Pagi yang terbilang cerah membuka hari shani saat ini. Cerahnya langit ternyata juga berdampak pada cerahnya wajah cantiknya hari ini. Sudah dua minggu berlalu, tanpa terasa dia pulang ke rumah setelah sebelumnya berjuang menjadi penduduk sementara salah satu rumah sakit yang cukup besar dengan status sebagai pasien. Tapi dibalik cerah wajah itu, ada sedikit mendung yang mengintai.
Mendung yang ternyata diprakarsai oleh rasa rindu yang menumpuk, persis seperti butiran air yang menguap dari lautan menjadi gulungan awan yang semakin lama memberat karena air yang semakin menumpuk. Begitu juga hati Gadis berlesung pipi dengan tubuh tinggi semampai itu.
Rasa rindunya tertuju pada se sosok gadis berkulit putih. Berparas cantik. Berhidung mancung. Dan jangan lupa dua titik tahi lalat di pipi gembul dan dagunya. 4 hari sudah, dia tak berjumpa dengan sosok itu. Terasa seperti sewindu lamanya jika tak bertemu dengannya sehari saja. Berjumpa dengan seseorang yang sudah dengan sangat mampu membolak balikkan dunianya.
Shani sangat ingin bersua.
"Dek, udah jam tujuh. Kamu udah siap siap belum?", tanya shania dari luar kamar bernuansa putih itu.
"Udah kok ma".
Mendapat jawaban begitu, shania melangkah masuk kedalam kamar. Senyum wanita 45 tahun itu merekah. Melihat gadis semata wayangnya sudah tampak sangat cantik. Tak perlu berdandan. Memang sudah dari Gen dan DNA nya, gadis itu dikutuk jadi cantik, sekalipun tanpa polesan make up sama sekali.
"Yuk sarapan dulu?", tangan wanita itu mengusap pipi shani dengan penuh kasih sayang.
"Iya ma, yuk?", kata shani bersemangat.
Walaupun dengan hanya kaos oversize biru dan celana kain warna hitam, shani sudah tampak memukau.
Saat sampai diruang tengah, senyum shani sedikit tertahan. Melihat kakaknya yang sudah mencuri start sarapan lebih dulu tanpa menunggu mama dan adiknya. Tapi ya sudah lah. Kemungkinan kemungkinan yang shani harapkan dalam pikirannya untuk bisa terwujud hari ini lebih dari cukup untuk memback up rasa kesalnya pada laki laki sipit itu.
Agenda hari ini adalah kontrol kesehatan yang memang harus shani lakukan, apa lagi obat wajibnya juga sudah akan habis. Sebenarnya shani sangat malas untuk datang kontrol. Cukup mengenyangkan baginya untuk melihat bangunan besar dengan banyak kaca dan banyak alat alat yang entah apa nama dan fungsinya itu.
Rasa terpaksa untuk datang kontrol terkalahkan. Alasannya tentu karena shani punya niat lain. Niatnya tak lain adalah untuk bertemu suster yang menjadi penyebab rasa rindu membumbung diruang hatinya. Jika tak ada niatan lain seorang indira, jangan tanyakan apakah dia akan perduli jika obatnya habis? tentu saja tidak!.
Karena obat paling mujarab untuknya hanya satu. Gracia.
Di lain tempat, tepat 4 hari sebelum jadwal kontrol si pasien manja. Di sebuah ruang intensive care unit, terasa lebih sibuk dari biasanya. Penyebabnya tak lain, pasien yang tiba tiba memenuhi semua bed yang tersedia di ruangan itu. Bahkan karena tak mencukupi jumlah bed juga alat yang dibutuhkan, beberapa pasien pun dirujuk ke rumah sakit yang ruangan dan alatnya memadai dan tersedia.
Hal itu membuat gracia dan anggota tim yang lain juga harua bekerja lebih keras dan lebih sibuk dari biasanya. Asal muasal seorang gracia tak bisa menemui shani beberapa hari yang lalu.
Jangankan untuk menemui shani kerumahnya, bahkan beberapa chat tak sempat terbalas oleh gracia. Beberapa telfon dan vidiocall dari si indira juga tak terangkat satupun.
Walaupun terkadang dia sempatkan untuk membalas di sela sela jam istirahatnya, namun tak lama gracia harus kembali bertugas. Menyebabkan pesan itu terabaikan lagi. Atau saat gracia membalas, gadis SMA itu malah sedang terlelap karena pengaruh obat yang dikonsumsinya.
![](https://img.wattpad.com/cover/234533385-288-k4551.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MEDICAL LOVE 💉 (final)
Подростковая литератураGxG 18+ (beberapa part) Medis Romance Fiksi Shani Indira natio Shania Gracia