XXV. 002-003 (7)

633 125 49
                                    

Norman

Sehari berlalu, sekarang, aku juga akan melewati pintu house untuk yang terakhir kalinya.

Seperti yang dilakukan Conny dan (Nama). Kurasa aku juga akan mati,

seperti mereka.

Haha…

Aku putus asa. Namun dipenuhi amarah dalam sisi tertentu.

"Tolong jaga kesehatan kalian selalu," aku menyunggingkan senyum, mengatakan hal yang biasanya dikatakan oleh orang-orang ketika mengalami perpisahan.

"Norman!!" Emma berteriak, menarik lengan bajuku, memelukku dan berbisik, "aku akan mengalihkan perhatian Mama jadi larilah,"

Satu tangannya mengarah ke telingaku dengan alat yang mematikan pemancar, bersamaaan dengan kaki kanannya yang terangkat…?!

"Bodoh!! Tindakan sembrono juga ada batasnya!!"

Aku mendorong Emma.

Ia terjatuh, bersamaan dengan aku yang berlutut memegang kedua lengannya.

Mengalihkan perhatian Mama? Dengan menghentakkan kakinya yang patah di lantai??

Alat itu, jika saja aku tidak bereaksi secepat sebelumnya, ia akan menggunakannya padaku…

Gila.

"Ini bukan yang harusnya kamu lakukan sekarang!" Dia harus fokus ke hal yang lebih besar daripada ini!

"BERISIK! Diam! Aku tidak akan membiarkanmu pergi seperti (Nama)!" Emma balas memekik.

Gawat, Mama mulai menaikkan kewaspdaannya, anak-anak yang lain mulai kelihatan bertanya-tanya.

Aku menunduk, "kenapa tidak mau mendengarkanku 'sih? Yang kamu lakukan sekarang bukanlah hal yang aku inginkan…!"

Bagaimana jika cedera kakinya bertambah parah hingga dititik tidak pernah bisa kembali seperti semula? Mustahil untuk melarikan diri!

Ini bukannya aku ingin mati. Aku juga ingin hidup…

Kehilangan (Nama) dan keberangkatanku membuat semua rencana ini terkena skakmat!

Mustahil untuk kembali di rencana awal!

"Padahal aku ingin diantarkan dengan senyum…" gumamku, "tolong hargai keinginanku."

"Ogah! Aku tidak mau menghargai keinginanmu yang ini! Ini bukanlah hal yang Norman inginkan!"

…aku ingin hidup.

Aku ingin hidup…!

Hatiku meneriakkan kalimat itu dengan asa sekaligus keputusasaan, namun pada akhirnya, aku hanya dapat tersenyum lemah, memegang telinga anak perempuan itu.

"Ini sudah waktunya, Norman."

Peringatan dari Mama terdengar seperti kalimat sambutan dari malaikat kematian.

-

Bulannya indah. Alih-alih hamparan bintang di langit yang menguasai langit seperti malam sebelumnya, bulan purnama itu amat terang. Isabella dan Norman berjalan berdampingan dengan suasana yang tidak bisa dijelaskan.

Isabella memejamkan mata sebentar, tersenyum tipis dengan satu sudut bibirnya, "Kamu sudah melakukannya dengan baik, tidak ada kesalahan didalamnya, berkatmu, Emma dan Ray bisa dipanen dengan potensial penuh mereka."

"'Hidup dengan waktu yang terbatas… penuh kebahagiaan sampai waktunya tiba'." Norman menyimpulkan arti kehidupannya (dan anak-anak lain) selama ini.

Bagi Norman rasanya sedikit menggelikan, tapi Isabella tersenyum.

𝐀𝐑𝐔𝐓𝐀𝐋𝐀─ 𝐩𝐫𝐨𝐦𝐢𝐬𝐞𝐝 𝐧𝐞𝐯𝐞𝐫𝐥𝐚𝐧𝐝Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang