PART 20~ DILEMA

67 24 7
                                    

Hapyy reading ❤

Hari Kamis yang sangat cerah. Setelah beberapa hari gerimis selalu mendominasi cuaca di ibukota, akhirnya mentari kembali tersenyum. Sinar sang surya menembus tirai kamar Mika. Sejak jam lima Bunda sudah membuka jendela. Kata Bunda supaya udara segar masuk ke kamar dan menggantikan aroma-aroma tak sedap.

Mika sudah bangun sejak Bunda bolak-balik ke kamarnya. Wanita papruh baya itu mondar-mandir ke kamar Mika karena pukul empat pagi Mika mengeluh kepalanya pusing. Sekarang Mika duduk di lantai dan bersandar ke tempat tidur. Pandangannya menerawang ke lampu seakan-akan lampu itu terbuat dari platinum, bisa hilang jika tidak dipantau.

"Loh, kenapa duduk di bawah?" tanya Bunda panik.

Mika menyeka air matanya. Bukan karena sedang menangis tapi sejak kepalanya berdenyut, matanya juga ikut merah dan berair. Ditambah lagi dengan hidung sumbat. Suhu badannya juga lebih hangat dari biasanya.

"Panas di atas, Bun."

Bunda menempelkan punggung tangan di kening Mika. Beberapa detik setelahnya, Bunda mencari termometer di laci Mika. Gadis itu tidak protes saat Bunda memasukkan termometer di antara ketiaknya.

"Berapa, Bun?"

Bunda menarik termometer saat benda itu mengeluarkan bunyi 'pip' khas termometer digital. "Panas, Mik. Tiga puluh tujuh. Kita ke klinik? Jam enam udah buka kok."

Mika menutup mata tanpa mengubah posisinya. Tubuhnya terasa pegal dan sangat berat untuk bergerak. "Bun, Mika minum obat yang Bunda simpen aja deh. Mika mau sekolah. Nanti sore ada seleksi perwakilan bulutangkis, Bun."

Bunda menatap Mika cemas. Dia merasa ragu apakah gadis kecilnya itu sanggup ikut seleksi dengan keadaan seperti itu. Tapi dia juga tidak bisa memaksakan kehendak untuk menahan Mika tetap di rumah. Mika pasti tidak mau menyerah begitu saja.

"Yakin kamu kuat? Nggak usah dipaksa, sayang."

"Bunda, Mika sedih kalo harus nyerah tanpa berjuang dulu. Dari setahun lalu, Mika nunggu momen ini. Mika nggak mau kalah, Bun."

Mika membenamkan kepalanya ke dalam pelukan Bunda. Tidak ada perasaan malu untuk menangis. Bunda mengusap pundak putri kecilnya itu. Dia tahu Mika sedang ada masalah. Kelihatan sudah beberapa Minggu Mika tidak seheboh biasanya. Wajahnya juga sering murung dan kelelahan.

"Mau cerita sama bunda masalah kamu?"

Mika menggeleng dalam pelukan Bunda. Mika tidak mau kebodohannya diketahui keluarganya. Apa yang akan dikatakan Ayah jika tahu Mika mempertaruhkan kesempatannya menjadi juara provinsi hanya karena seorang cowok bermulut pedas dan wajah lempeng seperti papan cucian.

"Ya sudah kalau belum mau bicara. Kamu siap-siap ya."

Mika menurut. Setelah Bunda keluar dari kamarnya, Mika bergegas ke kamar mandi. Jika biasanya dia akan perang gayung dulu dengan Cika karena kakaknya itu tidak mau mengalah memberi kamar mandi, hari ini beda. Cika langsung membukakan pintu kamar mandi pada Mika. Dia tidak tega serang-serangan gayung dengan adiknya yang sedang demam.

Setengah jam kemudian Mika sudah selesai bersiap-siap. Dia langsung duduk di meja makan. Ayah sudah berangkat ke kantor. Kalau pagi, Ayah memang keseringan tidak ikut sarapan bersama. Kantor ayah jauh. Kadang Bunda juga begitu kalau harus menghantar pesanan kue. Mika menikmati soto sendiri. Sampai akhirnya Cika muncul dari ruang tengah seperti habis melihat mbak kunti.

"Mik," panggil Cika.

"Hm?"

"Di depan ada Darel."


***

Carel berdiri di koridor laboratorium bahasa yang terletak di lantai dua. Posisi ruangan itu pas sekali menghadap gerbang utama. Jadi sejak nongkrong di depan lab, Carel bisa menyaksikan siapa saja yang masuk ke dalam sekolah.

Mika Vs Pasukan Conidin  [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang