Aku kembali:>
•
────•·•────
"Aku menaruh seutas tali di perpustakaan ini, beberapa pula di tempat lain. Kalau begitu aku pergi dulu."
•
"Maaf yah, apa tadi sakit?"
"Tidak juga."
Anna merapihkan peralatan kotak pertolongan pertama, tersenyum ramah pada (Nama) kemudian. "Syukurlah. Untung saja lukanya tidak perlu dijahit." ia menghembuskan napas lega.
"Ya."
"Oh ya, (Nama), biarkan aku membersihkan sweater-mu, bukankah itu sudah kotor terkena noda?"
Anna pun pergi membawa kotak pertolongan pertama dan sweater kebesaran milik (Nama). Menyisakan si surai (haircolour) itu hanya menatap kepergian Anna-- sweater-nya yang dibawa pergi tanpa berujar apapun.
Ia kembali melamun. Dirasa waktu gadis itu cukup luang untuk memikirkan banyak hal.
Tidak lama setelah itu, (Nama) menatap telapak tangannya.
Telapak tangan yang sama ia gunakan untuk sekedar menepuk puncak kepala sang adik.
Andaikata saja jika (Nama) terlambat sedetik saja, maka apa yang akan terjadi pada Phil? Pengandaian yang cukup mengerikan, ia tidak mau memikirkannya lebih jauh lagi.
Dibenaknya segera terbayang, antara Conny dan Phil. Ada satu persamaan diantara mereka ketika (Nama) meletakkan tangannya diatas kepala mereka.
Mereka akan terbingung diawalnya, lalu ikut memegang tangan kakaknya yang diletakkan dikepala mereka lalu tersenyum cerah, polos murni seolah dunia itu tidak memiliki cela.
Pikiran gadis itu terbuyar seketika.
Ia menutup wajahnya dengan tangannya, diselingi dengan menyentuh luka yang telah dibaluti perban.
Ia tersenyum-- tidak, lebih tepatnya menyeringai.
"Dasar pendusta."
"Sampai kapan mau terus seperti ini?" ia mendengus.
Matanya menggelap, masih dengan senyuman tanpa emosi, Ia mengakhiri monolog-nya.
--
"Mereka dijatuhi rak, untungnya Phil tidak luka sama sekali, tapi tidak dengan (Nama). Entah bagian rak mana yang mengenai dahinya, hingga lukanya nyaris di pelipis."
Norman terkesiap pelan mendengar Ray. Peluh sedikit membasahinya.
Menyadari perilaku tersebut, Ray melirik Norman dari ekor matanya. Sedang Emma sendiri cukup terkejut mendengarnya.
"Bagaimana bisa rak itu terjatuh?"
Ray menyela, "Bukan itu point-nya, Emma." Lalu menoleh pada Norman.
"Kau. Apa saja yang kau katakan pada (Nama)?"
Tidak ingin mengundang perdebatan, Norman buru-buru menjelaskan, "Aku memang menemui (Nama) sebelum ini, tapi yang kulakukan hanya sebatas tarik ulur saja untuk membuatnya berada di pihak kita," ia berujar sedikit panik.
"He? Apa maksudnya?" Emma bertanya, tidak paham.
Sejauh mengenai pemahaman Emma tentang (Nama), ia dengan cepat mengerti bahwa gadis itu galak, sulit didekati, sulit diajak berkompromi pula, aura-nya pun seolah berkata 'jika kamu mendekatiku, maka kupukul kau'. Seperti anak kecil yang memiliki masalah dalam pengendalian dan cara mengungkapkan emosinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐑𝐔𝐓𝐀𝐋𝐀─ 𝐩𝐫𝐨𝐦𝐢𝐬𝐞𝐝 𝐧𝐞𝐯𝐞𝐫𝐥𝐚𝐧𝐝
Fanfictionrandom-up. x Reader. Rembulan, Dialah Sang keindahan di tengah misteri kelam nan sepi. Arutala © dwiyshren Promised Neverland © Kaiu Shirai/ Posuka Demizu · Just in case, manatahu ada yang bertanya soal credit dari beberapa art yang keliatan 'UWNSJH...