XIII. Not a Things (2)

2.6K 517 95
                                    

Sebenarnya, kamu berbohong. Cengkraman Ray itu sakit, sungguh. Kamu sedikit menyesali aksimu, dia benar-benar marah. Sial, padahal niatmu bukan untuk mencari masalah. Kamu sedikit tidak bisa mengendalikan diri tadi.

Tanpa sepengetahuan siapapun, kamu berkeringat dingin.

Kembali berdiri tegak, kamu menepuk-nepuk bahu Ray.
"Yah, berjuang keraslah. Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku mendoakan keberhasilan kalian untuk bebas." Ujarmu (berusaha) tersenyum yang terlihat tulus sampai rasanya alismu bergetar. Tanganmu serasa hampir putus, mustahil untukmu tersenyum yang terlihat tulus.

Kamu melepas cengkraman tangan anak laki-laki itu, berjalan mendahuluinya seiring bibir senyum tulus tidak ikhlasmu itu kembali mendatar. Dari belakang tiba-tiba terdengar suara Ray yang berkata, "Pasti sangat susah untuk orang sepertimu tersenyum tulus." Kamu memutuskan untuk mengabaikannya.

Terdengar sarkastik. Menyebalkan.

Derap suara kakimu saat melangkah menuju kursimu terngiang dikepalamu, begitupun suara batinmu turut berbunyi. Kamu tidak sepenuhnya berbohong. Sungguh, dari hati paling yang dalam saat mengucapkan harapanmu pada mereka──
Kamu serius mengucapkannya.

Tidak perlu ada pernyataan dan pertanyaan. Mungkin hanya sedikit, kamu akan mulai mengamati langkah mereka.

Hanya sedikit.

Begitu duduk di kursi, kamu menopang kepalamu diatas meja dengan satu tangan. Sekedar mengingatkan diri sendiri, kamu bukan orang bodoh, kamu tahu itu dengan benar. Adik-adikmu yang manis itu sedang terkepung didalam sangkarnya. Terlihat malang sekali. Kamu ingin tertawa, tapi bibirmu sudah terasa kram duluan.

Meresahkan.

Yah, terserah apapun itu. Lagipula sedari awal kamu bukanlah orang yang akan menebarkan senyum disana-sini layaknya Emma, senyummu itu mahal, ha ha ha.

Oh ya, kalo dipikir-pikir...
Dimasa lalu, rasanya kamu pernah hampir serupa dengan sosok Emma. Hampir serupa.

"Selamat makan!"

·

────────────

·

───

·

"Aku melihatnya tadi." Norman berujar sembari berjalan di lorong house, langit malam yang ramai akan bintang membuat cahayanya tembus menelusuk. Membuat Ray yang turut berjalan disampingnya mengalihkan pandangan, menatap pada sang empu lalu menyahut, "Apa yang kau lihat?"

Norman menjawab dengan pandangan lurus ke depan, tidak balas menatap Ray, "Entahlah, dari sudut pandangku (Nama) seperti memelukmu. Tapi melihat ekspresi wajahmu setelahnya, aku yakin yang terjadi sebenarnya bukanlah apa yang dilihat mataku." Tuturnya. Lalu kembali berujar setelah jeda beberapa saat, "Ah─ kalau kamu masih marah tidak perlu dijawab, aku hanya ingin mengungkapkan rasa penasaran saja."
"Tapi Ray, (Nama) bukanlah barang yang bisa kamu perlakukan seperti itu."

Norman berkata dengan nada hati-hati pada dialog terakhir, berusaha untuk tidak menciptakan konflik baru.

Ray meluruskan pandangannya, ia menghela napas. "Maaf, salahku karena tidak menjelaskannya." Ucapnya. "Hey, Norman..." panggilnya membuat sang pemilik nama yang dipanggil berdeham sebagai sahutan.

𝐀𝐑𝐔𝐓𝐀𝐋𝐀─ 𝐩𝐫𝐨𝐦𝐢𝐬𝐞𝐝 𝐧𝐞𝐯𝐞𝐫𝐥𝐚𝐧𝐝Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang