4.8 The Boundary Between Dream and Reality

144 17 5
                                    

Batas Antara Mimpi dan Kenyataan

.....

Kuhn meletakkan sebuah amplop di meja. Dian bertanya dengan senang.

"Uang?"

Kuhn menatap Dian lalu mengeluarkan amplop lain dari saku dadanya dan menggoyangkannya.

"Uangnya ada disini."

Kuhn merasa rasa tidak tahu malu Dian itu patut dihormati. Dia tidak menampakkan keraguan sedikitpun kapanpun dia menerima uang Kuhn. Dia hanya dengan percaya diri mengambilnya seolah-olah itu memang miliknya.

Stephan, yang mengurus masalah keuangan, pernah mengatakan ini tentang Dian: 'Jika pria itu bukan anggota keluarga Kekaisaran, dia akan menjadi penipu yang hebat.' Kuhn tertawa terbahak-bahak saat mendengarnya, tapi sekarang dia merasa perkataan itu memang benar.

'Bukankah sekarang dia masih penipu ulung? Dia menjalankan usahanya dengan uang orang lain.'

Dengan kekuasaan kekaisaran sebagai hadiah utamanya.

"Kamu memberikanku amplop ini dulu sebelum amplop uangnya... Aku jadi penasaran apa isinya. Sebelumnya, kamu memberitahuku kalau kamu akan pergi keluar ibukota untuk sementara, lalu kenapa kamu kembali sangat cepat?"

"Ada sesuatu."

"Kamu menyembunyikan sesuatu, kan?"

"Tidak ada."

"Kamu menjawab cepat sekali. Aku jadi makin curiga..."

"Aku tahu kamu sengaja memancingku bercerita dengan menjadi menyebalkan. Diamlah dan buka amplopnya."

"Diam? Kamu tahu, kamu perlu belajar untuk menghormati putra mahkota..."

Dian menggerutu sambil membuka amplopnya dan membaca dokumen di dalamnya. Wajahnya mulai mengeras. Tangannya yang memegang dokumen mulai gemetaran. Dia melihat Kuhn dengan tidak percaya, matanya bertanya apakah ini benar. Kuhn dengan diam mengangguk.

"Orang itu... benar-benar masih hidup?"

"Iya."

"Apa ini benar orang itu?"

"Tidak salah lagi."

"Aku...Aku tidak percaya. Aku harus menemuinya. Dimana beliau sekarang?"

"Dian."

Dian tiba-tiba berdiri dan memegang lengan Kuhn. Dian yang selalu ramah dan jahil itu sedang panik seakan dia akan melompat dari tebing.

"Aku harus melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Aku harus melihatnya!"

"Tenanglah!"

Kuhn berteriak.

"Ini masih belum saatnya. Aku akan membawanya ke tempat yang lebih aman dulu. Karena beliau masih hidup, kamu akan bisa segera melihatnya."

Matanya yang panik mulai tenang. Kuhn merasa lega sesaat sebelum Dian tiba-tiba menggenggam lengannya.

"Aku bisa melihatnya selama beliau masih hidup? Aku dulunya selalu berpikir begitu. Ketika aku bilang sampai nanti kepada ibuku, aku melambaikan tangan padanya, memberitahunya kalau aku akan menemuinya lagi dalam beberapa jam. Aku tidak pernah tahu kalau itu akan menjadi salam perpisahan terakhirku. Aku yakin akan bertemu dengannya besok. Saat hari esok tiba, aku akan bisa bertemu dengannya. Apa kamu tahu bagaimana rasanya menyiksa dirimu dengan secercah harapan sampai hampir gila? Manusia tidak akan tahu apa yang akan terjadi di esok hari. Kumohon, Kuhn. Bawa aku pada orang itu."

Kuhn menatap Dian untuk waktu lama lalu menghela napas. Tidak mungkin dia bisa membujuknya dengan sebaliknya. Dia tidak pernah melihat Dian seputus asa ini sebelumnya.

Harapan Terbesar || Book 1 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang