didampingi oleh Pak Tara. Tidak hanya mereka bertiga tetapi bersama rombongan dari sektor lain. Rombongan besar akan dihantar oleh bus sekolah.
“Iya Helen cantik. Lo semua jadi nonton kan?”
Andre mengut-mangut. “Jadilah. Gue udah booking tiket dari jauh hari.”
Via mengelus pundak Mika untuk memberi dukungan emosi. “Lo jaga kesehatan di karantina. Jaga pola makan terus jangan begadang.”
Mika mengangguk dibarengi kekehan dari bibirnya. “Gue bakalan rindu deh sama lo semua.”
Helen mencebik. “Lo karantina seminggu doang. Lagian di Tebet kok bukan ke Arab Saudi. Jadi lo nggak usah lebay.”
“Iya deh iya.” Mika mengedarkan pandanganya menyapu pelataran parkir. Ada yang belum lengkap saat ini.
“Nyariin Darel atau Carel?” tanya Andre seolah tahu isi kepala Mika.
Mika terkekeh. Meski berharap ada Carel yang memberi semangat padanya, tapi kali ini bukan dia yang Mika cari. Tidak ada guananya mencari dia yang jelas-jelas tidak menginginkan Mika.
“Gue nyariin Darel. Katanya mau datang tapi kok nggak ada ya?” Mika tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya.
Helen mengacak rambutnya sendiri. Dia juga ikut-ikutan sibuk memindai pelataran parkir. Namun sayang, tidak ada Darel di sekitar mereka. “Tadi gue tanyain katanya mau datang sih. Tapi kok nggak nongol sih.”
Seluruh anggota rombongan sudah menerima aba-aba agar memasuki bus. Mika memeluk ketiga sahabatnya sebelum melangkah ke dalam bus besar itu. Meski hatinya sedikit kecewa karena sahabatnya satu lagi tidak datang, Mika tidak mau berprasangka buruk. Darel tidak pernah ingkar janji. Jika hari ini dia tidak datang, itu karena dia memang benar-benar berhalangnan.
“See you Mika. Semangka! Semangat Kaka!!” Helen melambai-lambaikan tangannya.
Mika yang sudah duduk di bangkunya hanya bisa menatap mereka dari balik jendela. Mika mengucap syukur di dalam hatinya sudah dianugerahi sahabat sebaik Via, Helen, Andre, dan tenntu saja Darel.
***Rombongan bulutangkis SMA Brawijaya sudah berangkat saat Darel tiba di pelataran parkir sekolah. Dia terlambat hanya karena ban motornnya tertusuk paku di pertigaan jalan menuju sekolah. Seharusnya dia tidak perlu pulang lagi setelah jam pelajaran usai, tapi Darel bersikeras kembali ke rumah untuk mengambil bingkisan pada Mika. Jadinya dia bahkan tidak sempat bertemu dengan cewek itu. Darel ingin mengirim pesan, tapi mengingat selama Mika karantina, maka dia tidak memegang HP. Darel berdecak lalu dia kembali memacu motornya pulang ke rumah.
“Gimana ketemu sama cewek lo?”
Sebuah sambutan selamat datang dari Carel ketika Darel masuk ke dalam rumah. Carel duduk bersila di sofa. Darel langsung duduk di hadapan Carel.
“Kalo maksud lo Mika, dia bukan cewek gue.”
Carel tertawa sinis. Dia bahkan tidak bermitat menatap Darel. “Kenapa nggak lo pacarin tuh cewek? Karena dia suka sama gue?”
“Mika nggak ada hubungannya sama urusan kita,” pinta Darel.
Carel bedecak. Kakinya diselonjorkan ke meja. “Jelas ada dong. Gue tau kok lo suka kan sama dia. Tapi karena lo tau dia sukanya sama gue, lo pura-pura ngalah biar lo keliatan kayak abang yag baik. Padahal kan lo tukang perebut kebahagiaan gue sih.”
Kening Darel berkerut mencerna setiap ucapan Carel. “Lo bilang gue perebut kebahagiaan lo? Lo suka sama dia?”
Carel menggelengkan kepalanya. “Gue bahagia nyiksa dia. Lo kan sayang sama Mika, jadi lo pasti nggak tega ngeliat dia menderita. Makanya gue seneng banget nyusahin dia. Jadi semua yang dia alamin itu semua karena elo, bangsat!”
Darel mulai terbakar api emosi. Dengan penuh amarah dia melayangkan satu tinjuan ke pipi Carel. Adiknya itu tersungkur ke lantai tapi dia tidak mengalah. Carel bangkit lalu menonjok bibir Darel. Di wajah mereka masing-masing sudah ada jejak darah. Tapi tidak ada yang berniat menghentikan perkelahian. Bik Kim tidak tahu harus berbuat apa, dia hanya memandang adu jotos itu sambil berharap tuannya cepat pulang.
“Lo tega.” Darel menghantan Carel.
“Lo sialan. Gara-gara lo gue harus dibuang ke Jogja padahal lo bukan siapa-siapa gue,” balas Carel.
“Lo nggak ngerti. Lo itu marah nggak jelas. Semua yang lo tanam di otak lo nggak bener. Mami sayang sama kita apalagi sama elo. Papi juga sayang elo. Gue juga. Kenapa gue pindah ke Indonesia karena gue tau lo udah di Jakarta. Gue Cuma mau jadi abang lo. Kita coba kayak orang bersaudara lainnya.”
Carelmencengkram kerah kemeja Darel lalu Carel mencampakkan tubuh Darel dengan keras. “DIEM LO BANGSAT.”
Darel terjerembab ke lantai. Dia sudah menyerah walaupun Carel masih ingin memukulnya, dia tidak akan keberatan. Jika dengan menghajar dirinya luka di hati Carel dapat berkurang, maka biarlah dia mengalah.“Pukul gue,” ringis Darel.
Carel mengepalkan tangannya. Dia memang sanagt ingin menghajar Darel tapi entah mengapa tatapan lemah dari Darel membuatnya lemah. “GUE BENCI LO!”
“Astaga Carel. Aduh Darel, kalian berdua kenapa?”
Mami yang baru saja pulang langsung syok melihat kedua putranya berantakan. Kedua punya memar yang seimbang. Seragam sekolah mereka didominasi warna merah dari darah. Kepala Mami berdenyut, jantungnya berdebar kencang, pandangannya semakin lama semakin buram, dan semuanya mendadak gelap.
“Mami!” Darel mengejar Mami yang terkulai ke lantai.
Carel masih terpaku di tempatnya. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Yang dilakukannya hanya memandang Mami sedang digendong oleh Darel dan dibantu oleh Bik Sum.
“Rel, tolongin Mami,” benatak Darel.
Carel menggelengkan kepalanya. Keringat dingin mulai bercucuran di keningnya. Tangannya gemetar. Carel takut sesuatu yang buruk terjadi. Semua itu karena dirinya.
“REL!!” panggil Darel.
Carel mengerjab. “Hah?”
“SIAPIN MOBIL. LO YANG NYETIR.”
Untuk pertama kalinya dalam hidup Carel, dia menuruti permintaan Darel.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mika Vs Pasukan Conidin [TAMAT]
Teen FictionMika si cewek parnoan punya impian jadi juara bulutangkis SMA se-provinsi dan punya pacar sesuai dengan kriteria di sticky note merah muda yang tertempel di dinding kamarnya. Takdir mempertemukan Mika dengan Carel. Mika kepo dan mulai menguntit Car...